Media Komunitas
Perpajakan Indonesia

HIGHLIGHTSDATA CENTERSUBJEK PILIHANFORUM
PeraturanTax TreatyPutusanKurs KMKKurs BITarif Bunga
Fitur
highlightsdata centersubjek pilihanforum
Informasi
About UsKebijakan PrivasiPedoman Media SiberDisclaimerKontak KamiCareer
Navigating the Coretax era with
Ortax Ecosystem
Ortax Ecosystem
pajakexpress.com | pajak101.com | taxbase.id | bsadvisory.com

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pajak Penghasilan
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM )
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Meterai
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Pengadilan Pajak
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP)
Pajak Daerah
Bea Cukai

PENGANTAR

Ketentuan Umum HKPD

Sistem Pajak dan Retribusi

Istilah Penting dalam UU HKPD

Ruang Lingkup HKPD 

Jenis Pajak Daerah

PAJAK KENDARAAN
BERMOTOR (PKB)

Objek Pajak Kendaraan Bemotor

BEA BALIK
NAMA KENDARAAN BERMOTOR (BBNKB)

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)

PAJAK ALAT
BERAT (PAB)

Pajak Alat Berat (PAB)

BAHAN BAKAR
KENDARAAN BERMOTOR (PBBKB)

Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)

PAJAK AIR
PERMUKAAN (PAP)

Pajak Air Permukaan (PAP)

PAJAK ROKOK

Pajak Rokok

PBB-P2

PBB-P2

BEA PEROLEHAN
HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

PAJAK BARANG
DAN JASA TERTENTU (PBJT)

Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)

PAJAK REKLAME

Pajak Reklame

PAJAK AIR
TANAH (PAT)

Pajak Air Tanah (PAT)

PAJAK MBLB

Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB)

PAJAK SARANG
BURUNG WALET

Pajak Sarang Burung Walet

PAJAK OPSEN

Pajak OPSEN

BAGI HASIL
PAJAK

Bagi Hasil Pajak Provinsi

RETRIBUSI

Retribusi

MUATAN DAN
EVALUASI PERDA TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI

Muatan Perda tentang Pajak dan Retribusi

PEMUNGUTAN PAJAK
DAN RETRIBUSI

Pemungutan Pajak dan Retribusi

PENGATURAN PAJAK
DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA DAN BERINVESTASI

Kewenangan Pemerintah dalam Rangka Pengawasan dan Evaluasi Tarif

Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi

PEMBAYARAN DAN
PENYETORAN

Pembayaran dan Penyetoran Pajak

PEMBUKUAN DAN
PENCATATAN

Pembukuan dan Pencatatan

SURAT PEMBERITAHUAN
PAJAK DAERAH

Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD

Penelitian SPTPD

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Pajak dan Retribusi

PENAGIHAN

Penagihan Pajak

Kadaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi

Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi

Gugatan

PENETAPAN DAN
KETETAPAN PAJAK

Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Surat Tagihan Pajak (STP)

Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan

KEBERATAN DAN
BANDING

Keberatan Pajak

Keberatan Retribusi

Banding

KETENTUAN LAINNYA

Penyidikan

Sanksi dan Pidana

TRANSFER KE
DAERAH

Jenis, Kebijakan, Anggaran, dan Alokasi Transfer Ke Daerah (TKD)

DBH

Ketentuan Umum Dana Bagi Hasil (DBH)

DBH Pajak Penghasilan

DBH Sumber Daya Alam

DANA ALOKASI
UMUM

Penetapan Pagu Nasional Dan Alokasi DAU

DANA ALOKASI
KHUSUS

Alokasi DAK

DANA OTONOMI
KHUSUS

Alokasi Dana Otonomi Khusus

DANA KEISTIMEWAAN

Alokasi Dana Keistimewaan

PENGELOLAAN BELANJA
DAERAH

Penganggaran Belanja Daerah

DANA DESA

Alokasi Dana Desa

PEMBIAYAAN UTANG
DAERAH

Ketentuan Pembiayaaan Utang Daerah

INSENTIF FISKAL

Insentif Fiskal atas Pencapaian Kinerja

PEMBENTUKAN DANA
ABADI

Ketentuan Pembentukan Dana Abadi

SINERGI PENDAPATAN

Sinergi Pendanaan

SINERGI KEBIJAKAN
NASIONAL

Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional

ReadView

Sistem Pajak dan Retribusi
 
Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
 
Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
 
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
 
Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

Ketentuan Umum HKPD
 
Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara.

Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.

Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.
Pajak Sarang Burung Walet
(Pasal 76 UU Nomor 1 Tahun 2022)


Objek Pajak Sarang Burung Walet

(Pasal 76 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.


Non Objek Pajak Sarang Burung Walet
(Pasal 76 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet adalah:
a. pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan
b. kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
 

Subjek Pajak Sarang Burung Walet
(Pasal 77 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.

Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.


Dasar Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet

(Pasal 78 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.

Nilai jual sarang Burung Walet dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet.
 

Tarif Pajak Sarang Burung Walet

(Pasal 79 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.


Penghitungan Pajak Sarang Burung Walet
(Pasal 80 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet, atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan dalam rumus dibawah ini:

Pajak Sarang Burung Walet Terutang = Nilai Jual Sarang Burung Walet x 10%


Saat dan Tempat Terutang Pajak Sarang Burung Walet
(Pasal 22 (3) dan (4) PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.

Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD
(Pasal 68, 69, 70, dan 71 PP Nomor 35 Tahun 2023)


Kewajiban Penyampaian SPTPD

(Pasal 68 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD. SPTPD mencakup seluruh jenis Pajak terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.

SPTPD paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak. SPTPD tersebut disampaikan kepada Kepala Daerah setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.

Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD. SSPD BPHTB dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.


Pelaporan SPTPD

(Pasal 69 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Pelaporan SPTPD dilakukan setiap masa Pajak.

Masa Pajak merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD. Masa Pajak, Kepala Daerah menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD, penentuan masa Pajak untuk setiap jenis Pajak, dan batas waktu penyampaian SPTPD diatur dengan Perkada.


Sanksi Administratif
(Pasal 70 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda. Sanksi administratif berupa denda ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD. Sanksi administratif berupa denda tersebut tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).

Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran sanksi administratif berupa denda dan kriteria keadaan kahar Wajib Pajak diatur dengan Perda.


Pembetulan SPTPD
(Pasal 71 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan. Dalam hal pembetulan SPTPD menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.

Jika pembetulan SPTPD menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga. Atas kurang bayar tersebut, tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar.

Namun, atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Pembayaran dan Penyetoran Pajak
(Pasal 59 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.

Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD. Pembayaran atau penyetoran Pajak dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik. Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.

Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah yang terdiri atas:
• PKB;
• BBNKB;
• PAB; dan
• PAP;
• PBB-P2;
• Pajak Reklame;
• PAT;
• Opsen PKB; dan
• Opsen BBNKB.
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD; dan 6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT.

Sedangkan, Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak yang terdiri atas:
• PBBKB
• Pajak Rokok; dan
• Opsen Pajak MBLB.
• PBJT atas:
1. Makanan dan/atau Minuman;
2. Tenaga Listrik;
3. Jasa Perhotelan;
4. Jasa Parkir; dan
5. Jasa Kesenian dan Hiburan;
• Pajak MBLB; dan
• Pajak Sarang Burung Walet.
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.

Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli. Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
a. jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
b. jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.

Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya, maka Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
Pajak Air Tanah (PAT)
(Pasal 65 UU Nomor 1 Tahun 2022)


Objek PAT

(Pasal 65 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Yang dimaksud dengan "pemanfaatan" adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.


Non Objek PAT
(Pasal 65 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda.
 

Subjek PAT
(Pasal 66 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.

Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Dasar Pengenaan PAT

(Pasal 67 dan 68 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.

Nilai perolehan Air Tanah adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.

Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.

Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut: jenis sumber air;
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah diatur dengan peraturan gubernur dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. Peraturan yang ditetapkan oleh menteri tersebut disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.


Tarif PAT

(Pasal 69 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen). Tarif PAT ditetapkan dengan Perda.


Penghitungan PAT
(Pasal 70 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT dengan tarif PAT, atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan dalam rumus dibawah ini:

PAT Terutang = Nilai Perolehan Air Tanah x 20%.


Saat dan Tempat Terutang PAT
(Pasal 70 (2) dan (3) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.

PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Surat Ketetapan Pajak (SKP)
(Pasal 75, 76, dan 77 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak SKPDKB tersebut diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
1. hasil Pemeriksaan; atau
2. penghitungan secara jabatan karena:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu dan telah ditegur secara tertulis namun tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
b. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban.

Yang dimaksud dengan "penghitungan secara jabatan" adalah penghitungan besaran Pajak terutang berdasarkan data dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah.

Contoh :
Dalam hal Wajib Pajak tidak melaporkan SPTPD, tidak menyelenggarakan pembukuan, atau tidak kooperatif dalam mengungkapkan data, keterangan, dan/atau informasi saat Pemeriksaan, maka Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menghitung dan menetapkan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data, keterangan, dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah, yang dapat diperoleh dari hasil penelitian, pendataan, konfirmasi pihak ketiga, uji petik lapangan, maupun cara lainnya untuk memperoleh data, keterangan, dan/atau informasi.

SKPDKBT dapat diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan Pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT.

SKPDN diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.

SKPDLB diterbitkan dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan terdapat kelebihan pembayaran Pajak.

Jika berdasarkan pemeriksaan terdapat kekurangan pajak, maka jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Jika berdasarkan penghitungan secara jabatan terdapat kekurangan pajak, maka jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
a. kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak PBBKB dan PBJT; atau
b. kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.

Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT.

SKPDKB dan SKPDKBT wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.


Contoh Penghitungan Sanksi atas SKPDKB berdasarkan penghitungan secara jabatan
(Penjelasan Pasal 77 (2) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak Restoran A terdaftar di Kabupaten C melaporkan SPTPD PBJT masa Pajak Januari 2025 dengan Pajak terutang yang telah dibayar dan dilaporkan sebesar Rp100.000.000,00. Pembayaran dan pelaporan Pajak dilakukan pada hari yang sama pada tanggal 11 Februari 2025, sementara batas waktu pembayaran dan pelaporan PBJT dalam Perda Kabupaten C adalah tanggal 10 dan tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa Pajak. Namun demikian, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh fiskus daerah terdapat indikasi ketidakbenaran penghitungan Pajak terutang dalam SPTPD yang dilaporkan, sehingga terhadap Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Pajak dalam rangka menguji kepatuhan perpajakan pada bulan Maret 2025.

Dalam proses Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak kooperatif, tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, dan tidak mengizinkan pemeriksa Pajak memasuki ruangan tempat penyimpanan pembukuan Wajib Pajak. Hal tersebut menyebabkan pemeriksa Pajak tidak dapat menghitung besaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman terutang yang sebenarnya. Oleh karena itu, pemeriksa Pajak melakukan penghitungan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh melalui konfirmasi data pihak ketiga dan informasi yang dikumpulkan melalui uji petik. Besaran Pajak terutang yang seharusnya menurut Kepala Daerah adalah sebesar Rp250.000.000,00.

Pemeriksaan selesai pada bulan April 2025 dan pada tanggal 21 April 2025 terbit SKPDKB untuk menetapkan kekurangan pembayaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sesuai penghitungan secara jabatan oleh pemeriksa Pajak sebesar Rp150.000.000,00 (Rp250.000.000,00 - Rp100.000.000,00).

Maka isi SKPDKB PBJT dimaksud adalah sebagai berikut:
pokok Pajak kurang bayar                        =    Rp150.000.000,00.
sanksi bunga         
(Rp150.000.000,00 x 2,2% x 3)                      
=    Rp9.900.000,00
sanksi kenaikan 
(Rp150.000.000,00 x 50%)                           
=    Rp75.000.000,00
jumlah Pajak yang masih harus dibayar dalam SKPDKB        =    Rp234.900.000,00
Penelitian SPTPD
(Pasal 72 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk melakukan Penelitian atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak. Penelitian atas SPTPD tersebut meliputi:
1. kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
2. kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
3. kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.

Apabila berdasarkan hasil Penelitian atas SPTPD diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD. STPD tersebut mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Apabila hasil Penelitian atas SPTPD terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
(Pasal 73 dan 74 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam hal:
1. Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
2. terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
3. Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.

Sedangkan, untuk Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan paling sedikit untuk:
1. pemberian NPWPD secara jabatan;
2. penghapusan NPWPD;
3. penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
4. pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
5. pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
Pemeriksaan untuk tujuan lain meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak.


Kewajiban dan Hak dalam Pemeriksaan
(Pasal 81 dan 84 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang diperiksa meliputi:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak dan objek Retribusi yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, hak Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang diperiksa paling sedikit:
a. meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
b. meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
c. menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.

Apabila Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban, besarnya Pajak dan Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan.
Alokasi Dana Keistimewaan
(Pasal 133 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dana Keistimewaan dialokasikan kepada Pemerintah Daerah provinsi daerah istimewa yogyakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dana Keistimewaan dapat diserahkan kepada kabupaten/ kota di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan urusan keistimewaan Pemerintah Daerah provinsi daerah istimewa yogyakarta yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pendanaan atas urusan keistimewaan diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah provinsi daerah istimewa yogyakarta dengan memperhatikan kebutuhan dan prioritas tiap-tiap kabupaten/ kota.

Pengelolaan Dana Keistimewaan dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana pembangunan jangka menengah Daerah serta target kinerja.
Jenis Pajak Daerah
(Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Jenis Pajak Yang Dipungut Pemerintah Provinsi
(Pasal 4 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas:
a. PKB;
b. BBNKB;
c. PAB;
d. PBBKB;
e. PAP;
f. Pajak Rokok; dan
g. Opsen Pajak MBLB.
 
Jenis Pajak Yang Dipungut Pemerintah Kabupaten/Kota
(Pasal 4 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT;
d. Pajak Reklame:
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.
 
Pajak dipungut oleh Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom.

Berikut adalah jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah:
a. PBBKB
b. Pajak Rokok
c. Opsen Pajak MBLB
d. BPHTB
e. PBJT atas : 
1. Makanan dan/atau Minuman;
2. Tenaga Listrik;
3. Jasa Perhotelan;
4. Jasa Parkir; dan 
5. Jasa Kesenian dan Hiburan.
f. Pajak MBLB
g. Pajak Sarang Burung Walet

Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak tersebut antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah. Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Objek PAB
(Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.


Objek Yang Dikecualikan dari Pengenaan PAB
(Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Terdapat pengecualian dalam Objek PAB, yaitu kepemilikan dan/ atau penguasaan atas:
a. alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
c. kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat lainnya yang diatur dalam Perda.


Subjek Pajak PAB
(Pasal 18 ayat (1) sampai (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
2. Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.


Dasar Pengenaan PAB
(Pasal 19 UU Nomor 1 Tahun 2022) 
 
1. Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual alat berat.
2. Nilai jual ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum alat berat yang bersangkutan.
3. Harga rata-rata pasaran umum ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
4. Penetapan dasar pengenaan PAB diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan.
5. Dasar pengenaan PAB ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian


Penghitungan PAB
(Pasal 21 & 22 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB dengan tarif PAB.
2. PAB yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penguasaan alat berat.
3. PAB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai alat berat.
4. PAB dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
5. PAB dibayar sekaligus di muka. 6. Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan alat berat belum sampai 12 (dua belas) bulan , Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.


Tarif Pajak PAB
(Pasal 20 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
2. Tarif PAB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Saat Terutang PAB
(Pasal 7 (2) PP 35 Tahun 2023)

Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
Penagihan Pajak
(Pasal 79 dan 83 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak. Atas dasar Penagihan Pajak yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan.

Dalam hal dasar Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.

Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan iktikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan. Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak.


Pejabat Pelaksana Penagihan
(Pasal 80 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Dalam rangka melaksanakan Penagihan Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.

Pejabat berwenang:
• mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
• menerbitkan:
• Surat Teguran;
• surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
• Surat Paksa;
• surat perintah melaksanakan penyitaan;
• surat perintah penyanderaan;
• surat pencabutan sita;
• pengumuman lelang;
• surat penentuan harga limit;
• pembatalan lelang; dan
• surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.

Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Sistematika Penagihan Pajak

(Pasal 81 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Berikut adalah tata cara Penagihan Pajak:
1. Diawali dengan penerbitan Surat Teguran yang mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak. Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran.
2. Dalam hal batas waktu dalam Surat Teguran terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa. Bagi Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran, tetapi kewajiban pembayaran Utang Pajak belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran. Surat Paksa diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
3. Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa disampaikan, maka akan diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
4. Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan, maka Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita.
5. Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
6. Pengumuman lelang, dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dilakukan penyitaan. Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar.


Penagihan Seketika dan Sekaligus
(Pasal 82 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Ketentuan Umum Dana Bagi Hasil (DBH)
(Pasal 110, 111, 120, 122, dan 123 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pagu DBH ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan 1 (satu) tahun sebelumnya.

DBH terdiri atas:
a. DBH pajak, terdiri atas:
1. Pajak Penghasilan;
2. Pajak Bumi dan Bangunan; dan
3. cukai hasil tembakau.
b. DBH sumber daya alam, yang terdiri atas:
1. kehutanan;
2. mineral dan batubara;
3. minyak bumi dan gas bumi;
4. panas bumi; dan
5. perikanan.

Berdasarkan pagu DBH, alokasi DBH per Daerah provinsi/kabupaten/kota dihitung berdasarkan pembobotan sebagai berikut:
a. 90% (sembilan puluh persen) berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil, dan
b. 10% (sepuluh persen) berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah.

Persentase pembagian DBH dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.

Selain DBH, Pemerintah dapat menetapkan jenis DBH lainnya. DBH lainnya bersumber dari penerimaan negara yang dapat diidentifikasi Daerah penghasilnya. DBH lainnya digunakan untuk mendanai kegiatan tertentu sesuai dengan kewenangan Daerah dan/atau prioritas nasional. Ketentuan lebih lanjut mengenai DBH lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
(Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2022)


Objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)

(Pasal 50, 51 (1), 52 (1), 53 (1), 54 (1), dan 55 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/atau Minuman;
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman, meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
1. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
2. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
• proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
• penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
• penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.

Contoh Penjualan dan/atau Penyerahan Makanan dan/atau Minuman
Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. 

Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat.

Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.

b. Tenaga Listrik;
Konsumsi Tenaga Listrik adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.

c. Jasa Perhotelan;
Jasa Perhotelan meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
1. hotel;
2. hostel;
3. vila;
4. pondok wisata;
5. motel;
6. losmen;
7. wisma pariwisata;
8. pesanggrahan;
9. rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
10. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
11. Glamping.

Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).

d. Jasa Parkir;
Jasa Parkir meliputi:
1. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
2. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet);

e. Jasa Kesenian dan Hiburan.
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e meliputi:
1. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
2. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
3. kontes kecantikan;
4. kontes binaraga;
5. pameran;
6. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
7. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
8. permainan ketangkasan;
9. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
10. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
11. panti pijat dan pijat refleksi; dan
12. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.


Non Objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
(Pasal 51 (2), 52 (2), 53 (2), 54 (2), dan 55 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang dikecualikan dari objek PBJT adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam Perda;
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
 
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik, meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
e. konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda.

Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.

Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.

Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
d. jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda.
 
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
c. bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda.


Subjek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)

(Pasal 56 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.

Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.

Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.


Dasar Pengenaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)

(Pasal 57 UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 19 (1), (2), (3), dan (4) PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu meliputi:
1. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
2. nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
3. jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
4. jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
5. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
 
Apabila pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, maka dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.

Jika tidak terdapat pembayaran, maka dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.

Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.


Penetapan Nilai Jual Tenaga Listrik

(Pasal 20 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Nilai jual Tenaga Listrik ditetapkan untuk:
a. Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran, dihitung berdasarkan:
1. jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
2. jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran, penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
b. Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dihitung berdasarkan:
1. kapasitas tersedia;
2. tingkat penggunaan listrik;
3. jangka waktu pemakaian listrik; dan
4. harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan..


Tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
(Pasal 58 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).

Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan
b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).

Tarif PBJT ditetapkan dengan Perda.
 
 
Penghitungan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
(Pasal 59 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT dengan tarif PBJT, atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan dalam rumus dibawah ini:

PBJT Terutang = Dasar Pengenaan PBJT x Tarif PBJT


Saat dan Tempat Terutang Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
(Pasal 59 (2) dan 3 UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 19 (5) dan (6) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
a. pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
e. pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.

PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
Ruang Lingkup HKPD 
(Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
a. pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;
b. pengelolaan TKD;
c. pengelolaan Belanja Daerah;
d. pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan
e. pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional.

Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
a. penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan
b. penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.
OPSEN
(Pasal 81 UU Nomor 1 Tahun 2022)


Objek OPSEN

(Pasal 81 dan 84 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
a. PKB;
b. BBNKB; dan
c. Pajak MBLB.
Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.


Wajib Pajak OPSEN
(Pasal 82 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Wajib Pajak untuk Opsen merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:
a. PKB
b. BBNKB; dan
c. Pajak MBLB.


Dasar Pengenaan OPSEN
(Pasal 11 (1), 16 (1), dan 17 (1) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Dasar pengenaan Opsen sebagai berikut:
a. Untuk Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
b. Untuk Opsen PKB adalah PKB terutang.
c. Untuk Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang


Tarif OPSEN

(Pasal 83 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
a. Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen);
b. Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
c. Opsen Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima persen),dihitung dari besaran Pajak terutang.

Besaran tarif Opsen ditetapkan dengan Perda.


Penghitungan Pajak OPSEN
(Pasal 107 (3) dan (4) PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
Besaran pokok Opsen yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Opsen dengan tarif Pajak Opsen, atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan dalam rumus dibawah ini: 

OPSEN MBLB Terutang = Nilai MBLB Terutang x 25%

OPSEN PKB Terutang = Nilai PKB Terutang x 66%

OPSEN BBNKB Terutang = Nilai BBNKB Terutang x 66%


Saat dan Tempat Terutang Pajak OPSEN
(Pasal 11 (2), (3), Pasal 16 (2), (3), dan 17 (2), (3) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Saat terutang Opsen sebagai berikut:
a. Untuk Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
b. Untuk PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
c. Untuk BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.

Wilayah Pemungutan Opsen:
a. Untuk Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
b. Untuk PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
c. Untuk BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
Istilah Penting dalam UU HKPD
(Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 2022)

  1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang. 
  2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.
  9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
  10. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
  11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
  12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah.
  13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
  14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
  15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
  16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
  18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
  19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota.
  20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  21. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
  23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
  24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
  26. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
  27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
  29. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
  30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
  31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
  32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
  33. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
  34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
  35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
  36. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
  38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
  39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
  40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
  41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
  42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
  43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
  44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
  45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
  46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
  47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
  48. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
  49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
  50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
  51. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
  52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
  53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
  54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
  55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
  56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
  57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
  58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
  59. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
  60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
  61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
  62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  64. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
  67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
  68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
  69. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
  71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah.
  72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
  73. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus.
  74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yogyakarta.
  75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
  76. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
  77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
  78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
  79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
  80. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
  81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
  82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah.
  83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok.
Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak
(Pasal 112, 113, 114, dan 122 UU Nomor 1 Tahun 2022)


DBH Pajak Penghasilan
(Pasal 112 UU Nomor 1 Tahun 2022)

DBH Pajak Penghasilan merupakan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan.

DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen);
b. kabupaten/kota penghasil tempat wajib pajak terdaftar sebesar 8,9% (delapan koma sembilan persen); dan
c. kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3,6% (tiga koma enam persen).

Pendaftaran Wajib Pajak atas Pajak Penghasilan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri.


DBH Pajak Bumi dan Bangunan
(Pasal 113 UU Nomor 1 Tahun 2022)

DBH Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) untuk Daerah.

DBH Pajak Bumi dan Bangunan untuk Daerah dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16,2% (enam belas koma dua persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 73,8% (tujuh puluh tiga koma delapan persen); dan
c. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 10% (sepuluh persen).


DBH Cukai Hasil Tembakau
(Pasal 114 UU Nomor 1 Tahun 2022)

DBH cukai hasil tembakau ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari penerimaan cukai hasil tembakau dalam negeri.

DBH cukai hasil tembakau untuk Daerah dibagikan kepada Daerah penghasil cukai, penghasil tembakau, dan/atau Daerah lainnya yang meliputi:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 0,8% (nol koma delapan persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 1,2% (satu koma dua persen); dan
c. kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 1% (satu persen).

DBH cukai hasil tembakau digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persentase pembagian DBH tersebut dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pajak Reklame
(Pasal 60 UU Nomor 1 Tahun 2022)


Objek Pajak Reklame

(Pasal 60 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.

Objek Pajak Reklame meliputi:
a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
b.
Reklame kain;
c. Reklame melekat/stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame film/slide; dan
i. Reklame peragaan.


Non Objek Pajak Reklame
(Pasal 60 (3) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
f. Reklame lainnya yang diatur dengan Perda.
 

Subjek Pajak Reklame
(Pasal 61 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.

Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.


Dasar Pengenaan Pajak Reklame

(Pasal 62 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.

Dalam hal:
a. Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, maka nilai sewa Reklame ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. Jika, nilai sewa Reklame tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
b. Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. Perhitungan nilai sewa Reklame tersebut ditetapkan dengan Perkada.


Tarif Pajak Reklame

(Pasal 63 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen). Tarif Pajak Reklame ditetapkan dengan Perda.


Penghitungan Pajak Reklame
(Pasal 64 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame dengan tarif Pajak Reklame, atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan dalam rumus dibawah ini:

Pajak Reklame Terutang = Nilai Sewa Reklame x 25%.


Saat dan Tempat Terutang Pajak Reklame

(Pasal 14 (2) PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.

Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan. Khusus untuk Reklame berjalan, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
Muatan Perda tentang Pajak dan Retribusi
(Pasal 94 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.


Evaluasi Rancangan Perda Pajak dan Retribusi

(Pasal 98, 99 dan 100 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Evaluasi rancangan Perda provinsi mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Rancangan Perda provinsi mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan. Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Perda untuk menguji kesesuaian rancangan Perda dengan ketentuan UU HKPD, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

Sementara itu, evaluasi rancangan Perda kabupaten/ kota mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilakukan oleh gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Rancangan Perda kabupaten/ kota mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan. Selanjutnya, gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Perda untuk menguji kesesuaian rancangan Perda dengan ketentuan UU HKPD, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

Dalam melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda, baik Menteri Dalam Negeri maupun gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Dalam pelaksanaan koordinasi tersebut, Menteri Keuangan melakukan evaluasi dari sisi kebijakan fiskal nasional. Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan dapat berupa persetujuan atau penolakan. Hasil evaluasi tersebut disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk rancangan Perda provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/wali kota untuk rancangan Perda kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya rancangan Perda dimaksud dengan tembusan kepada Menteri Keuangan. Jika hasil evaluasi berupa penolakan, maka disertai dengan alasan penolakan. Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan, rancangan Perda dimaksud dapat langsung ditetapkan. Namun dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan, rancangan Perda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/wali kota bersama dengan DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk rancangan Perda provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk rancangan Perda kabupaten/kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya, Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/ bupati/wali kota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan untuk dilakukan evaluasi. Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi Perda provinsi/kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah berlaku untuk menguji kesesuaian antara Perda dimaksud dengan kepentingan umum, ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan kebijakan fiskal nasional. Dalam hal berdasarkan evaluasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau kebijakan fiskal nasional, Menteri Keuangan merekomendasikan dilakukannya perubahan atas Perda dimaksud kepada Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi Selanjutnya, Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/ bupati/wali kota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan untuk dilakukan evaluasi. Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi Perda provinsi/kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah berlaku untuk menguji kesesuaian antara Perda dimaksud dengan kepentingan umum, ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan kebijakan fiskal nasional. Dalam hal berdasarkan evaluasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau kebijakan fiskal nasional, Menteri Keuangan merekomendasikan dilakukannya perubahan atas Perda dimaksud kepada Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi.

Pelanggaran terhadap ketentuan evaluasi rancangan Perda dan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah oleh Pemerintah Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH. Pemberian sanksi tersebut oleh Menteri Keuangan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya UU HKPD. Khusus ketentuan mengenai Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Bagi Hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan Bagi Hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Perda yang disusun berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya UU HKPD. Dalam hal jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi, ketentuan mengenai Pajak dan Retribusi mengikuti ketentuan berdasarkan UU HKPD. Dalam hal jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi, ketentuan mengenai Pajak dan Retribusi mengikuti ketentuan berdasarkan UU HKPD.
Objek PAP
(Pasal 28 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.


Objek Yang Dikecualikan dari Pengenaan PAP
(Pasal 28 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. keperluan keagamaan;
e. kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau); dan
f. kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam Perda, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Subjek Pajak PAP
(Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
2. Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
 

Dasar Pengenaan PAP
(Pasal 30 UU Nomor 1 Tahun 2022)

1. Dasar pengenaan PAP adalah nilai perolehan air permukaan.
2. Nilai perolehan air permukaan adalah hasil perkalian antara harga dasar air permukaan dengan bobot air permukaan.
3. Harga dasar air permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air permukaan.
4. Bobot air permukaan dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
a. lokasi pengambilan air;
b. volume air; dan
c. kewenangan pengelolaan sumber daya air.
5. Besaran nilai perolehan air permukaan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar air permukaan dan bobot air permukaan ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan.
 

Penghitungan PAB
(Pasal 32 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP dengan tarif PAP.
2. PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat air permukaan berada.
 

Tarif Pajak PAP
(Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
2. Tarif PAP ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Saat Terutang PAP

(Pasal 8 (4) PP 35 Tahun 2023)

Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
Objek BBNKB
(Pasal 12 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
2. Termasuk dalam kendaraan bermotor adalah kendaraan bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Objek Yang Dikecualikan dari Pengenaan BBNKB

(Pasal 12 (3), (4) dan (5) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Terdapat pengecualian dalam Objek BBNKB, yaitu penyerahan atas:
a. kereta api;
b. kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c. kendaraan bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
d. kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan; dan
e. kendaraan bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
2. Termasuk penyerahan kendaraan bermotor adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
a. untuk diperdagangkan;
b. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
c. digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
3. Jika kendaraan bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut maka pengecualian tidak berlaku.


Subjek Pajak BBNKB

(Pasal 13 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
2. Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.


Dasar Pengenaan BBNKB

(Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual kendaraan bermotor yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Gubernur.


Penghitungan BBNKB

(Pasal 16 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB dengan tarif BBNKB.
2. BBNKB yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
3. Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran kendaraan bermotor.
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran kendaraan bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


Tarif Pajak BBNKB

(Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12% (dua belas persen).
2. Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
3. Tarif BBNKB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Saat Terutang BBNKB

(Pasal 6 (2) PP 35 Tahun 2023)

Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam
(Pasal 115, 116, 117, 118, 119, 121, dan 122 UU Nomor 1 Tahun 2022)


DBH Sumber Daya Alam Kehutanan
(Pasal 115 UU Nomor 1 Tahun 2022)

DBH sumber daya alam kehutanan bersumber dari penerimaan:
a. iuran izin usaha pemanfaatan hutan;
DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk bagian Daerah, dibagikan kepada:
1. provinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen); dan
2. kabupaten/kota penghasil sebesar 48% (empat puluh delapan persen).

b. provisi sumber daya hutan;
DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:
1. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);
2. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
3. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 16% (enam belas persen); dan
4. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen).

c. dana reboisasi.
DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk provinsi penghasil. DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.


DBH Sumber Daya Alam Mineral dan Batu bara
(Pasal 116 UU Nomor 1 Tahun 2022)

DBH sumber daya alam mineral dan batu bara bersumber dari penerimaan:
a. iuran tetap;
DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap yang diperoleh dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:
1. provinsi yang bersangkutan sebesar 30% (tiga puluh persen); dan
2. kabupaten/kota penghasil sebesar 50% (lima puluh persen).

DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk provinsi penghasil.

b. iuran produksi.
DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:
1. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);
2. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
3. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 12% (dua belas persen);
4. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen); dan
5. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen).

DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:
a. provinsi penghasil sebesar 26% (dua puluh enam persen);
b. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 46% (empat puluh enam persen); dan
c. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen).

Dalam hal tidak terdapat kabupaten/kota pengolah, porsi kabupaten/kota pengolah dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota lainnya dalam satu provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil.


DBH Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi
(Pasal 117 UU Nomor 1 Tahun 2022)

DBH sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi bersumber dari bagian negara yang diperoleh dari pengusahaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

DBH sumber daya alam minyak bumi, yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen), dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 2% (dua persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 6,5% (enam koma lima persen);
c. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 3% (tiga persen);
d. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3% (tiga persen); dan
e. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).

DBH sumber daya alam minyak bumi, yang dihasilkan dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen), dibagikan kepada:
a. Provinsi penghasil sebesar 5% (lima persen);
b. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 9,5% (sembilan koma lima persen); dan
c. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).

DBH sumber daya alam gas bumi, yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen), dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 4% (empat persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 13,5% (tiga belas koma lima persen);
c. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 6% (enam persen);
d. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen); dan
e. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).

DBH sumber daya alam gas bumi yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen), dibagikan kepada:
a. provinsi penghasil sebesar 10% (sepuluh persen);
b. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 19,5% (sembilan belas koma lima persen); dan
c. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).

Dalam hal tidak terdapat kabupaten/kota pengolah, porsi kabupaten/kota pengolah dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota lainnya dalam satu provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil.


DBH Sumber Daya Alam Panas Bumi
(Pasal 118 UU Nomor 1 Tahun 2022)

DBH sumber daya alam panas bumi bersumber dari:
a. iuran tetap; dan
b. iuran produksi.

DBH sumber daya alam panas bumi, termasuk yang bersumber dari setoran bagian Pemerintah atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

DBH sumber daya alam panas bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
c. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 12% (dua belas persen);
d. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen); dan
e. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen).

Dalam hal tidak terdapat kabupaten/kota pengolah, porsi kabupaten/kota pengolah dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota lainnya dalam satu provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil.


DBH Sumber Daya Alam Perikanan
(Pasal 119 UU Nomor 1 Tahun 2022)

DBH sumber daya alam perikanan ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan. DBH sumber daya alam perikanan untuk Daerah dibagikan kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia dan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom dengan mempertimbangkan luas wilayah laut.

Persentase pembagian DBH dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan 
(Pasal 44 UU Nomor 1 Tahun 2022)


Objek BPHTB

(Pasal 44 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. di luar pelepasan hak.


Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
(Pasal 44 (3) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.
 

Objek Pajak Yang Dikecualikan dari Pengenaan BPHTB
(Pasal 44 (4) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Subjek BPHTB

(Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Dasar Pengenaan BPHTB

(Pasal 46 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.

Nilai perolehan objek pajak ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.

Apabila nilai perolehan objek pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.


Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
(Pasal 46 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB. 
 
Besarnya NPOPTKP ditetapkan paling sedikit sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
 
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
 
Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak. 
 
Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan dengan Perda.


Tarif BPHTB
(Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Selanjutnya, Tarif BPHTB ditetapkan dengan Perda.

 
Penghitungan BPHTB
(Pasal 48 UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 18 (2) dan (3) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak, dengan tarif BPHTB, atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan dalam rumus dibawah ini:

Nilai Perolehan Objek Pajak ( NPOP) xxxx
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) xxxx (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) xxxx

Besarnya BPHTB Terutang adalah sebagai berikut: 
5% x NPOPKP


Saat dan Tempat Terutang BPHTB
(Pasal 48 (2) dan 49 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
1. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
2. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
3. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
4. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
5. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
6. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; atau
7. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.

Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.

BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.


Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris
(Pasal 60 dan 61 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
1. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
2. melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
 
Apabila pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban tersebut, maka akan dikenakan sanksi administratif berupa:
1. denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran; dan/atau
2. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan.

Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
1. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
2. melaporkan risalah lelang kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

Bagi kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB. Jika, Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Penelitian SSPD BPHTB
(Pasal 63 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
a. kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NOPD yang tercantum:
1. dalam SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya; dan
2. pada basis data PBB-P2;
b. kesesuaian NJOP Bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2;
c. kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2;
d. kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan objek pajak (perolehan hak karena waris dan hibah wasiat), NJOP, NJOP tidak kena pajak, tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, dan BPHTB terutang atau yang harus dibayar;
e. kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan
f. kesesuaian kriteria objek pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Kriteria tertentu diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.

Proses Penelitian atas SSPD BPHTB dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat.
 
Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB jumlah pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.
Objek Pajak Kendaraan Bemotor
(Pasal 7 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Objek PKB adalah kendaraan bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
 
 
Objek Pajak Yang Dikecualikan dari Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor
(Pasal 7 (3) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Yang dikecualikan dari objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah:
a) kereta api;
b) Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c) Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
d) Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
e) Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
 
 
Subjek Pajak Kendaraan Bermotor
(Pasal 8 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/ atau menguasai kendaraan bermotor.
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki kendaraan bermotor.


Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor
(Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Dasar pengenaan PKB untuk jenis kendaraan di darat adalah hasil perkalian dari:
a. nilai jual kendaraan bermotor; dan
b. bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
2. Bobot dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut: 
a. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan 
b. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi. 
3. Bobot dihitung berdasarkan faktor-faktor: 
a. tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan bermotor; 
b. jenis bahan bakar kendaraan bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
c. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder. 
4. Dasar pengenaan PKB untuk jenis kendaraan di air hanya berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor.
5. Nilai jual kendaraan bermotor ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor yang ditetapkan pada minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya.
6. Harga pasaran umum adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
7. Dalam hal harga pasaran umum suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, nilai jual kendaraan bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor: 
a. harga kendaraan bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama; 
b. penggunaan kendaraan bermotor untuk umum atau pribadi;
c. harga kendaraan bermotor dengan merek kendaraan bermotor yang sama; 
d. harga kendaraan bermotor dengan tahun pembuatan kendaraan bermotor yang sama;
e. harga kendaraan bermotor dengan pembuat kendaraan bermotor; 
f. harga kendaraan bermotor dengan kendaraan bermotor sejenis; dan 
g. harga kendaraan bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
8. Dasar pengenaan PKB dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan: 
a. untuk kendaraan bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan; dan 
b. untuk selain kendaraan bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.


Tarif Pajak Kendaraan Bermotor
(Pasal 10 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor pertama, ditetapkan paling tinggi 1,2% (satu koma dua persen); dan
b. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 6% (enam persen).
2. Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor pertama paling tinggi sebesar 2% (dua persen); dan
b. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
3. Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan paling tinggi 0,5% (nol koma lima persen).
4. Kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
5. Tarif PKB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
 
 
Saat Terutang Pajak Kendaraan Bermotor
(Pasal 5 (3) PP 35 Tahun 2023)
 
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
Bagi Hasil Pajak Provinsi
(Pasal 85 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota. Bagian PBBKB untuk kabupaten/kota dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. 

Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota. Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). Bagian PAP untuk kabupaten/kota dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air.

Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota. Bagian Pajak Rokok untuk kabupaten/kota dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/ kota di provinsi yang bersangkutan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota diatur dengan Perda provinsi.


Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaanya

(Pasal 86 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Hasil penerimaan atas PKB dan Opsen PKB, PBJT atas tenaga listrik, Pajak Rokok, dan PAT baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.

Besaran persentase tertentu dan kegiatan yang dibiayai diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis pajaknya. Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembukuan dan Pencatatan
(Pasal 67 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
a. bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
b. bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Pembukuan dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.

Pencatatan paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
Jenis dan Objek Retribusi
(Pasal 87 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

1. Jenis Retribusi terdiri atas, Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha; dan Retribusi Perizinan Tertentu.
2. Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.


Pengecualian Retribusi

(Pasal 26 (3) PP 35 Tahun 2023)

Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.


Subjek Retribusi
(Pasal 87 (3) dan (4) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
2. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan dan wajib membayar atas layanan yang digunakan/ dinikmati. Bagi Wajib

(Pasal 34 (7) & (8) PP 35 Tahun 2023)

Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.

Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.

(Pasal 45 (7) & (8) PP 35 Tahun 2023)


Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.

Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.

(Pasal 45 (3) & (4) PP 35 Tahun 2023)


Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.

Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.


Jenis Layanan Retribusi

(Pasal 88 dan 89 UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 26 - 49 PP 35 Tahun 2023)

a. Retribusi Jasa Umum
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Retribusi Jasa Umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. Objek Retribusi Jasa Umum mencakup:
1. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.

2. Pelayanan kebersihan
Pelayanan kebersihanmerupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
a. pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
c. penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
d. penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
e. pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.

Dikecualikan dari pelayanan kebersihan yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.

3. Pelayanan parkir di tepi jalan umum
Pelayanan parkir di tepi jalan umum merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Pelayanan pasar
Pelayanan pasar merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.

5. Pengendalian lalu lintas
Pengendalian lalu lintas merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna Kendaraan Bermotor.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perhubungan.

Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah termasuk BLUD berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Perkada disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan.

b. Retribusi Jasa Usaha
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Yang termasuk ke dalam Retribusi Jasa Usaha adalah:
1. Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya
Penyediaan tempat kegiatan usaha merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

2. Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan
Penyediaan tempat pelelangan merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.

Termasuk penyediaan tempat pelelangan merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.

3. Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

4. Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

5. Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

6. Pelayanan jasa kepelabuhanan
Pelayanan jasa kepelabuhanan merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

7. Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

8. Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

9. Penjualan hasil produksi usaha
Pemerintah Daerah Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.

10. Pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Penyediaan atau pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah termasuk BLUD berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Perkada disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan.

c. Retribusi Perizinan Tertentu
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Retribusi jenis ini mencakup:
1. Persetujuan bangunan Gedung
Pelayanan pemberian Izin persetujuan Bangunan gedung meliputi penerbitan persetujuan Bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan yaitu pemberian Izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.

2. Penggunaan tenaga kerja asing
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.

Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

3. pengelolaan pertambangan rakyat:
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diberikan kepada:
a. orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
b. koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.

Pelayanan disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi yang dijelaskan diatas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan yang diatur atas Penambahan jenis Retribusi antara lain: Objek Retribusi, Subjek dan Wajib Retribusi, Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi dan Tata cara penghitungan Retribusi.


Tata Cara Penghitungan Retribusi

(Pasal 90 dan 91 UU Nomor 1 Tahun 2022)

1. Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
2. Tingkat penggunaan jasa merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.


Tarif Retribusi
(Pasal 92 dan 93 UU Nomor 1 Tahun 2022)

1. Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
2. Tarif Retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
3. Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
4. Peninjauan tarif Retribusi dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
5. Penetapan tarif Retribusi ditetapkan dengan Perkada.

(Pasal 26 (3) PP 35 Tahun 2023)

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Biaya meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.

Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.

(Pasal 44  PP 35 Tahun 2023)

Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.

(Pasal 49  PP 35 Tahun 2023)

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.

Khusus untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung.

Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.

Khusus untuk pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat, biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
(Pasal 95 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi meliputi pengaturan mengenai:
a. pendaftaran dan pendataan
b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
c. pembayaran dan penyetoran;
d. pelaporan;
e. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
f. pemeriksaan Pajak;
g. penagihan Pajak dan Retribusi;
h. keberatan;
i. gugatan;
j. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Kepala Daerah; dan
k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.

Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(Pasal 51 - 54  PP 35 Tahun 2023)

Pendaftaran dan pendataan
Pajak Setiap orang atau badan yang dikenai Pajak Daerah wajib mendaftarkan diri dan/atau objek pajaknya kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. Pendaftaran dapat dilakukan dengan menggunakan surat pendaftaran objek pajak atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).

Pendaftaran wajib dilakukan oleh:
- Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah, kecuali Wajib Pajak PBBKB dan penyedia tenaga listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
- Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak.

Dalam hal Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
Pendataan Wajib Pajak dan Objek Pajak

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek pajaknya untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
Pendataan meliputi:
- Seluruh Kendaraan Bermotor kepemilikan pertama, kedua, dan seterusnya, untuk PKB.
- Seluruh Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai dalam wilayah provinsi, untuk PAB.
- Seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah kabupaten/kota, untuk PBB-P2.

Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.

Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
- Tidak memiliki tunggakan pajak.
- Tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan diatur dengan Peraturan Daerah (Perda).

(Pasal 56- 58  PP 35 Tahun 2023)

Penetapan Besaran Pajak dan Retribusi Terutang
Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan

Pajak terutang ditetapkan berdasarkan:
• Surat pendaftaran objek pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah.
• Surat pemberitahuan objek pajak (SPOP) untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
• Hasil pemeriksaan atau keterangan lain.
Pajak terutang ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 5 tahun sejak terutangnya pajak.

Dalam hal pajak terutang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pengenaan sanksi administratif tidak dilakukan, kecuali untuk PKB. PKB dan Opsen PKB terutang ditetapkan untuk jangka waktu 12 bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran kendaraan bermotor.

Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan alat berat dalam jangka waktu tersebut, PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu tersebut.

PBB-P2 terutang ditetapkan berdasarkan SPOP. Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
• SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
• Hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

Besaran retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Tingkat penggunaan jasa merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Tarif retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang. Dalam hal tarif retribusi dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh Menteri untuk kepentingan perpajakan. Tarif retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi. Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik. Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.

Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif diatur dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi. Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
• Sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun.
• Kerja sama pemanfaatan.
• Bangun guna serah atau bangun serah guna.
• Kerja sama penyediaan infrastruktur.
Penetapan Perkada dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.

Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dilaksanakan dengan ketentuan:
• Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
• Tidak menghambat iklim investasi di daerah.
• Tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.


Penetapan Target Penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD
(Pasal 102 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Penganggaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
1. kebijakan makroekonomi Daerah dan
2. potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Kebijakan makroekonomi Daerah meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah. Kebijakan makroekonomi dimaksud diselaraskan dengan kebijakan makroekonomi regional dan kebijakan makroekonomi yang mendasari penyusunan APBN.


Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi
(Pasal 104 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. Pemberian insentif dimaksud ditetapkan melalui APBD. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.


Kerahasiaan Data Wajib Pajak
(Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan Daerah. Larangan berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan Daerah. Larangan dikecualikan bagi:
a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah Pusat yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.

Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundangundangan. Penerimaan atas pidana denda merupakan pendapatan negara. Namun demikian, untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat dan tenaga ahli agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. Serta untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Kepala Daerah dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat dan tenaga untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. Permintaan hakim tersebut harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
Kewenangan Pemerintah dalam Rangka Pengawasan dan Evaluasi Tarif
(Pasal 97 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya saing tinggi serta memberikan perlindungan dan pengaturan yang berkeadilan, Pemerintah sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

Kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi berupa:
a. dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi dengan penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional; dan
b. pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

Penetapan tarif Pajak yang berlaku secara nasional mencakup tarif atas jenis Pajak provinsi dan jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu, Penetapan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional mencakup objek Retribusi.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan tarif Pajak dan Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Keberatan Retribusi 
(Pasal 92 (1) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.


Syarat yang harus dipenuhi WP dalam mengajukan Keberatan
(Pasal 92 (2), (3), (4), dan (5) PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
a. Keberatan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
b. Pengajuan keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar, yang meliputi:
• bencana alam;
• kebakaran;
• kerusuhan massal atau huru-hara;
• wabah penyakit; dan/atau
• keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.

Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.


Jangka Waktu Keputusan Keberatan
(Pasal 93 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Retribusi dengan menerbitkan surat keputusan keberatan.

Dalam memberikan keputusan, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.

Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
a. menerima seluruhnya atau sebagian,
b. menolak, atau
c. menambah besarnya Retribusi yang terutang.

Apabila jangka waktu telah lewat dan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.


Imbalan Bunga atas Keputusan Keberatan
(Pasal 94 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
Objek PBBKB
(Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (BBKB) adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor dan alat berat.


Subjek Pajak PBBKB
(Pasal 24 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB.
2. Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
3. Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB, yaitu produsen dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
 
(Pasal 9 (3) PP Nomor 35 Tahun 2023)
Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
 

Dasar Pengenaan PBBKB
(Pasal 25 UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 9 (1) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
 

Penghitungan PBBKB
(Pasal 27 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB dengan tarif PBBKB.
 

Tarif Pajak PBBKB
(Pasal 26 UU Nomor 1 Tahun 2022)

1. Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
2. Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
3. Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah melalui Peraturan Presiden, dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dalam rangka stabilisasi harga.
4. Tarif PBBKB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Saat Terutang PBBKB
(Pasal 9 (2) PP 35 Tahun 2023)

Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor.
Objek PBB P2
(Pasal 38 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Objek PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
2. Dimaksud dengan bumi termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.


Objek Yang Dikecualikan dari Pengenaan PBB P2
(Pasal 38 (3) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Terdapat pengecualian dalam Objek PBB-P2 adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
a. bumi dan/atau bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
g. bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
h. bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan
i. bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
 

Subjek Pajak PBB P2
(Pasal 39 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
2. Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.


Dasar Pengenaan PBB P2

(Pasal 1 (36), Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 55 PP 35 Tahun 2023)

1. Dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak.
2. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
3. NJOP ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
4. NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
5. Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP Tidak Kena Pajak hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap tahun pajak.
6. NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak.
7. NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
8. Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.
9. NJOP dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata, penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
- perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
- nilai perolehan baru; atau
- nilai jual pengganti.
10. NJOP ditetapkan berdasarkan proses penilaian yang lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri.


Penghitungan PBB P2
(Pasal 42 dan 43 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 dengan tarif PBB-P2.
2. Tahun pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
3. Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
4. Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.

(Pasal 12 (6) PP 35 Tahun 2023)

Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
a. laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
b. Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.


Tarif PBB P2

(Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 2022)

1. Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
2. Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya.
3. Tarif PBB-P2 ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Kadaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi


Kadaluwarsa Penagihan Pajak 

(Pasal 85 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kadaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah.

Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT, jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.

Kadaluwarsa Penagihan Pajak tertangguh apabila sebelum jangka waktu
a. terbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.

Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa, kadaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa.

Pengakuan Utang Pajak secara langsung merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, kadaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan.


Kadaluwarsa Penagihan Retribusi
(Pasal 86 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kadaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.

Kadaluwarsa Penagihan Retribusi tertangguh jika:
a. diterbitkan Surat Teguran; atau
b. terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.

Dalam hal diterbitkan Surat Teguran, kadaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran.

Pengakuan utang Retribusi secara langsung merupakan Wajib Retribusi dengan kesadaran menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasi kepada Pemerintah Daerah.

Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
(Pasal 87 dan 88 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Kepala Daerah melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan

Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kadaluarsa dapat dihapuskan. Piutang Pajak yang dihapuskan ditetapkan dalam keputusan Kepala Daerah, dengan mempertimbangkan:
a. pelaksanaan Penagihan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan; dan
b. hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah.

Penagihan dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.

Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa ditetapkan dalam keputusan Kepala Daerah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Perkada.
Objek Pajak Rokok
(Pasal 33 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
2. Termasuk dalam rokok meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.


Objek Yang Dikecualikan dari Pengenaan Pajak Rokok
(Pasal 33 (3) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dikecualikan dari objek Pajak Rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
 

Subjek Pajak Pajak Rokok
(Pasal 34 (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
2. Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.


Dasar Pengenaan Pajak Rokok
(Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
 

Penghitungan Pajak Rokok
(Pasal 37 dan 22 (3), (4) dan (5) UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
1. Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok dengan tarif Pajak Rokok.
2. Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
3. Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri.


Tarif Pajak Pajak Rokok
(Pasal 36 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.


Saat Terutang Pajak Rokok

(Pasal 10 (2) PP 35 Tahun 2023)

Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB)
(Pasal 71 UU Nomor 1 Tahun 2022)


Objek Pajak MBLB

(Pasal 71 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. obsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. fosfat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatom;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Non Objek Pajak MBLB
(Pasal 71 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
b. untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
c. untuk keperluan lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
 

Subjek Pajak MBLB
(Pasal 72 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.

Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.


Dasar Pengenaan Pajak MBLB

(Pasal 73 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.

Nilai jual dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.

Harga patokan dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. Harga patokan tersebut ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
 

Tarif Pajak MBLB

(Pasal 74 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen). Tarif Pajak MBLB ditetapkan dengan Perda.


Penghitungan Pajak MBLB
(Pasal 75 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB dengan tarif Pajak MBLB, atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan dalam rumus dibawah ini:

Pajak MBLB Terutang = Nilai Jual Hasil Pengambilan MBLB x 20%


Saat dan Tempat Terutang Pajak MBLB
(Pasal 75 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 21 (2) dan (3) PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.

Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
Surat Tagihan Pajak (STP)
(Pasal 78 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD.

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah dalam hal:
a. Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
b. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak dalam hal:
a. Pajak terutang tidak atau kurang dibayar;
b. hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
c. SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
d. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

Atas tagihan pajak yang disebabkan karena pajak terutang tidak atau kurang dibayar ataupun berdasarkan penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah hitung, tulis, atau administratif lainnya, maka jumlah tagihan dalam STPD berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Atas tagihan pajak yang disebabkan karena Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding atau SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; maka jumlah tagihan dalam STPD, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
(Pasal 105 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan STPD, SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.

Pembetulan ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.

Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak. Dalam rangka penelitian, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.

Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.

Surat Keputusan Pembetulan berisi keputusan berupa:
a. mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
b. membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
c. menolak permohonan Wajib Pajak.Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak diatur dengan Perkada.
Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi
(Pasal 101 UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 99, 100, dan 101 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Insentif fiskal yang dimaksud berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya. Pemberian insentif fiskal diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Kepala Daerah dalam memberikan insentif fiskal tersebut.

Dalam hal pemberian insentif fiskal merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain. Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor.

Insentif fiskal dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.

Pemberian insentif fiskal merupakan kewenangan Kepala Daerah sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.

Pemberian insentif fiskal diberitahukan dengan Perkada dan diberitahukan kepada DPRD yang disertai dengan pertimbangan Kepala Daerah dalam memberikan insentif fiskal.

Pemberian insentif fiskal ditetapkan dengan Perkada. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Penyesuaian Pemberian Insentif Pajak

(Pasal 99 (5), (6), (7), dan (8) PP Nomor 35 Tahun 2023)

1. Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar dan kondisi tertentu objek pajak, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
a. kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
b. kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
c. kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
d. faktor lain yang ditentukan oleh Kepala Daerah.
2. Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
3. Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam mencapai program prioritas daerah disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
4. Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.


Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan

(Pasal 96 UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 102 PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.

Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi paling sedikit berupa 
a. kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
b. lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Perkada.

Keberatan Pajak 
(Pasal 89 (1) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.


Syarat yang harus dipenuhi WP dalam mengajukan Keberatan
(Pasal 89 (2), (3), (4) PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
a. Keberatan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
b. Mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
c. Pengajuan keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
1. SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau
2. tanggal pemotongan atau Pemungutan,
kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar, yang meliputi:
• bencana alam;
• kebakaran;
• kerusuhan massal atau huru-hara;
• wabah penyakit; dan/atau
• keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.
d. Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.

Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat keberatan.

Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak termasuk sebagai Utang Pajak.


Jangka Waktu Keputusan Keberatan
(Pasal 90 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Dalam memberikan keputusan, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan. Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
a. menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
b. menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
c. menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
d. menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.

Apabila dalam jangka waktu tersebut Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Perkada.


Sanksi dan Imbalan Bunga atas Keputusan Keberatan
(Pasal 91 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.

Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Penganggaran Belanja Daerah
(Pasal 140 - 142 dan 144 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Belanja Daerah disusun dengan menggunakan pendekatan:
a. kerangka pengeluaran jangka menengah Daerah;
b. penganggaran terpadu; dan
c. penganggaran berbasis kinerja. 
 
Pemerintah Daerah menyusun program pembangunan Daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik dan pencapaian sasaran pembangunan. Program pembangunan Daerah disinkronisasikan dan diharmonisasikan dengan program yang dilaksanakan oleh Pemerintah.

Belanja untuk pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik disesuaikan dengan kebutuhan untuk pencapaian standar pelayanan minimal.
   
Belanja Daerah dapat dialokasikan untuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan pilihan setelah mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik.


Standar Penyusunan Belanja Daerah
(Pasal 143 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Belanja Daerah disusun berdasarkan standar harga dan analisis standar belanja. Standar harga tersebut mencakup standar harga untuk belanja operasi dan standar tunjangan kinerja aparatur sipil negara pada Pemerintah Daerah. Standar harga untuk belanja operasi disusun berdasarkan standar harga satuan regional dengan mempertimbangkan kebutuhan, kepatutan, dan kewajaran. Standar tunjangan kinerja aparatur sipil negara pada Pemerintahan Daerah disusun dengan paling sedikit mempertimbangkan capaian reformasi birokrasi Daerah, kelas jabatan, dan kemampuan Keuangan Daerah yang bersangkutan. Analisis standar belanja disusun berdasarkan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Pedoman mengenai standar harga dan analisis standar belanja diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Alokasi Belanja Daerah
(Pasal 145 - 148 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Daerah wajib mengalokasikan belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Belanja Daerah yang  berasal dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya dianggarkan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Daerah wajib mengalokasikan belanja pegawai Daerah di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari total belanja APBD. Dalam hal persentase belanja pegawai telah melebihi 30% (tiga puluh persen), Daerah harus menyesuaikan porsi belanja pegawai paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal UU HKPD diundangkan. Besaran persentase belanja pegawai dapat disesuaikan melalui keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi. Adapun Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD Belanja pegawai Daerah yang dimaksud tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya.
 

Optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah
(Pasal 149 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
- Dalam hal terdapat SiLPA yang telah ditentukan penggunaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan pada tahun anggaran sebelumnya, Daerah wajib menganggarkan SiLPA dimaksud sesuai dengan penggunaannya.
- Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan tinggi, SiLPA dapat diinvestasikan dan/atau digunakan untuk pembentukan Dana Abadi Daerah dengan memperhatikan kebutuhan yang menjadi prioritas Daerah yang harus dipenuhi.
- Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan rendah, Pemerintah dapat mengarahkan penggunaan SiLPA dimaksud untuk belanja infrastruktur pelayanan publik Daerah yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah.
- Penilaian kinerja layanan menggunakan hasil penilaian kinerja yang berlaku untuk penghitungan DAU.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Pengembangan Aparatur Pengelolaan Keuangan Daerah
(Pasal 150 - 151 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pemerintah menyelenggarakan pengembangan kapasitas aparatur pengelola Keuangan Daerah dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pengelolaan Keuangan Daerah dan meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan. Adapun yang dimaksud Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.

Aparatur pengelola Keuangan Daerah harus mendapatkan sertifikasi yang diberikan oleh lembaga yang ditugaskan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan pengembangan kapasitas aparatur pengelola Keuangan Daerah. Pelaksanaan kewajiban sertifikasi dilaksanakan dengan masa transisi sampai dengan 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal UU HKPD diundangkan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengembangan aparatur pengelola Keuangan Daerah dan standardisasinya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Pengawasan APBD
(Pasal 152 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pengawasan pengelolaan APBD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga pemerintahan yang membidangi pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dalam hal tertentu, melakukan pengawasan intern terhadap rancangan APBD ataupun pelaksanaan APBD dalam rangka memberikan masukan kepada Presiden. Adapun yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor.

Dalam melakukan pengawasan, lembaga pemerintahan yang membidangi pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. Kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri bekerja sama dengan lembaga pemerintahan yang membidangi pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melakukan penguatan terhadap kapabilitas aparat pengawasan intern Pemerintah Daerah untuk mendukung peningkatan kualitas pengelolaan APBD.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan Belanja Daerah dan pengawasan APBD diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Gugatan
(Pasal 97 dan 98 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,; dan
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.

Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyidikan 
(Pasal 105 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.

Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Wewenang penyidik adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyidik akan memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
Jenis, Kebijakan, Anggaran, dan Alokasi Transfer Ke Daerah (TKD)
(Pasal 106, 107, 108, 109, 136, 137, 138, dan 139 UU Nomor 1 Tahun 2022)


Jenis TKD
(Pasal 106 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
TKD terdiri atas:
a. DBH;
b. DAU;
c. DAK;
d. Dana Otonomi Khusus;
e. Dana Keistimewaan; dan
f. Dana Desa.


Kebijakan TKD
(Pasal 107 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Pemerintah menetapkan kebijakan TKD. Kebijakan TKD tersebut mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan peraturan perundang-undangan terkait, selaras dengan rencana kerja pemerintah dan dituangkan dalam nota keuangan dan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.

Kebijakan TKD disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setiap tahunnya. Kebijakan TKD dibahas terlebih dahulu dalam forum dewan pertimbangan otonomi daerah sebelum penyampaian nota keuangan dan rancangan APBN ke Dewan Perwakilan Rakyat.


Anggaran TKD
(Pasal 108 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Anggaran TKD ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang mengenai APBN. Rincian alokasi TKD menurut provinsi/kabupaten/kota ditetapkan dalam Peraturan Presiden.

Kebijakan TKD dan besaran anggaran TKD dapat disesuaikan dengan memperhatikan kondisi perekonomian nasional.


Alokasi TKD Untuk Daerah Persiapan
(Pasal 136 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Menteri mengalokasikan bagian dana TKD untuk Daerah persiapan. Bagian dana TKD untuk Daerah persiapan dihitung secara proporsional dari alokasi dana TKD yang diterima Daerah induk berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, target layanan, dan/atau lokasi. Daerah induk menganggarkan bagian dana TKD untuk Daerah persiapan sesuai dengan alokasi sebagai anggaran Belanja Daerah persiapan dalam APBD Daerah induk.

Dalam hal Daerah persiapan berada di wilayah Daerah yang memiliki otonomi khusus atau yang memiliki keistimewaan, pengalokasian termasuk bagian dana TKD. Pengalokasian dana TKD untuk Daerah persiapan diberikan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Alokasi TKD Untuk Daerah Baru
(Pasal 137 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Dana TKD untuk Daerah baru dialokasikan secara mandiri pada tahun anggaran berikutnya sejak undang-undang pembentukan Daerah tersebut diundangkan. Ketentuan tersebut berlaku untuk Daerah baru yang undang-undang pembentukannya diundangkan sebelum atau pada tanggal 30 Juni tahun berkenaan.

Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD.

Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah tanggal 30 Juni tahun berkenaan, dana TKD untuk Daerah baru diperhitungkan secara proporsional dari dana TKD yang dialokasikan untuk Daerah induk.

Proporsi dana TKD, antara lain dihitung berdasarkan:
• jumlah penduduk,
• luas wilayah,
• target layanan,
• lokasi, dan/atau
• status Daerah penghasil DBH.

Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah penetapan APBN tahun berikutnya, pembagian TKD antara Daerah induk dengan Daerah baru dituangkan dalam Peraturan Presiden.


Penyaluran TKD
(Pasal 138 UU Nomor 1 Tahun 2022)
 
Penyaluran TKD dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas negara ke kas Daerah. Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD.

Penyaluran dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap dengan mempertimbangkan:
a. kemampuan Keuangan Negara;
b. kinerja pelaksanaan kegiatan di Daerah yang didanai dari Pajak dan dana TKD; dan/atau
c. kebijakan pengendalian Belanja Daerah dan kas Daerah,dalam rangka sinergi pengelolaan fiskal nasional.

Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah.
Penetapan Pagu Nasional & Alokasi DAU
(Pasal 124 sampai 130 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antardaerah. Pagu nasional DAU ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. kebutuhan pelayanan publik sebagai bagian dari pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;
b. kemampuan Keuangan Negara;
c. pagu TKD secara keseluruhan; dan
d. target pembangunan nasional.
 
Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah.

DAU digunakan untuk memenuhi pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan tingkat capaian kinerja layanan Daerah. Penggunaan DAU terdiri atas bagian DAU yang tidak ditentukan penggunaannya dan bagian DAU yang ditentukan penggunaannya yang didalamnya termasuk untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan. Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH.

Proporsi pagu DAU antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempertimbangkan kebutuhan pendanaan dalam rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah antara provinsi dan kabupaten/kota. Proporsi pagu DAU Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan karakteristik tertentu. Adapun yang dimaksud dengan “karakteristik tertentu” adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geografis dan perekonomian Daerah.

DAU untuk tiap-tiap Daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal untuk 1 (satu) tahun anggaran. Celah fiskal dihitung sebagai selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan potensi pendapatan Daerah. Data untuk menghitung kebutuhan fiskal Daerah dan potensi pendapatan Daerah diperoleh dari lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Alokasi DAK
(Pasal 131 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. DAK dialokasikan sesuai dengan kebijakan Pemerintah untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu dengan tujuan:
a. mencapai prioritas nasional;
b. mempercepat pembangunan Daerah;
c. mengurangi kesenjangan layanan publik;
d. mendorong pertumbuhan perekonomian Daerah; dan/atau 
e. mendukung operasionalisasi layanan publik.
 
Adapun Kebijakan Pemerintah tersebut didasarkan pada:
a. rencana pembangunan jangka menengah nasional;
b. rencana kerja pemerintah;
c. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal;
d. arahan Presiden; dan
e. ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
DAK terdiri atas:
a. DAK fisik, yang digunakan untuk mendukung pembangunan/ pengadaan sarana dan prasarana layanan publik Daerah;
b. DAK nonfisik, yang digunakan untuk mendukung operasionalisasi layanan publik Daerah; dan
c. hibah kepada Daerah, yang digunakan untuk mendukung pembangunan fisik dan/atau layanan publik Daerah tertentu yang didasarkan pada perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
 
Perencanaan dan pengalokasian DAK dapat disinergikan dengan pendanaan lainnya dan ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang mengenai APBN sesuai dengan kemampuan Keuangan Negara. Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. DAK juga dialokasikan untuk mencapai target kinerja Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selanjutnya, pelaksanaan Hibah kepada Daerah yang bersumber dari luar negeri, dilakukan melalui Pemerintah.
Banding
(Pasal 95 (1) PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.


Syarat yang harus dipenuhi WP dalam mengajukan Banding
(Pasal 95 (1), (2) dan (3) PP Nomor 35 Tahun 2023)
 
a. Banding tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
b. Pengajuan banding harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.

Permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.


Sanksi dan Imbalan Bunga atas Keputusan Keberatan
(Pasal 96 PP Nomor 35 Tahun 2023)

Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) atas hasil keberatan tidak dikenakan.

Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Alokasi Dana Desa
(Pasal 134 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Dana Desa merupakan pendapatan desa yang dananya bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan mempertimbangkan pemerataan dan keadilan yang dihitung berdasarkan kinerja desa, jumlah desa, jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Pemerintah dapat menentukan fokus penggunaan Dana Desa setiap tahunnya sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai perencanaan nasional dan alokasi TKD.

Penganggaran, pengalokasian, pelaporan, pemantauan, dan evaluasi Dana Desa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Sanksi dan Pidana


Sanksi karena kealpaan

(Pasal 181 (1) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan berupa tidak mengisi dokumen surat pemberitahuan pajak benar dan lengkap sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.


Sanksi karena kesengajaan

(Pasal 181 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022)

Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan tidak mengisi dokumen surat pemberitahuan pajak benar dan lengkap, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.


Daluwarsa Penuntutan
(Pasal 182 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.


Sanksi Retribusi
(Pasal 183 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya berupa tidak membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Insentif Fiskal atas Pencapaian Kinerja
(Pasal 135 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal kepada Daerah atas pencapaian kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja Pemerintahan Daerah, antara lain pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar.

Alokasi Dana Otonomi Khusus
(Pasal 132 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang mengenai otonomi khusus yang bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

Dana Otonomi Khusus dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang mengenai otonomi khusus yang dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan secara adil dan transparan sesuai dengan Undang-Undang mengenai otonomi khusus. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana pembangunan jangka menengah Daerah serta target kinerja.

Ketentuan Pembentukan Dana Abadi
(Pasal 164 - 165 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk belanja daerah dengan tidak mengurangi dana pokok. Daerah dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan mempertimbangkan antara kapasitas fiskal daerah dan pemenuhan kebutuhan urusan pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik. Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah ditujukan untuk: 
a. Memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya yang ditetapkan sebelumnya.
b. Memberikan sumbangan kepada penerimaan daerah.
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum lintas generasi. 

Dana Abadi Daerah dikelola oleh bendahara umum daerah atau badan layanan umum daerah. Pengelolaan Dana Abadi Daerah dilakukan dalam investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai yaitu penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal, fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah menjadi pendapatan daerah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan pengelolaan Dana Abadi Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Sinergi Pendanaan
(Pasal 167 dan 168 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur dan/ atau program prioritas lainnya sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan Sinergi Pendanaan. Sinergi Pendanaan dapat dilaksanakan melalui berbagai sumber pendanaan baik dari APBD maupun selain dari APBD. Pendanaan dari APBD dapat berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Transfer ke Daerah (TKD), dan/atau Pembiayaan Utang Daerah. Pendanaan selain dari APBD dapat berupa kerja sama dengan pihak swasta, badan usaha milik negara, BUMD, dan/atau Pemerintah Daerah lainnya.

Dalam rangka mendukung Sinergi Pendanaan tersebut, Pemerintah Pusat dapat menyinergikan dengan belanja kementerian/lembaga dan/ atau tugas pembantuan. Ketentuan lebih lanjut mengenai Sinergi Pendanaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional
(Pasal 169 - 175 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pemerintah Pusat menyinergikan kebijakan fiskal nasional. Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cyclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Sinergi kebijakan fiskal nasional dilakukan melalui:

Penyelarasan Kebijakan Fiskal Pusat Dan Daerah.
Pemerintah Daerah menyinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal Daerah dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, kerangka ekonomi makro dan pokokpokok kebijakan fiskal, arahan Presiden, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur sinergi kebijakan fiskal nasional. Rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana kerja pemerintah mempertimbangkan berbagai usulan program strategis Daerah sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan perundangundangan mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional.

Penyelarasan dengan rencana jangka menengah nasional dan rencana kerja pemerintah tersebut dilakukan melalui penyelarasan target kinerja makro Daerah dan target kinerja program Daerah dengan prioritas nasional.

Penetapan Batas Maksimal Defisit APBD Dan Pembiayaan Utang Daerah
Penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah dilakukan dengan ketentuan:
a. Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD untuk tahun anggaran berikutnya, paling lama bulan Agustus tahun anggaran berjalan, dengan memperhatikan keadaan dan perkembangan perekonomian nasional;
b. jumlah kumulatif defisit APBD dan defisit APBN tidak melebihi 3% (tiga persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan; dan
c. jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pembiayaan Utang Daerah tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan. 

Pengendalian Dalam Kondisi Darurat
Yang dimaksud dengan “kondisi darurat” adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
b. proyeksi penurunan pendapatan negara/Daerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
c. adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Pengendalian dalam kondisi darurat dilakukan dengan ketentuan:
a. Pemerintah Pusat dapat mewajibkan Daerah untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan perubahan penggunaan APBD;
b. Pemerintah Pusat dapat melakukan penyesuaian besaran batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah; dan
c. ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan perubahan penggunaan APBD dan penyesuaian batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana disebutkan pada poin a dan b, diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.

Sinergi Bagan Akun Standar
Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan paling sedikit melalui penyelarasan program dan kegiatan serta keluaran dengan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pemerintah Pusat dapat memberikan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan TKD dalam hal Pemerintah Daerah tidak melakukan kewajibannya tersebut.

Sinergi kebijakan fiskal nasional juga didukung dengan:
1. Penyusunan konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional sesuai dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah.
Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan.

Pemerintah Pusat membangun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital yang terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional. Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa.
 
2. Penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional
Dalam rangka penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional, Pemerintah Daerah menyediakan informasi keuangan Daerah secara digital dalam jaringan.
 
3. Pemantauan dan evaluasi pendanaan desentralisasi
Pemerintah Pusat melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala paling sedikit terhadap pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada
- Pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur;
- Likuiditas Keuangan Daerah;
- SiLPA; serta
- Pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian output atas program-program prioritas nasional dan Daerah.
 
Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan sistem informasi. Hasil pemantauan dan evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Pusat dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah.
 
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pembiayaaan Utang Daerah
(Pasal 154 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya, meliputi Pinjaman Derah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Pembiayaan Utang Daerah digunakan untuk membiayai Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan ketentuan: 
a. Pemerintah Pusat tidak memberikan jaminan atas Pembiayaan Utang Daerah
b. Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar negeri.
c. Nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD yang diberikan pada saat pembahasan APBD.
d. Dalam hal kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD, Kepala Daerah dapat melakukan Pembiayaan melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui DPRD dan dilaporkan sebagai perubahan APBD tahun yang bersangkutan. 

Pembiayaan Utang Daerah yang memenuhi persyaratan teknis dapat dilakukan melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah setelah mendapat pertimbangan dari menteri keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.


Pinjaman Daerah
(Pasal 155 - 156  UU Nomor 1 Tahun 2022)

Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman daerah dapat berbentuk konvensional dan syariah yang bersumber dari:
a. Pemerintah, melalui Menteri Keuangan yang dapat dilakukan melalui penugasan kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank yang dianggap mampu oleh Menteri Keuangan, setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
b. Pemerintah daerah lain.
c. Lembaga Keuangan Bank.
d. Lembaga Keuangan Bukan Bank. 

Pinjaman daerah dilakukan dalam rangka:
a. Pengelolaan kas, dapat dilakukan tanpa persetujuan DPRD dan harus dilunasi dalam tahun anggaran berkenaan.
b. Pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, dapat berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan.
c. Pengelolaan portofolio utang daerah.
d. Penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD berupa penugasan dari Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah kepada BUMD untuk membiayai program/kegiatan yang bersifat strategis nasional atau penugasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan penugasan Pemerintah Daerah kepada BUMD yang bukan merupakan program/kegiatan yang bersifat strategis nasional harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. 


Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah
(Pasal 157 - 158 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah, sedangkan Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dengan ketentuan:
1. Diterbitkan melalui pasar modal domestik dan dalam mata uang Rupiah.
2. Dilakukan dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
3. Khusus untuk penerbitan Sukuk Daerah, dilakukan setelah mendapat pernyataan kesesuaian Sukuk Daerah terhadap prinsip-prinsip syariah dari ahli syariah pasar modal.
4. Barang milik daerah dan/atau objek pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah baik berupa tanah dan/atau bangunan ataupun selain tanah dan/atau bangunan (barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas), dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah namun tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Aset daerah tersebut tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dihapuskan sampai dengan jatuh tempo Sukuk daerah.
 
Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka:
a. Pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah yang dilakukan untuk penyediaan sarana dan prasarana Daerah.
b. Pengelolaan portofolio utang Daerah.
c. Penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD atas dana hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.
 

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
(Pasal 159 - 163 UU Nomor 1 Tahun 2022)

Kepala Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan dan pertanggungjawaban pembiayaan utang daerah dengan ketentuan antara lain:
a. Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas Pembiayaan utang pihak lain termasuk diantaranya barang milik daerah.
b. Pemerintah Daerah wajib membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah pada saat jatuh tempo yang dianggarkan dalam APBD sampai dengan berakhirnya kewajiban. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menganggarkan pembayaran kewajiban Pembiayaan Utang Daerah, Kepala Daerah dan DPRD dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
c. Dalam hal daerah tidak membayar kewajiban pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat dan lembaga yang mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat yang telah jatuh tempo, Menteri Keuangan dapat melakukan pemotongan dana DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. 
 
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan mekanisme Pembiayaan Utang Daerah serta barang milik Daerah dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah dalam rangka penerbitan Sukuk Daerah, diatur dengan/atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.