Ketentuan Umum HKPD
Sistem Pajak dan Retribusi
Istilah Penting dalam UU HKPD
Ruang Lingkup HKPDÂ
Jenis Pajak Daerah
Objek Pajak Kendaraan Bemotor
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
Pajak Alat Berat (PAB)
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
Pajak Air Permukaan (PAP)
Pajak Rokok
PBB-P2
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
Pajak Reklame
Pajak Air Tanah (PAT)
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB)
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak OPSEN
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Retribusi
Muatan Perda tentang Pajak dan Retribusi
Pemungutan Pajak dan Retribusi
Kewenangan Pemerintah dalam Rangka Pengawasan dan Evaluasi Tarif
Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi
Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Pembukuan dan Pencatatan
Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD
Penelitian SPTPD
Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
Penagihan Pajak
Kadaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
Gugatan
Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Surat Tagihan Pajak (STP)
Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
Keberatan Pajak
Keberatan Retribusi
Banding
Penyidikan
Sanksi dan Pidana
Jenis, Kebijakan, Anggaran, dan Alokasi Transfer Ke Daerah (TKD)
Ketentuan Umum Dana Bagi Hasil (DBH)
DBH Pajak Penghasilan
DBH Sumber Daya Alam
Penetapan Pagu Nasional Dan Alokasi DAU
Alokasi DAK
Alokasi Dana Otonomi Khusus
Alokasi Dana Keistimewaan
Penganggaran Belanja Daerah
Alokasi Dana Desa
Ketentuan Pembiayaaan Utang Daerah
Insentif Fiskal atas Pencapaian Kinerja
Ketentuan Pembentukan Dana Abadi
Sinergi Pendanaan
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional
a. | pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan |
b. | kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Perda. |
• | PKB; |
• | BBNKB; |
• | PAB; dan |
• | PAP; |
• | PBB-P2; |
• | Pajak Reklame; |
• | PAT; |
• | Opsen PKB; dan |
• | Opsen BBNKB. |
• | PBBKB | ||||||||||
• | Pajak Rokok; dan | ||||||||||
• | Opsen Pajak MBLB. | ||||||||||
• | PBJT atas:
|
||||||||||
• | Pajak MBLB; dan | ||||||||||
• | Pajak Sarang Burung Walet. |
a. | jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau |
b. | jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud. |
a. | keperluan dasar rumah tangga; |
b. | pengairan pertanian rakyat; |
c. | perikanan rakyat; |
d. | peternakan rakyat; |
e. | keperluan keagamaan; dan |
f. | kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda. |
a. | jenis sumber air; |
b. | lokasi sumber air; |
c. | tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air; |
d. | volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; |
e. | kualitas air; dan |
f. | tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air. |
1. | hasil Pemeriksaan; atau | ||||
2. | penghitungan secara jabatan karena:
|
a. | kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak PBBKB dan PBJT; atau |
b. | kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a. |
pokok Pajak kurang bayar | = Rp150.000.000,00. |
sanksi bunga (Rp150.000.000,00 x 2,2% x 3) |
= Rp9.900.000,00 |
sanksi kenaikan (Rp150.000.000,00 x 50%) |
= Rp75.000.000,00 |
jumlah Pajak yang masih harus dibayar dalam SKPDKB | = Rp234.900.000,00 |
1. | kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD; |
2. | kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan |
3. | kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen. |
1. | Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak; |
2. | terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau |
3. | Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko. |
1. | pemberian NPWPD secara jabatan; |
2. | penghapusan NPWPD; |
3. | penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak; |
4. | pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau |
5. | pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak. |
a. | memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak dan objek Retribusi yang terutang; |
b. | memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau |
c. | memberikan keterangan yang diperlukan. |
a. | meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa; |
b. | meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan |
c. | menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan. |
a. | PKB; |
b. | BBNKB; |
c. | PAB; |
d. | PBBKB; |
e. | PAP; |
f. | Pajak Rokok; dan |
g. | Opsen Pajak MBLB. |
a. | PBB-P2; |
b. | BPHTB; |
c. | PBJT; |
d. | Pajak Reklame: |
e. | PAT; |
f. | Pajak MBLB; |
g. | Pajak Sarang Burung Walet; |
h. | Opsen PKB; dan |
i. | Opsen BBNKB. |
a. | PBBKB | ||||||||||
b. | Pajak Rokok | ||||||||||
c. | Opsen Pajak MBLB | ||||||||||
d. | BPHTB | ||||||||||
e. | PBJT atas :
|
||||||||||
f. | Pajak MBLB | ||||||||||
g. | Pajak Sarang Burung Walet |
a. | alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia; |
b. | alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan |
c. | kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat lainnya yang diatur dalam Perda. |
1. | Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat. |
2. | Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat. |
1. | Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual alat berat. |
2. | Nilai jual ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum alat berat yang bersangkutan. |
3. | Harga rata-rata pasaran umum ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya. |
4. | Penetapan dasar pengenaan PAB diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. |
5. | Dasar pengenaan PAB ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian |
1. | Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB dengan tarif PAB. |
2. | PAB yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penguasaan alat berat. |
3. | PAB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai alat berat. |
4. | PAB dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut. |
5. | PAB dibayar sekaligus di muka. 6. Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan alat berat belum sampai 12 (dua belas) bulan , Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui. |
1. | Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen). |
2. | Tarif PAB ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
• | mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan |
• | menerbitkan: |
• | Surat Teguran; |
• | surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus; |
• | Surat Paksa; |
• | surat perintah melaksanakan penyitaan; |
• | surat perintah penyanderaan; |
• | surat pencabutan sita; |
• | pengumuman lelang; |
• | surat penentuan harga limit; |
• | pembatalan lelang; dan |
• | surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak. |
1. | Diawali dengan penerbitan Surat Teguran yang mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak. Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran. |
2. | Dalam hal batas waktu dalam Surat Teguran terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa. Bagi Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran, tetapi kewajiban pembayaran Utang Pajak belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran. Surat Paksa diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. |
3. | Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa disampaikan, maka akan diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. |
4. | Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan, maka Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita. |
5. | Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang. |
6. | Pengumuman lelang, dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dilakukan penyitaan. Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar. |
a. | Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; |
b. | Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; |
c. | terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; |
d. | badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau |
e. | terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. |
a. | DBH pajak, terdiri atas:
|
||||||||||
b. | DBH sumber daya alam, yang terdiri atas:
|
a. | 90% (sembilan puluh persen) berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil, dan |
b. | 10% (sepuluh persen) berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah. |
a. | Makanan dan/atau Minuman; Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman, meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
Contoh Penjualan dan/atau Penyerahan Makanan dan/atau Minuman Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. |
||||||||||||||||||||||||
b. | Tenaga Listrik; Konsumsi Tenaga Listrik adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir. |
||||||||||||||||||||||||
c. | Jasa Perhotelan; Jasa Perhotelan meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). |
||||||||||||||||||||||||
d. | Jasa Parkir; Jasa Parkir meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
e. | Jasa Kesenian dan Hiburan. Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e meliputi:
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya. |
a. | dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam Perda; |
b. | dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman; |
c. | dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau |
d. | disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara. |
a. | konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya; |
b. | konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik; |
c. | konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; |
d. | konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan |
e. | konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda. |
a. | jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; |
b. | jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; |
c. | jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan; |
d. | jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan |
e. | jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel. |
a. | jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; |
b. | jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; |
c. | jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan |
d. | jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda. |
a. | promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; |
b. | kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau |
c. | bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda. |
1. | jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman; |
2. | nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik; |
3. | jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan; |
4. | jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan |
5. | jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan. |
a. | Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran, dihitung berdasarkan:
|
||||||||
b. | Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri. Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dihitung berdasarkan:
|
a. | konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan |
b. | konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen). |
a. | pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman; |
b. | konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik; |
c. | pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan; |
d. | pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan |
e. | pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan. |
a. | pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi; |
b. | pengelolaan TKD; |
c. | pengelolaan Belanja Daerah; |
d. | pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan |
e. | pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional. |
a. | penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan |
b. | penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN. |
a. | PKB; |
b. | BBNKB; dan |
c. | Pajak MBLB. |
a. | PKB |
b. | BBNKB; dan |
c. | Pajak MBLB. |
a. | Untuk Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang. |
b. | Untuk Opsen PKB adalah PKB terutang. |
c. | Untuk Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang |
a. | Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); |
b. | Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan |
c. | Opsen Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima persen),dihitung dari besaran Pajak terutang. |
a. | Untuk Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB. |
b. | Untuk PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB. |
c. | Untuk BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. |
a. | Untuk Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. |
b. | Untuk PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. |
c. | Untuk BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. |
a. | provinsi yang bersangkutan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen); |
b. | kabupaten/kota penghasil tempat wajib pajak terdaftar sebesar 8,9% (delapan koma sembilan persen); dan |
c. | kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3,6% (tiga koma enam persen). |
a. | provinsi yang bersangkutan sebesar 16,2% (enam belas koma dua persen); |
b. | kabupaten/kota penghasil sebesar 73,8% (tujuh puluh tiga koma delapan persen); dan |
c. | kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 10% (sepuluh persen). |
a. | provinsi yang bersangkutan sebesar 0,8% (nol koma delapan persen); |
b. | kabupaten/kota penghasil sebesar 1,2% (satu koma dua persen); dan |
c. | kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 1% (satu persen). |
a. | Reklame papan/billboard/videotron/megatron; |
b. |
Reklame kain;
|
c. | Reklame melekat/stiker; |
d. | Reklame selebaran; |
e. | Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan; |
f. | Reklame udara; |
g. | Reklame apung; |
h. | Reklame film/slide; dan |
i. | Reklame peragaan. |
a. | penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya; |
b. | label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya; |
c. | nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut; |
d. | Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; |
e. | Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan |
f. | Reklame lainnya yang diatur dengan Perda. |
a. | Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, maka nilai sewa Reklame ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. Jika, nilai sewa Reklame tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. |
b. | Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. Perhitungan nilai sewa Reklame tersebut ditetapkan dengan Perkada. |
a. | keperluan dasar rumah tangga; |
b. | pengairan pertanian rakyat; |
c. | perikanan rakyat; |
d. | keperluan keagamaan; |
e. | kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau); dan |
f. | kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam Perda, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
1. | Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. |
2. | Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. |
1. | Dasar pengenaan PAP adalah nilai perolehan air permukaan. | ||||||
2. | Nilai perolehan air permukaan adalah hasil perkalian antara harga dasar air permukaan dengan bobot air permukaan. | ||||||
3. | Harga dasar air permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air permukaan. | ||||||
4. | Bobot air permukaan dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
||||||
5. | Besaran nilai perolehan air permukaan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. | ||||||
6. | Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar air permukaan dan bobot air permukaan ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. |
1. | Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP dengan tarif PAP. |
2. | PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat air permukaan berada. |
1. | Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
2. | Tarif PAP ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
1. | Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor. |
2. | Termasuk dalam kendaraan bermotor adalah kendaraan bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
1. | Terdapat pengecualian dalam Objek BBNKB, yaitu penyerahan atas:
|
||||||||||
2. | Termasuk penyerahan kendaraan bermotor adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
||||||||||
3. | Jika kendaraan bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut maka pengecualian tidak berlaku. |
1. | Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. |
2. | Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. |
1. | Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB dengan tarif BBNKB. |
2. | BBNKB yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
3. | Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran kendaraan bermotor. |
1. | Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12% (dua belas persen). |
2. | Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen). |
3. | Tarif BBNKB ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
a. | iuran izin usaha pemanfaatan hutan; DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk bagian Daerah, dibagikan kepada:
|
||||||||
b. | provisi sumber daya hutan; DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:
|
||||||||
c. | dana reboisasi. DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk provinsi penghasil. DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. |
a. | iuran tetap; DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap yang diperoleh dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:
|
||||||||||||||||||
b. | iuran produksi. DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:
|
a. | provinsi yang bersangkutan sebesar 2% (dua persen); |
b. | kabupaten/kota penghasil sebesar 6,5% (enam koma lima persen); |
c. | kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 3% (tiga persen); |
d. | kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3% (tiga persen); dan |
e. | kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen). |
a. | Provinsi penghasil sebesar 5% (lima persen); |
b. | kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 9,5% (sembilan koma lima persen); dan |
c. | kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen). |
a. | provinsi yang bersangkutan sebesar 4% (empat persen); |
b. | kabupaten/kota penghasil sebesar 13,5% (tiga belas koma lima persen); |
c. | kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 6% (enam persen); |
d. | kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen); dan |
e. | kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen). |
a. | provinsi penghasil sebesar 10% (sepuluh persen); |
b. | kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 19,5% (sembilan belas koma lima persen); dan |
c. | kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen). |
a. | iuran tetap; dan |
b. | iuran produksi. |
a. | provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen); |
b. | kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen); |
c. | kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 12% (dua belas persen); |
d. | kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen); dan |
e. | kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen). |
a. | pemindahan hak karena:
|
||||||||||||||||||||||||||
b. | pemberian hak baru karena:
|
a. | hak milik; |
b. | hak guna usaha; |
c. | hak guna bangunan; |
d. | hak pakai; |
e. | hak milik atas satuan rumah susun; |
f. | hak pengelolaan. |
a. | untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah; |
b. | oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; |
c. | untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri; |
d. | untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; |
e. | oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; |
f. | oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf; |
g. | oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan |
h. | untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | harga transaksi untuk jual beli; |
b. | nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan |
c. | harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang. |
Nilai Perolehan Objek Pajak ( NPOP) | xxxx |
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) | xxxx (-) |
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) | xxxx |
1. | pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli; |
2. | pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah; |
3. | pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris; |
4. | pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim; |
5. | pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak; |
6. | pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; atau |
7. | pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang. |
1. | meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan |
2. | melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. |
1. | denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran; dan/atau |
2. | denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan. |
1. | meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan |
2. | melaporkan risalah lelang kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. |
a. | kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NOPD yang tercantum:
|
||||
b. | kesesuaian NJOP Bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2; | ||||
c. | kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2; | ||||
d. | kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan objek pajak (perolehan hak karena waris dan hibah wasiat), NJOP, NJOP tidak kena pajak, tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, dan BPHTB terutang atau yang harus dibayar; | ||||
e. | kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan | ||||
f. | kesesuaian kriteria objek pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Kriteria tertentu diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. |
a) | kereta api; |
b) | Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara; |
c) | Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; |
d) | Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan |
e) | Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda. |
1. | Dasar pengenaan PKB untuk jenis kendaraan di darat adalah hasil perkalian dari:
|
||||||||||||||
2. | Bobot dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
3. | Bobot dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
||||||||||||||
4. | Dasar pengenaan PKB untuk jenis kendaraan di air hanya berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor. | ||||||||||||||
5. | Nilai jual kendaraan bermotor ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor yang ditetapkan pada minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya. | ||||||||||||||
6. | Harga pasaran umum adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat. | ||||||||||||||
7. | Dalam hal harga pasaran umum suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, nilai jual kendaraan bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
||||||||||||||
8. | Dasar pengenaan PKB dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:
|
1. | Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
2. | Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
3. | Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan paling tinggi 0,5% (nol koma lima persen). | ||||
4. | Kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama. | ||||
5. | Tarif PKB ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
a. | bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan |
b. | bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. |
1. | Jenis Retribusi terdiri atas, Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha; dan Retribusi Perizinan Tertentu. |
2. | Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah. |
1. | Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. |
2. | Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan dan wajib membayar atas layanan yang digunakan/ dinikmati. Bagi Wajib |
a. | Retribusi Jasa Umum Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Retribusi Jasa Umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. Objek Retribusi Jasa Umum mencakup:
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah termasuk BLUD berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada dilaksanakan dengan ketentuan:
Perkada disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan. |
||||||||||||||||||||||||||
b. | Retribusi Jasa Usaha Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Yang termasuk ke dalam Retribusi Jasa Usaha adalah:
Penyediaan atau pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah termasuk BLUD berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada dilaksanakan dengan ketentuan:
Perkada disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan. |
||||||||||||||||||||||||||
c. | Retribusi Perizinan Tertentu Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Retribusi jenis ini mencakup:
Pelayanan disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi yang dijelaskan diatas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan yang diatur atas Penambahan jenis Retribusi antara lain: Objek Retribusi, Subjek dan Wajib Retribusi, Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi dan Tata cara penghitungan Retribusi. |
1. | Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. |
2. | Tingkat penggunaan jasa merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. |
1. | Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. |
2. | Tarif Retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. |
3. | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
4. | Peninjauan tarif Retribusi dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi. |
5. | Penetapan tarif Retribusi ditetapkan dengan Perkada. |
a. | pendaftaran dan pendataan |
b. | penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang; |
c. | pembayaran dan penyetoran; |
d. | pelaporan; |
e. | pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan; |
f. | pemeriksaan Pajak; |
g. | penagihan Pajak dan Retribusi; |
h. | keberatan; |
i. | gugatan; |
j. | penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Kepala Daerah; dan |
k. | pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi. |
- | Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah, kecuali Wajib Pajak PBBKB dan penyedia tenaga listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. |
- | Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak. |
- | Seluruh Kendaraan Bermotor kepemilikan pertama, kedua, dan seterusnya, untuk PKB. |
- | Seluruh Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai dalam wilayah provinsi, untuk PAB. |
- | Seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah kabupaten/kota, untuk PBB-P2. |
- | Tidak memiliki tunggakan pajak. |
- | Tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali. |
• | Surat pendaftaran objek pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah. |
• | Surat pemberitahuan objek pajak (SPOP) untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak. |
• | Hasil pemeriksaan atau keterangan lain. |
• | SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. |
• | Hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak. |
• | Sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun. |
• | Kerja sama pemanfaatan. |
• | Bangun guna serah atau bangun serah guna. |
• | Kerja sama penyediaan infrastruktur. |
• | Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. |
• | Tidak menghambat iklim investasi di daerah. |
• | Tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi. |
1. | kebijakan makroekonomi Daerah dan |
2. | potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. |
a. | Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan |
b. | Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah Pusat yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah. |
a. | dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi dengan penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional; dan |
b. | pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha. |
a. | Keberatan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia | ||||||||||
b. | Pengajuan keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar, yang meliputi:
|
a. | menerima seluruhnya atau sebagian, |
b. | menolak, atau |
c. | menambah besarnya Retribusi yang terutang. |
1. | Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB. |
2. | Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB. |
3. | Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB, yaitu produsen dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri. |
1. | Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
2. | Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi. |
3. | Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah melalui Peraturan Presiden, dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dalam rangka stabilisasi harga. |
4. | Tarif PBBKB ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
1. | Objek PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. |
2. | Dimaksud dengan bumi termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. |
a. | bumi dan/atau bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah; |
b. | bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; |
c. | bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis; |
d. | bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; |
e. | bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; |
f. | bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri; |
g. | bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis; |
h. | bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan |
i. | bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah. |
1. | Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. |
2. | Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. |
1. | Dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak. | ||||||
2. | Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. | ||||||
3. | NJOP ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. | ||||||
4. | NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. | ||||||
5. | Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP Tidak Kena Pajak hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap tahun pajak. | ||||||
6. | NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak. | ||||||
7. | NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. | ||||||
8. | Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah. | ||||||
9. | NJOP dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata, penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
|
||||||
10. | NJOP ditetapkan berdasarkan proses penilaian yang lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri. |
1. | Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 dengan tarif PBB-P2. |
2. | Tahun pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. |
3. | Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. |
4. | Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2. |
a. | laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan |
b. | Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut. |
1. | Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen). |
2. | Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya. |
3. | Tarif PBB-P2 ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
a. | terbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau |
b. | ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung. |
a. | diterbitkan Surat Teguran; atau |
b. | terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung. |
a. | pelaksanaan Penagihan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan; dan |
b. | hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah. |
1. | Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. |
2. | Termasuk dalam rokok meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. |
1. | Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok. |
2. | Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. |
1. | Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok dengan tarif Pajak Rokok. |
2. | Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. |
3. | Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. |
4. | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri. |
a. | asbes; |
b. | batu tulis; |
c. | batu setengah permata; |
d. | batu kapur; |
e. | batu apung; |
f. | batu permata; |
g. | bentonit; |
h. | dolomit; |
i. | feldspar; |
j. | garam batu (halite); |
k. | grafit; |
l. | granit/andesit; |
m. | gips; |
n. | kalsit; |
o. | kaolin; |
p. | leusit; |
q. | magnesit; |
r. | mika; |
s. | marmer; |
t. | nitrat; |
u. | obsidian; |
v. | oker; |
w. | pasir dan kerikil; |
x. | pasir kuarsa; |
y. | perlit; |
z. | fosfat; |
aa. | talk; |
bb. | tanah serap (fullers earth); |
cc. | tanah diatom; |
dd. | tanah liat; |
ee. | tawas (alum); |
ff. | tras; |
gg. | yarosit; |
hh. | zeolit; |
ii. | basal; |
jj. | trakhit; |
kk. | belerang; |
ll. | MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan |
mm. | MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; |
b. | untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan |
c. | untuk keperluan lainnya yang ditetapkan dengan Perda. |
a. | Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; |
b. | Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau |
c. | Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen. |
a. | Pajak terutang tidak atau kurang dibayar; |
b. | hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak; |
c. | SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau |
d. | Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. |
a. | mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau |
b. | membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan |
c. | menolak permohonan Wajib Pajak.Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen. |
a. | kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi; |
b. | kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak; |
c. | untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro; |
d. | untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau |
e. | untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional. |
1. | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar dan kondisi tertentu objek pajak, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
||||||||
2. | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. | ||||||||
3. | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam mencapai program prioritas daerah disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah. | ||||||||
4. | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional. |
a. | kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. |
b. | lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Perkada.
a. | Keberatan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia | ||||||||||||||
b. | Mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas. | ||||||||||||||
c. | Pengajuan keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
|
||||||||||||||
d. | Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. |
a. | menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak; |
b. | menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak; |
c. | menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau |
d. | menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak. |
a. | kerangka pengeluaran jangka menengah Daerah; |
b. | penganggaran terpadu; dan |
c. | penganggaran berbasis kinerja. |
- | Dalam hal terdapat SiLPA yang telah ditentukan penggunaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan pada tahun anggaran sebelumnya, Daerah wajib menganggarkan SiLPA dimaksud sesuai dengan penggunaannya. |
- | Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan tinggi, SiLPA dapat diinvestasikan dan/atau digunakan untuk pembentukan Dana Abadi Daerah dengan memperhatikan kebutuhan yang menjadi prioritas Daerah yang harus dipenuhi. |
- | Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan rendah, Pemerintah dapat mengarahkan penggunaan SiLPA dimaksud untuk belanja infrastruktur pelayanan publik Daerah yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah. |
- | Penilaian kinerja layanan menggunakan hasil penilaian kinerja yang berlaku untuk penghitungan DAU. |
- | Ketentuan lebih lanjut mengenai optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
a. | pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang; |
b. | keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak; |
c. | keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,; dan |
d. | penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, |
a. | menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; |
b. | meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi; |
c. | meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen. |
d. | memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi; |
e. | melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; |
f. | meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi; |
g. | menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa; |
h. | memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi; |
i. | memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; |
j. | menghentikan penyidikan; dan/atau |
k. | melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | DBH; |
b. | DAU; |
c. | DAK; |
d. | Dana Otonomi Khusus; |
e. | Dana Keistimewaan; dan |
f. | Dana Desa. |
• | jumlah penduduk, |
• | luas wilayah, |
• | target layanan, |
• | lokasi, dan/atau |
• | status Daerah penghasil DBH. |
a. | kemampuan Keuangan Negara; |
b. | kinerja pelaksanaan kegiatan di Daerah yang didanai dari Pajak dan dana TKD; dan/atau |
c. | kebijakan pengendalian Belanja Daerah dan kas Daerah,dalam rangka sinergi pengelolaan fiskal nasional. |
a. | kebutuhan pelayanan publik sebagai bagian dari pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah; |
b. | kemampuan Keuangan Negara; |
c. | pagu TKD secara keseluruhan; dan |
d. | target pembangunan nasional. |
a. | mencapai prioritas nasional; |
b. | mempercepat pembangunan Daerah; |
c. | mengurangi kesenjangan layanan publik; |
d. | mendorong pertumbuhan perekonomian Daerah; dan/atau |
e. | mendukung operasionalisasi layanan publik. |
a. | rencana pembangunan jangka menengah nasional; |
b. | rencana kerja pemerintah; |
c. | kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal; |
d. | arahan Presiden; dan |
e. | ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | DAK fisik, yang digunakan untuk mendukung pembangunan/ pengadaan sarana dan prasarana layanan publik Daerah; |
b. | DAK nonfisik, yang digunakan untuk mendukung operasionalisasi layanan publik Daerah; dan |
c. | hibah kepada Daerah, yang digunakan untuk mendukung pembangunan fisik dan/atau layanan publik Daerah tertentu yang didasarkan pada perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. |
a. | Banding tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia |
b. | Pengajuan banding harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan. |
Alokasi Dana Otonomi Khusus
(Pasal 132 UU Nomor 1 Tahun 2022)
Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang mengenai otonomi khusus yang bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dana Otonomi Khusus dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang mengenai otonomi khusus yang dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan secara adil dan transparan sesuai dengan Undang-Undang mengenai otonomi khusus. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana pembangunan jangka menengah Daerah serta target kinerja.
a. | Memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya yang ditetapkan sebelumnya. |
b. | Memberikan sumbangan kepada penerimaan daerah. |
c. | Menyelenggarakan kemanfaatan umum lintas generasi. |
a. | Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD untuk tahun anggaran berikutnya, paling lama bulan Agustus tahun anggaran berjalan, dengan memperhatikan keadaan dan perkembangan perekonomian nasional; |
b. | jumlah kumulatif defisit APBD dan defisit APBN tidak melebihi 3% (tiga persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan; dan |
c. | jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pembiayaan Utang Daerah tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan. |
a. | proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan; |
b. | proyeksi penurunan pendapatan negara/Daerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau |
c. | adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. |
a. | Pemerintah Pusat dapat mewajibkan Daerah untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan perubahan penggunaan APBD; |
b. | Pemerintah Pusat dapat melakukan penyesuaian besaran batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah; dan |
c. | ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan perubahan penggunaan APBD dan penyesuaian batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana disebutkan pada poin a dan b, diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
1. | Penyusunan konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional sesuai dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah. Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan. Pemerintah Pusat membangun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital yang terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional. Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. |
||||||||
2. | Penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional Dalam rangka penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional, Pemerintah Daerah menyediakan informasi keuangan Daerah secara digital dalam jaringan. |
||||||||
3. | Pemantauan dan evaluasi pendanaan desentralisasi Pemerintah Pusat melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala paling sedikit terhadap pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada
Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan sistem informasi. Hasil pemantauan dan evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Pusat dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
a. | Pemerintah Pusat tidak memberikan jaminan atas Pembiayaan Utang Daerah |
b. | Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar negeri. |
c. | Nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD yang diberikan pada saat pembahasan APBD. |
d. | Dalam hal kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD, Kepala Daerah dapat melakukan Pembiayaan melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui DPRD dan dilaporkan sebagai perubahan APBD tahun yang bersangkutan. |
a. | Pemerintah, melalui Menteri Keuangan yang dapat dilakukan melalui penugasan kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank yang dianggap mampu oleh Menteri Keuangan, setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. |
b. | Pemerintah daerah lain. |
c. | Lembaga Keuangan Bank. |
d. | Lembaga Keuangan Bukan Bank. |
a. | Pengelolaan kas, dapat dilakukan tanpa persetujuan DPRD dan harus dilunasi dalam tahun anggaran berkenaan. |
b. | Pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, dapat berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan. |
c. | Pengelolaan portofolio utang daerah. |
d. | Penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD berupa penugasan dari Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah kepada BUMD untuk membiayai program/kegiatan yang bersifat strategis nasional atau penugasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan penugasan Pemerintah Daerah kepada BUMD yang bukan merupakan program/kegiatan yang bersifat strategis nasional harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
1. | Diterbitkan melalui pasar modal domestik dan dalam mata uang Rupiah. |
2. | Dilakukan dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
3. | Khusus untuk penerbitan Sukuk Daerah, dilakukan setelah mendapat pernyataan kesesuaian Sukuk Daerah terhadap prinsip-prinsip syariah dari ahli syariah pasar modal. |
4. | Barang milik daerah dan/atau objek pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah baik berupa tanah dan/atau bangunan ataupun selain tanah dan/atau bangunan (barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas), dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah namun tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Aset daerah tersebut tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dihapuskan sampai dengan jatuh tempo Sukuk daerah. |
a. | Pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah yang dilakukan untuk penyediaan sarana dan prasarana Daerah. |
b. | Pengelolaan portofolio utang Daerah. |
c. | Penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD atas dana hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. |
a. | Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas Pembiayaan utang pihak lain termasuk diantaranya barang milik daerah. |
b. | Pemerintah Daerah wajib membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah pada saat jatuh tempo yang dianggarkan dalam APBD sampai dengan berakhirnya kewajiban. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menganggarkan pembayaran kewajiban Pembiayaan Utang Daerah, Kepala Daerah dan DPRD dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan. |
c. | Dalam hal daerah tidak membayar kewajiban pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat dan lembaga yang mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat yang telah jatuh tempo, Menteri Keuangan dapat melakukan pemotongan dana DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |