Media Komunitas
Perpajakan Indonesia

HIGHLIGHTSDATA CENTERSUBJEK PILIHANFORUM
PeraturanTax TreatyPutusanKurs KMKKurs BITarif Bunga
Fitur
highlightsdata centersubjek pilihanforum
Informasi
About UsKebijakan PrivasiPedoman Media SiberDisclaimerKontak KamiCareer
Navigating the Coretax era with
Ortax Ecosystem
Ortax Ecosystem
pajakexpress.com | pajak101.com | taxbase.id | bsadvisory.com

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pajak Penghasilan
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM )
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Meterai
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Pengadilan Pajak
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP)
Pajak Daerah
Bea Cukai

PENGANTAR

Pajak Penghasilan sebagai Pajak Subjektif

Pajak Penghasilan sebagai Pajak Langsung

Pajak Penghasilan sebagai Pajak Pusat atau Pajak Negara

SUBJEK PAJAK

Dasar Hukum

Pengertian

Penggolongan Subjek Pajak

Wajib Pajak

Penentuan Tempat Tinggal atau Tempat Kedudukan

Kewajiban Pajak Subjektif

Tidak termasuk sebagai Subjek Pajak

OBJEK PAJAK,
OBJEK PAJAK FINAL DAN BUKAN OBJEK PAJAK

OBJEK PAJAK

OBJEK PAJAK FINAL

BUKAN OBJEK PAJAK

BENTUK USAHA
TETAP

Dasar Hukum

Pengertian

Jenis-jenis BUT

Penghasilan BUT

Penghasilan Kena Pajak BUT

PENGURANG PENGHASILAN
BRUTO (BIAYA)

Dasar Hukum

Biaya-biaya yang Dapat Dikurangkan

Biaya-biaya yang Tidak Dapat Dikurangkan

Biaya Bunga

Biaya Entertainment

Selisih Kurs Mata Uang Asing

Pembentukan Cadangan

Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu

Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan

Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer

Zakat

Pajak Masukan PPN Yang Tidak Dapat Dikreditkan

Imbalan Bunga yang diterima Wajib Pajak

Dividen Terselubung & Saham Bonus

PENGHASILAN TIDAK
KENA PAJAK (PTKP)

Dasar Hukum

Jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak

Penentuan Besarnya PTKP

PTKP Atas Warisan

PAJAK ATAS
PENGHASILAN ANGGOTA KELUARGA

Dasar Hukum

Penghasilan Wanita Kawin

Penghasilan Anak Belum Dewasa

PENYUSUTAN DAN
AMORTISASI

Dasar Hukum

Penyusutan

Jenis-jenis Harta Berwujud

Penyusutan atas Perbaikan Aset

Penyusutan di Bidang Usaha Tertentu

Amortisasi

NORMA PENGHITUNGAN
PENGHASILAN NETO

Dasar Hukum

Pengertian

Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Cara Penghitungan

NORMA PENGHITUNGAN
KHUSUS

Dasar Hukum

Pengertian

Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Internasional

Asuransi Luar Negeri

Pengeboran minyak, gas dan panas bumi

Usaha Dagang Asing

Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer)

PENGHASILAN KENA
PAJAK

Dasar Hukum

Pengertian

Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)

Wajib Pajak Luar Negeri

Orang Pribadi Dalam Bagian Tahun Pajak

Bagian Tahun Buku

TARIF PAJAK
DAN PPh TERUTANG

Dasar Hukum

Tarif Pajak

Penurunan Tarif

Perubahan lapisan Penghasilan Kena Pajak

Pembulatan Penghasilan Kena Pajak

PEMOTONGAN PAJAK
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN (PPh Pasal 21)

Dasar Hukum

Objek Pemotongan PPh Pasal 21

Pemotong PPh

Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun

PPh Pasal 21 atas Hadiah Saham kepada Pegawai

Pengalihan Dana Pensiun ke Perusahaan Asuransi Jiwa

Penghitungan PPh Pasal 21

Tunjangan Pajak

Pelaporan PPh Pasal 21/26

PEMOTONGAN PPh
PASAL 22

Dasar Hukum

Objek Pemungutan

Pemungut Pajak

Tarif Pemungutan PPh Pasal 22

PEMOTONGAN PPh
PASAL 23

Dasar Hukum

Objek Pemotongan

Pemotong Pajak

Tarif Pemotongan PPh Pasal 23

Jenis-Jenis Jasa Lain yang Dikenakan PPh Pasal 23

Jasa Selain PMK 141/PMK.03/2015

Sewa Angkutan Darat

PEMOTONGAN PPh
PASAL 26

Dasar Hukum

Subjek Pemotongan

Pemotong Pajak

Tarif Pemotongan PPh Pasal 26

Sifat Pemotongan PPh Pasal 26

PELUNASAN DALAM
TAHUN BERJALAN

Dasar Hukum

Pengertian

Saat terutang, saat pemotongan atau pemungutan

KREDIT PAJAK
LUAR NEGERI

Dasar Hukum

Kredit Pajak Luar Negeri

ANGSURAN PAJAK
DALAM TAHUN BERJALAN (PPh PASAL 25)

Dasar Hukum

Ketentuan Pembayaran Angsuran Bulanan

Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Berhak atas Kompensasi Kerugian

Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Memperoleh Penghasilan Tidak Teratur

Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Mengalami Perubahan Keadaan Usaha

Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Menyampaikan SPT Lewat Batas Waktu

Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Membetulkan SPT Tahunan PPh

Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru

PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Bank

PPh Pasal 25 Bagi BUMN/BUMD

PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

PPh Pasal 25 untuk Karyawan yang Bekerja Lebih Dari Satu Pemberi Kerja

PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak BUT Pengeboran Minyak dan Gas Bumi

PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya

Penghitungan PPh Pasal 25 Sehubungan dengan Penurunan Tarif PPh Badan

PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang berusaha dalam bidang penambangan umum dalam rangka kontrak Karya yang pengenaan pajaknya berdasarkan Ordonansi Pajak Perseroan 1925

PENGHITUNGAN PPh
PADA AKHIR TAHUN

Dasar Hukum

Kredit Pajak Penghasilan

Pajak Lebih Dibayar

Pajak Kurang Dibayar

REVALUASI AKTIVA
TETAP

Dasar Hukum

Permohonan Penilaian Kembali

Prosedur Penilaian Kembali Aktiva Tetap

FASILITAS PERPAJAKAN

Dasar Hukum

Bentuk Fasilitas

PENGGABUNGAN, PELEBURAN,
DAN PEMEKARAN USAHA

Dasar Hukum

Pengertian

Prosedur Permohonan Penggunaan Nilai Buku

Perlakuan Perpajakan atas Penggabungan, Peleburan, dan Pemekaran Usaha

PERUSAHAAN PERTAMBANGAN

Dasar Hukum

Cadangan Reklamasi Pertambangan

PAJAK PENGHASILAN
ATAS JASA MAKLON

Dasar Hukum

Pengertian

Mekanisme PPh atas Jasa Maklon

MODAL VENTURA

Dasar Hukum

Aspek Perpajakan

KETENTUAN PAJAK
PENGHASILAN PADA PANDEMI COVID-19

Dasar Hukum

Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019

Insentif PPh DTP

ReadView

Pajak Penghasilan sebagai Pajak Subjektif

Pajak Penghasilan (PPh) tergolong sebagai pajak subjektif yaitu pajak yang mempertimbangkan keadaan pribadi Wajib Pajak sebagai faktor utama dalam pengenaan pajak. Keadaan pribadi Wajib Pajak yang tercermin pada kemampuannya untuk membayar pajak atau daya pikulnya, ikut dipertimbangkan dan dijadikan sebagai dasar utama dalam menentukan berapa besarnya jumlah pajak yang dapat dibebankan kepadanya.

Penentuan daya pikul seseorang sangat subjektif sifatnya karena daya pikul dapat ditentukan dengan berbagai ukuran. Jumlah penghasilan, kekayaan Wajib Pajak, jumlah tanggungan keluarga adalah contoh unsur penentu dalam mengukur daya pikul. Apabila penghasilan dipergunakan sebagai ukuran daya pikul, seseorang akan dikenakan pajak berdasarkan jumlah penghasilannya. Orang-orang yang memiliki penghasilan yang sama akan dikenakan pajak yang sama, dan orang yang penghasilannya berbeda akan dikenakan pajak yang berbeda pula. Apabila tanggungan keluarga diikutsertakan dalam menentukan daya pikul, orang-orang yang mempunyai penghasilan yang sama, akan dapat dikenakan pajak yang berbeda-beda seandainya mempunyai tanggungan keluarga yang berbeda. Perbedaan tanggungan keluarga menyebabkan adanya perbedaan daya pikul.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan   
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.010/2018 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2023 Tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Berwujud
  6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
  7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/2000 Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor Yang Melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Bumi Dalam Rangka Kontrak Bagi Hasil dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (Pertamina)
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2012 tentang Tata Cara Permohonan dan Penetapan Masa Manfaat yang Sesungguhnya atas Harta Berwujud Yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu
  9. Peraturan Direktur Jenderal pajak Nomor PER-10/PJ/2014 tentang Tata Cara Permohonan Dan Penetapan Atas Saat Mulainya Penyusutan Harta Berwujud Yang Dapat Dilakukan Pada Bulan Digunakan Atau Bulan Mulai Menghasilkan
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penetapan Masa Manfaat yang Sesungguhnya Atas Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2021 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2021 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2021 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  13. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-316/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer
  14. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-520/PJ./2002 tentang Jenis-jenis Harta Yang Dipergunakan Dalam Usaha Jasa Telekomunikasi Seluler Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan
  15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.42/2002 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran Untuk Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Dan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Sebagai Biaya/Pengurang Penghasilan Bruto
  16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.31/2002 tentang Pengantar Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-520/PJ./2002 Tanggal 11 Desember 2002 tentang Jenis-jenis Harta Yang Dipergunakan Dalam Usaha Jasa Telekomunikasi Seluler Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan
Penyusutan

Pengertian penyusutan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11 (1))

Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan.

Metode yang digunakan untuk menghitung penyusutan harta berwujud
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11 (1))


Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan UU Pajak Penghasilan Ps 11 (1)) adalah :

a. Metode garis lurus (straight-line method) yaitu metode yang digunakan untuk menghitung penyusutan yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut.
   
b. Metode saldo menurun (declining-balance method) yaitu metode yang digunakan untuk menghitung penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Metode ini tidak dapat digunakan untuk menghitung penyusutan atas bangunan.

Penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.

Waktu penyusutan mulai dilakukan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11 (3))


Penyusutan aktiva dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali :
1. untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
2. dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak diperkenankan pada bulan harta digunakan untuk 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan) atau pada bulan harta mulai menghasilkan.
3. dalam bidang usaha tertentu dimulai pada:
  1. bulan mulai produksi komersial, yaitu bulan mulai dilakukan penjualan; dan
  2. tahun dilakukannya pengeluaran untuk ternak yang sudah menghasilkan setelah dipelihara ≤ 1 tahun.

Dengan persetujuan Dirjen Pajak, wajib pajak dapat melakukan penyusutan mulai pada bulan digunakannya harta tersebut untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.

Contoh 1 :
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2022 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2023. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2023.

Contoh 2 :
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2022 dengan harga perolehan sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.


Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 100.000.000,00
2022 6/12 x 50% 25.000.000,00 75.000.000,00
2023 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2024 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
2025 50% 9.375.000,00 9.375.000,00
2026 Disusutkan sekaligus 9.375.000,00 0


Yang tidak boleh disusutkan Menurut Ketentuan Fiskal
- Harta yang tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tidak boleh disusutkan secara fiskal.
- Dalam hal harta yang tidak boleh disusutkan secara fiskal tersebut dijual (dialihkan), keuntungannya merupakan obyek PPh, yang dihitung dari selisih antara harga jual (nilai pasar) dengan harga perolehan. Dalam hal selisihnya negatif (rugi), kerugian tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.

Masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11 (6))


Masa manfaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing-masing kelompok telah ditetapkan sebagai berikut :

Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat Tarif Penyusutan
Metode Garis Lurus
Tarif Penyusutan
Metode Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan      
  Kelompok I 4 Tahun 25% 50%
  Kelompok II 8 Tahun 12,5% 25%
  Kelompok III 16 Tahun 6,25% 12,5%
  Kelompok IV 20 Tahun 5% 10%
II. Bangunan :      
  Permanen 20 Tahun 5%  
  Tidak Permanen 10 Tahun 10%  

Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya barak atau asrama yang terbuat dari kayu untuk karyawan.

Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).
 
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 150.000.000,00
2009 50% 75.000.000,00 75.000.000,00
2010 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2011 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
2012 Disusutkan sekaligus 18.750.000,00 0

Bangunan dengan Masa Manfaat Lebih Dari 20 Tahun
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11 (6a), PP Nomor 55 Tahun 2022, PMK 72 Tahun 2023)


Bangunan dibedakan menjadi 2 yaitu:
  1. bangunan permanen (masa manfaat 20 tahun atau > 20 tahun)
  2. bangunan tidak permanen (masa manfaat 10 tahun)
Penyusutan dilakukan  dengan metode garis lurus

Wajib Pajak yang telah melakukan penyusutan atas bangunan permanen :
  1. yang dimiliki dan digunakan sebelum Tahun Pajak 2022; dan
  2. disusutkan dengan masa manfaat 20 tahun
dapat memilih melakukan penyusutan sesuai masa manfaat yang sebenarnya dengan menyampaikan pemberitahuan kepada DJP paling lambat akhir Tahun Pajak 2022.

Dalam hal Wajib Pajak memilih untuk melakukan penyusutan dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak dan belum menyampaikan pemberitahuan, Wajib Pajak dapat menyampaikan pemberitahuan paling lambat 30 April 2024

Dengan demikian dapat disimpulkan, setelah berlakunya UU HPP wajib pajak dapat memilih untuk menyusutkan bangunan permanen selama 20 tahun atau sesuai dengan masa manfaat aset tersebut. Sebagai contoh, jika wajib pajak memiliki bangunan dengan masa manfaat 30 tahun, wajib pajak dapat menyusutkan bangunan tersebut selama 20 tahun atau disusutkan selama 30 tahun sesuai manfaat sebenarnya. Agar dapat melakukan penyusutan sesuai dengan masa manfaat, untuk harta yang diperoleh dan dipergunakan sebelum Tahun Pajak 2022, wajib pajak harus melakukan pemberitahuan ke DJP paling lambat 30 April 2024.

Tata Cara Pemberitahuan :
Merujuk Pasal 30 PMK 72/2023, pemberitahuan dilakukan oleh wajib pajak berstatus pusat. Pemberitahuan dapat dilakukan secara elektronik, langsung, maupun melalui pos/jasa ekspedisi. Pemberitahuan dilakukan dengan memuat:
  1. identitas wajib pajak;
  2. nama harta berwujud/harta tak berwujud;
  3. tanggal perolehan atau selesainya pengerjaan;
  4. nilai perolehan;
  5. masa manfaat menurut wajib pajak; dan
  6. lokasi bangunan/asal perolehan harta tak berwujud.
Contoh surat pemberitahuan dapat dilihat pada Lampiran PMK 72/2023. Wajib pajak juga dapat melakukan pemberitahuan secara online lewat akun DJP Online.

Contoh Perhitungan :

Pada Januari 2017, PT Awan membeli sebuah gedung senilai Rp 1.000.000.000,00. Masa manfaat gedung berdasarkan pembukuan Wajib Pajak adalah 30 tahun. Wajib Pajak melakukan penyusutan dengan masa manfaat 20 tahun dan tarif penyusutan sebesar 5% per tahun.

Atas harta yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 (dua puluh) tahun, Wajib Pajak dapat memilih untuk menghitung biaya penyusutan sesuai dengan sisa masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak dengan tarif penyusutan yang dihitung berdasarkan nilai sisa buku fiskal, dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022.

Misal Februari 2022, PT Awan menyampaikan pemberitahuan memilih untuk menghitung biaya penyusutan atas gedung tersebut sesuai masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak.

Telah disusutkan selama 5 tahun dengan sisa masa manfaat pada awal Tahun Pajak 2022 (1 Januari 2022) adalah 25 tahun.
Untuk menghitung penyusutan mulai Tahun Pajak 2022 adalah :
  1. Tarif penyusutan  = 1/25  x 100% = 4% per tahun
  2. NSB fiskal  = Rp1.000.000.000,00 - (5 x 5% x Rp1.000.000.000,00) = Rp750.000.000,00.
  3. Penyusutan 2022   = 4 % x Rp750.000.000,00 = Rp30.000.000,00

Dasar penyusutan atas harta yang telah dilakukan penilaian kembali (revaluasi)
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11 (5), PMK 79/2008)


Dasar penyusutan atas harta yang telah dilakukan penilaian kembali (revaluasi) adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.

Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut :
  1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.
  2. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut.
  3. Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.
Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut :
  1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
  2. Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
  3. Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.

Contoh Perhitungan :
Pada tanggal 1 Januari 2013, PT ABC membeli sebuah bangunan dengan harga perolehan sebesar Rp 3.000.000.000. Secara akuntansi, gedung tersebut disusutkan selama 15 tahun tanpa nilai sisa dengan metode garis lurus. Kemudian, pada tanggal 31 Desember 2022, PT ABC disetujui untuk melakukan revaluasi atas bangunan tersebut dengan nilai sebesar Rp5.000.000.000. 

Bangunan tersebut termasuk ke dalam bangunan permanen sehingga disusutkan selama 20 tahun. Biaya penyusutan per tahun yang dibebankan secara fiskal oleh PT ABC sejak 2013 sampai dengan 2022 adalah sebagai berikut: 
5% x Rp3.000.000.000 = Rp150.000.000

Sesuai ketentuan pada PMK-79/2008, dasar penyusutan atas bangunan tersebut adalah sesuai nilai revaluasi, yakni Rp5 miliar. Meskipun aset telah dimanfaatkan  selama 10 tahun, sesuai ketentuan PMK-79/2008 masa manfaat kembali menggunakan masa manfaat secara penuh, yakni 20 tahun untuk bangunan permanen. Dengan demikian, penghitungan biaya penyusutan fiskal per tahun atas aset bangunan direvaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
5%x Rp 5.000.000.000 = Rp250.000.000
Jenis-jenis Harta Berwujud

Harta berwujud berdasarkan jenis usahanya
(PMK 72 Tahun 2023)


JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 1

Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Semua jenis usaha
  • Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk meja, bangku, kursi, lemari, dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan.
  • Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung, duplikator, mesin fotokopi, mesin akunting/pembukuan, laptop, komputer, printer, scanner, dan sejenisnya termasuk peranti elektronik lainnya.
  • Perlengkapan lainnya seperti amplifier, tape/ cassette, video recorder, televisi, dan sejenisnya termasuk peranti elektronik lainnya.
  • Sepeda motor, sepeda, dan becak.
  • Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa yang bersangkutan.
  • Alat dapur untuk memasak makanan dan minuman. g. Dies, jigs, dan cetakan (mould).
  • Alat-alat komunikasi seperti pesawat telepon, faksimile, telepon seluler, dan sejenisnya.
2 Pertanian, perkebunan, kehutanan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin seperti cangkul, peternakan, perikanan, garu dan lain-lain.
3 Industri makanan dan minuman Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh, pengering, pallet, dan sejenisnya.
4 Transportasi dan Pergudangan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai angkutan umum.
5 Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test system, elimination (PE8-1), pose checker.
6 Jasa Persewaan Peralatan Tambat Air Dalam Anchor, Anchor Chains, Polyester Rope, Steel Buoys, Steel Wire Ropes, Mooring Accessoris.
7 Jasa telekomunikasi selular Base Station Controller

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 2

Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Semua jenis usaha
  1. Mebel dan peralatan dari logam termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan merupakan bagian dari bangunan. Alat pengatur udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya.
  2. Mobil, bus, truk, speed boat dan sejenisnya.
  3. Container dan sejenisnya.
2 Pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan
  1. Mesin pertanian/perkebunan seperti traktor dan mesin bajak, penggaruk, penanaman, penebar benih dan sejenisnya.
  2. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.
3 Industri makanan dan minuman
  1. Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya pabrik susu, pengalengan ikan.
  2. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya mesin minyak kelapa, margarin, penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan beras, gandum, tapioka.
  3. Mesin yang menghasilkan/memproduksi minuman dan bahan-bahan minuman segala jenis.
  4. Mesin yang menghasilkan/memproduksi bahan-bahan makanan dan makanan segala jenis.
4 Industri Pengolahan Tembakau Mesin yang menghasilkan/memproduksi hasil olahan tembakau, seperti mesin rajang tembakau, mesin linting rokok, dan sejenisnya.
5 Industri mesin     Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin ringan (misalnya mesin jahit, pompa air).
6 Perkayuan, kehutanan
  1. Mesin dan peralatan penebangan kayu.
  2. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang kehutanan.
6 Konstruksi Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya.
8 Transportasi dan Pergudangan
  1. Truk kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat, truk peron, truck ngangkang, dan sejenisnya;
  2. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT;
  3. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal-kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT;
  4. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai dengan 250 DWT;
  5. Kapal balon.
9 Telekomunikasi
  1. Perangkat pesawat telepon;
  2. Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman dan penerimaan radio telegraf dan radio telepon.
10 Industri semi konduktor Auto Frame Loader, Automatic Logic Handler, Baking Oven, Bali Shear Tester, Bipolar Test Handler (Automatic), Cleaning Machine, Coating Machine, Curing Oven, Cutting Press, Dambar Cut Machine, Dicer, Die Bonder, Die Shear Test, Dynamic Burn-in System Oven, Dynamic Test Handler, Eliminator (PGE-01), Full Automatic Handler, Full Automatic Mark, Hand Maker, Individual Mark, Inserter Remover Machine, Laser Marker (FUM A-01), Logic Test System, Marker (Mark), Memory Test System, Molding, Mounter, MPS Automatic, MPS Manual, O/S Tester Manual, Pass Oven, Pose Checker, Re-form Machine, SMD Stocker, Taping Machine, Tiebar Cut Press, Trimming/Forming Machine, Wire Bonder, Wire Pull Tester
11 Jasa Persewaan Peralatan Tambat Air Dalam Spoolling Machines, Metocean Data Collector
12 Jasa Telekomunikasi Seluler Mobile Switching Center, Home Location Register, Visitor Location Register, Authentication Center, Equipment Identity Register, Intelligent Network Service Control Point, Intelligent Network Service Management Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini Link, Antena.

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 3

Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Pertambangan selain minyak dan gas Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang pertambangan, termasuk mesin-mesin yang mengolah produk pelikan.
2 Permintalan, pertenunan dan pencelupan
  1. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk tekstil (misalnya kain katun, sutra, serat-serat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena rami, permadani, kain-kain bulu, tule).
  2. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing, printing, finishing, texturing, packaging dan sejenisnya.
3 Perkayuan
  1. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk kayu, barang-barang dari jerami, rumput, dan bahan anyaman lainnya.
  2. Mesin dan peralatan penggergajian kayu.
4 Industri kimia
  1. Mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan produk industri kimia dan industri yang ada hubungannya dengan industri kimia (misalnya bahan kimia anorganis, persenyawaan organis dan anorganis dan logam mulia, elemen radio aktif, isotop, bahan kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris dan resinoida-resinonida wangi-wangian, obat kecantikan dan obat rias, sabun, detergent dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumina, perekat, bahan peledak, produk piroteknik, korek api, alloy piroforis, barang fotografi, dan sinematografi).
  2. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk industri lainnya (misalnya damar tiruan, bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis, karet tiruan, kulit samak, jangat, dan kulit mentah).
5 Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin menengah dan berat (misalnya mesin mobil, mesin kapal).
6 Transportasi dan Pergudangan
  1. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
  2. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
  3. Dok terapung.
  4. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat di atas 250 DWT.
  5. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala jenis.
7 Telekomunikasi Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak jauh.

 JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 4

Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi
2 Transportasi dan Pergudangan
  1. Lokomotif uap dan tender atas rel.
  2. Lokomotif listrik atas rel, dijalankan dengan batere atau dengan tenaga listrik dari sumber luar.
  3. Lokomotif atas rel lainnya.
  4. Kereta, gerbong penumpang dan barang, termasuk kontainer khusus dibuat dan diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat atau beberapa alat pengangkutan.
  5. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 1.000 DWT.
  6. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung dan sebagainya, yang mempunyai berat di atas 1.000 DWT.
  7. Dok-dok terapung.

Harta berwujud Untuk Usaha Jasa Telekomunikasi Seluler
(KEP-520/PJ/2002 jo. SE-09/PJ.31/2002)


No. Kelompok Harta Berwujud Jenis Harta
1. I Base Station Controller
2. II Mobile Swiching Center, Home Location Register, Visitor Location Register, Authentication Centre, Equipment Identity Register, Intelligent Network Service Management Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini Link, Antenna

- Dalam hal menggunakan metode garis lurus (straight-line method), jenis-jenis harta yang menjadi kelompok I maupun II, penyusutan fiskalnya dilakukan sesuai dengan masa manfaat yang tersisa
- Dalam hal menggunakan metode saldo menurun (declining balance method) :
1. Jenis-jenis harta yang menjadi kelompok I
  a. Apabila sisa manfaat pada awal tahun 2002 lebih dari 4 (empat) tahun, penyusutan fiskal berdasarkan kelompok I berakhir pada tahun keempat.
  b. Apabila sisa manfaat pada awal tahun 2002 tidak lebih dari 4 (empat) tahun, penyusutan fiskal berdasarkan kelompok I sesuai dengan masa manfaat yang tersisa.
2. Jenis harta yang menjadi kelompok II
  a. Apabila sisa manfaat fiskal pada awal tahun 2002 lebih dari 8 (delapan) tahun, penyusutan fiskal berdasarkan kelompok II berakhir pada tahun kedelapan.
  b. Apabila sisa manfaat fiskal pada awal tahun 2002 tidak lebih dari 8 (delapan) tahun, penyusutan fiskal berdasarkan kelompok II sesuai dengan masa manfaat yang tersisa.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
  3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 02/PJ.43/2001 tentang Penerusan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 536/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan.
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 100/PJ/2009 tentang Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling.
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 50/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Penyampaian Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Pengertian
(141/PMK.03/2015)

Jasa maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.

Transaksi maklon dilakukan oleh dua pihak, yaitu Pengguna Jasa (pemilik barang) dan Pihak Pemberi Jasa (subkontraktor).

Dengan kata lain, suatu pemberian jasa dapat dikatakan jasa maklon apabila memenuhi persyaratan:
- Spesifikasi barang ditentukan oleh pemilik barang/pengguna jasa.
- Sebagian atau seluruh barang disediakan dan dimiliki pengguna jasa.
Mekanisme PPh atas Jasa Maklon
(141/PMK.03/2015)

Atas imbalan jasa maklon yang dibayarkan atau terutang pada tanggal 1 Januari 2009 dan sesudahnya, dipotong PPh Pasal 23 sebesar dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Apabila dalam kontrak tidak dapat dipisahkan antara barang dan jasa, maka jumlah imbalan bruto atas jasa maklon adalah seluruh nilai kontrak.

Namun, apabila dalam kontrak dapat dipisahkan antara barang dan jasa, maka jumlah imbalan bruto  atas jasa maklon adalah pembayaran atas jasanya saja.

Jika tidak ada kontrak/perjanjian, pemisahan barang dan jasa dapat dilakukan dalam Purchase Order (PO) atau dalam invoice (tagihan).

Contoh Soal

PT Karet Rubber mengikat kontrak dengan PT Mode Pakaian untuk pembuatan seragam kantor PT Karet Rubber berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Karet Rubber. Dalam kontrak disepakati bahwa PT Karet Rubber akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Mode Pakaian akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp100.000.000,00 tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Mode Pakaian mengeluarkan biaya sebesar Rp20.000.000,00 untuk bahan tambahan yang dibayarkan kepada CV Palugada.
 
Pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi di atas adalah sebagai berikut:
 
a. Atas pembayaran yang dilakukan PT Karet Rubber kepada PT Mode Pakaian dipotong PPh Pasal 23 atas jasa maklon oleh PT Karet Rubber sebesar:
2% x Rp.100.000.000,00 = Rp2.000.000,00
   
b. Dalam hal tidak ada faktur pembelian kepada CV Palugada atas rincian tagihan biaya bahan tambahan, maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp120.000.000,00 sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Karet Rubber atas pembayaran kepada PT Mode Pakaian adalah sebesar:
2% x Rp 120.000.000,00 = Rp2.400.000,00
 
Dasar Hukum
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Dari Pembeli Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat  Mewah.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013 tentang Kewajiban Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan Yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, Atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 Tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Dari Pembeli Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 Tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Dari Pembeli Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.
  7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 199/PMK.010/2019 Tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, Dan Pajak atas Impor Barang Kiriman
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 Tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2023 Tentang Pajak Penghasilan Dan/Atau Pajak Pertambahan Nilai Atas Penjualan/Penyerahan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan Yang Bahan Seluruhnya Bukan Dari Emas, Batu Permata Dan/Atau Batu Lainnya Yang Sejenis, Serta Jasa Yang Terkait Dengan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan Yang Bahan Seluruhnya Bukan Dari Emas, Dan/Atau Batu Permata Dan/Atau Batu Lainnya Yang Sejenis, Yang Dilakukan Oleh Pabrikan Emas Perhiasan, Pedagang Emas Perhiasan, Dan/Atau Pengusaha Emas Batangan.
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2), Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 Dan/Atau Pasal 26 Serta Bukti Pemotongan/ Pemungutannya.
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan Dari Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Oleh Pihak Lain.
  12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 57/PJ/2010 Tentang Tata Cara Dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
  13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2014 tentang Pengawasan Terhadap Pemotongan/Pemungutan Dan Penyetoran Pajak Yang Dilakukan Oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah.
  14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan Dari Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Oleh Pihak Lain.
  15. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2015 Tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.
  16. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 19/PJ/2015 Tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.
  17. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 Tentang Tata Cara Dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.   
  18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-28/PJ.43/1998 tentang PPh Pasal 22 Atas Impor Barang Untuk Kegiatan/Jasa Yang Atas Imbalannya Semata-mata Dikenakan PPh Final.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura Dari Transaksi Penjualan Saham Atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usahanya.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura Pada Perusahaan Mikro, Kecil, Dan Menengah
Aspek Perpajakan

Aspek perpajakan atas perusahaan modal ventura
(48/PMK.010/2018 jo. SE - 33/PJ.4/1995)


Perusahaan mikro, kecil, dan menengah yang menjadi pasangan usaha perusahaan modal ventura yaitu perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Adapun Batasan penjualan bersih setahun merupakan penghasilan bersih tahun pajak sebelumnya pada saat perusahaan modal ventura melakukan penyertaan modal kepada perusahaan pasangan usaha. Beberapa ketentuan terkait adalah sebagai berikut:
  1. Penyertaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek atau untuk jangka waktu tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun.
  2. Perusahaan modal ventura sebagaimana dimaksudadalah perusahaan modal ventura  yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
  3. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari perusahaan pasangan usahayang memenuhi ketentuan, bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.
  4. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang telah menjual sahamnya di bursa efek atau setelah melewati jangka waktu merupakan Objek Pajak Penghasilan kecuali apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Pasal 4 angka (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan dan penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.

Pajak Penghasilan sebagai Pajak Langsung

John Stuart Mills, seorang ahli ekonomi Inggris tahun 1800-an, mempelopori pembedaan pajak atas Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pembedaan ini dilakukan dengan memperhatikan unsur yang mempunyai arti ekonomis yang ada pada pengertian pajak. Pengertian umum yang membedakan kedua jenis pajak itu adalah  :
  • Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan terhadap orang yang harus menanggung dan membayarkannya.
  • Pajak Tidak Langsung dikenakan terhadap orang yang harus menanggungnya, tetapi dapat diharapkan pihak lain untuk membayarnya.
Dari kedua pengertian di atas, dapat dilihat adanya tiga unsur yang sama-sama dimiliki keduanya, yaitu :
  1. Penanggung jawab pajak (wajib pajak), yaitu orang yang secara hukum (yuridis formal) harus membayar pajak.
  2. Penanggung pajak, adalah orang yang membayar pajak (dalam arti ekonomis)
  3. Pemikul pajak (destinataris), yaitu orang yang dimaksud oleh ketentuan harus memikul beban pajak.
Jika dalam pengenaan pajak, ketiga unsur itu dapat ditemukan pada diri seseorang, maka pajak yang dikenakan dapat dikatakan sebagai pajak langsung. Jika ketiga unsur itu terpisah, atau terdapat pada lebih dari satu orang, maka pajak yang dikenakan dapat dikatakan sebagai Pajak Tidak Langsung.

Pajak Penghasilan (PPh) adalah satu contoh dari pajak yang termasuk sebagai Pajak Langsung. Ketiga unsur pajak dalam pengertian di atas, ditemukan dalam diri satu orang.

Sebuah Badan, dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya bertindak sebagai :
  1. Penanggung pajak (harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak - NPWP)
  2. Pembayar Pajak, pada setiap masa pajak melakukan pembayaran PPh.
  3. Destinataris, sebagai yang dituju oleh Undang-undang untuk memikul beban pajak.
Kewajiban Pajak Subjektif

Mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif
(UU Pajak Penghasilan Pasal 2A)


No Subjek Pajak Mulainya kewajiban subyektif Berakhirnya kewajiban subyektif
A. Subjek Pajak Dalam Negeri
  1. Orang Pribadi Saat dilahirkan, berniat tinggal di Indonesia atau sejak hari pertama berada di Indonesia. Saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
  2. Warisan yang belum terbagi Saat timbulnya warisan yang belum terbagi (pewaris meninggal). Saat warisan tersebut dibagi kepada ahli warisnya.
  3. Badan Saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
B. Subjek Pajak Luar Negeri
  1. Orang Pribadi Saat orang pribadi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia Saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia.
  2. Badan Saat Badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia Saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia.
C. Bentuk Usaha Tetap (BUT) Saat BUT tersebut mulai berada di Indonesia Saat BUT tersebut tidak lagi berada di Indonesia
Pengertian
(UU Pajak Penghasilan Pasal 1 (1))

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Subjek pajak adalah orang yang dituju oleh undang-undang perpajakan untuk dikenakan pajak.

Subjek pajak meliputi :
a. Orang pribadi.
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, yaitu ahli waris.
c. Badan.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
 
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
(Penjelasan - UU Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat (1) huruf (a))


Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

Badan
(Penjelasan - UU Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat (1) huruf (b), SE-22/PJ/2022)


Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terdapat perluasan definisi Perseroan Terbatas. PT kini bisa didirikan oleh satu orang, dan dikenal dengan nama PT Perorangan atau Perseroan Perorangan. Meskipun dimiliki oleh satu orang, dalam konteks kewajiban pajak, PT Perorangan termasuk subjek pajak badan. Hal ini ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ/2022.

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.

Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Bentuk Usaha Tetap
(UU Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat (5))


Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Tidak termasuk sebagai Subjek Pajak
(UU Pajak Penghasilan Pasal 3, 235/PMK.010/2020, 156/PMK.010/2015)


Tidak termasuk Subjek Pajak adalah :
1. Badan Perwakilan Negara Asing
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat :
a. Bukan WNI
b. Di Indonesia tidak menerima/memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia
c. negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi-Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat :
a. Indonesia menjadi anggotanya
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat :
a. Bukan WNI
b. Di Indonesia tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

Berdasarkan PMK No. 156/PMK.010/2015, Organisasi-organisasi internasional tersebut adalah :
1. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)  
2. IMF (International Monetary Fund)
3. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:
a) IAEA (International Atomic Energy Agency)
b)  ICAO (International Civil Aviation Organization)
c) ITU (International Telecommunication Union)
d) UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e) UPU (Universal Postal Union)
f) WMO (World Meteorological Organization)
g) UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h) UNEP (United Nations Environment Programme)
i) UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
j) ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k) UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
l) WFP (World Food Programme)
m) IMO (International Maritime Organization)
n)  WIPO (World Intellectual Property Organization)
o) IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p) WTO (World Trade Organization)
q) WTO (World Tourism Organization)
4. FAO (Food and Agricultural Organization)  
5. ILO (International Labour Organization)
6. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
7. UNIC (United Nations Information Centre)
8. UNICEF (United Nations Children's Fund)
9. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
10. WHO (World Health Organization)
11. World Bank
12. Asean Secretariat
13. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
14. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
15. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
16. Plan International Inc
17. PCI (Project Concern International)
18. IDRC (The International Development Research Centre)
19. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
20. The Commission of The European Communities
21. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement International)   
22. World Relief Cooperation
23. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
24. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
25. IPC (The International Pepper Community)
26. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
27. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
28. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
29. CIP (The International Potato Centre)
30. ICRC (The International Committee of Red Cross)
31. Terre Des Hommes Netherlands
32. Wetlands International
33. HKI (Helen Keller International, Inc.)
34. Taipei Economic and Trade Office
35. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
36. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
37. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
38. Save the Children-US dan Save the Children-UK
39. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
40. Kyoto University-Jepang
41. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
42. Swisscontact-Swiss Foundation for Technical Cooperation
43. Winrock International
44. Stichting Tropenbos    
45. The Moslem World League (Rabithah)
46. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
47. HSF (Hans Seidel Foundation)
48. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
49. WCS (The Wildlife Conservation Society)
50. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
51. ASEAN Foundation
52. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
53. IMC (International Medical Corps)
54. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der Tuberculosis)
55. Asia Foundation
56. The British Council
57. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
58. CCF (Christian Children's Fund)
59. CWS (Church World Service)
60. The Ford Foundation
61. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
62. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
63. IRRI (International Rice Research Institute)
64. Leprosy Mission
65. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
66. WE (World Education, Incorporated, USA)
67. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
68. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)
69. JETRO (Japan External Trade Organization)
70. IFRC (International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies)

Penentuan Tempat Tinggal atau Tempat Kedudukan

Fungsi penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 2 (6))

Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.

Penentuan Tempat tinggal atau tempat kedudukan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 2 (6), PER-04/PJ./2020)

Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya atau didasarkan pada kenyataan.

Tempat tinggal Orang Pribadi, menurut keadaan yang sebenarnya adalah :
a. tempat tinggal tetap orang pribadi beserta keluarganya;
b. tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan, dalam hal orang pribadi tersebut:
1. mempunyai tempat tinggal tetap di 2 (dua) tempat atau lebih; atau
2. tidak mempunyai tempat tinggal tetap; atau
c. tempat orang pribadi lebih lama tinggal dalam kurun waktu 1 (satu) tahun kalender terakhir, dalam hal tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan tidak dapat ditentukan.

Tempat tinggal Warisan Belum Terbagi, menurut keadaan yang sebenarnya adalah:
a. tempat tinggal tetap Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan beserta keluarganya sebelum meningggal dunia; atau
b. tempat pusat kepentingan ekonomi harta warisan berada, dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut:
1. mempunyai tempat tinggal tetap di 2 (dua) tempat atau lebih; atau
2. tidak mempunyai tempat tinggal tetap.

Tempat kedudukan badan, menurut keadaan yang sebenarnya adalah :
a. tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berada sebagaimana tercantum dalam:
1. akta atau dokumen pendirian dan perubahannya;
2. surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
3. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan;
4. surat keterangan tempat kegiatan usaha; atau
5. perjanjian kerja sama bagi bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
b. tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berada menurut keadaan yang sebenarnya, dalam hal tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berbeda dengan yang tercantum dalam: 
1. akta atau dokumen pendirian dan perubahannya;
2. surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
3. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan;
4. surat keterangan tempat kegiatan usaha; atau
5. perjanjian kerja sama bagi bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
c. tempat kantor pimpinan berada, dalam hal tempat kantor pimpinan terpisah dari tempat pusat administrasi dan keuangan serta tempat menjalankan kegiatan usaha; atau
d. tempat menjalankan kegiatan usaha, bagi Wajib Pajak Badan yang bergerak di sektor usaha tertentu yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
 
Tempat kedudukan Instansi Pemerintah, menurut keadaan yang sebenarnya adalah:
a. tempat kantor kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat berada, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
b. tempat kantor kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah berada, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
c. tempat kantor kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa berada, untuk Instansi Pemerintah Desa.

Pajak Penghasilan sebagai Pajak Pusat atau Pajak Negara

Menurut Amandemen Undang-undang Dasar 1945 pasal 23A ditentukan bahwa : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Undang-undang dalam kalimat ini dapat berarti dengan suatu undang-undang atau peraturan perundangan lainnya di bawah undang-undang yang pembuatannya berdasarkan undang-undang.

Dalam pemungutan pajak, kita temukan adanya pemungutan yang berdasarkan Undang-undang, dan adapula yang berdasarkan Peraturan Daerah. Pajak yang dipungut dengan Undang-undang yang penerimaan pajaknya merupakan sumber penerimaan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) biasanya disebut juga sebagai pajak pusat, Pajak Umum atau Pajak Negara. Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah yang merupakan sumber pembiayaan yang dimasukkan kedalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), disebut juga pajak daerah. Berdasarkan hal itu maka Pajak Penghasilan termasuk sebagai Pajak Pusat atau Pajak Negara.
Biaya-biaya yang Tidak Dapat Dikurangkan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 9)


a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
   
b) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
   
c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
  1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan;
  2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
  3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
  4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 
  5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
  6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri (219/PMK.011/2012)
d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (SE-03/PJ.41/2003)
   
e) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
   
f)  harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
   
g) Pajak Penghasilan
   
h)  Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
   
i) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
   
j) sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
   
k)  Pajak Masukan atas Perolehan BKP/JKP yang tidak dapat dikreditkan karena :
- Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan UU PPN; kecuali dapat dibuktikan bahwa PPN tersebut nyata-nyata telah dibayar dan berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. (PP No. 94/2010)
   
l) Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak, yang pengenaan pajaknya bersifat final, pengenaan pajaknya berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dan Norma Penghitungan Khusus.
   
m) Kerugian dari harta atau utang yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek Pajak.
   
n) PPh yang ditanggung pemberi kerja, kecuali PPh Pasal 26 sepanjang PPh tersebut ditambahkan sebagai dasar penghitungan untuk pemotongan PPh Pasal 26 tersebut.
Wajib Pajak

Pengertian Wajib Pajak
(Penjelasan - UU Pajak Penghasilan Pasal 2 (2))

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Perbedaan antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
(Penjelasan - UU Pajak Penghasilan Pasal 2 (2))


Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :

No Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)
1. Dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia (world wide income) Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
2. Penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan netto dengan tarif umum Penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan bruto dengan tarif sepadan, kecuali WPLN tersebut menjalankan usaha melalui Bentuk Usaha tetap di Indonesia dimana BUT memiliki kewajiban pajak yang sama dengan WPDN.
3. Wajib menyampaikan SPT Tidak wajib menyampaikan SPT karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Penghasilan BUT

Penggolongan Penghasilan Bentuk Usaha Tetap
(UU Pajak Penghasilan Pasal 5)


1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri).
   
2. Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oleh BUT di Indonesia. Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan kantor pusat di Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan kegiatan yang dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.

Misalnya ;
  • Sebuah bank di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap kepada perusahaan di Indonesia. Dalam hal ini, penghasilan sehubungan dengan pemberian pinjaman oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penghasilan Bentuk Usaha Tetap.
  • Sebuah perusahaan di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan yang dijual oleh BUT secara langsung tanpa melalui BUT-nya kepada pembeli di Indonesia. Dalam hal ini, penjualan yang dilakukan oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penjualannya BUT di Indonesia.
   
3. Penghasilan yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

Misalnya ;
  • Zenith Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi dengan PT Polar untuk mempergunakan merek dagang Zenith Inc. atas hak tersebut, Zenith Inc menerima royalty dari PT Polar.
  • Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Zenith Inc memberikan jasa manajemen kepada PT Polar melalui BUT di Indonesia, dan dalam rangka pemasaran produk PT Polar yang menggunakan merek Zenith Inc tersebut.
  • Dalam kasus di atas, penggunaan merek dagang oleh PT Polar memiliki hubungan efektif dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan Zenith Inc yang berupa royalty tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT.
Pajak Masukan PPN Yang Tidak Dapat Dikreditkan

Perlakuan pajak atas Pajak Masukan PPN Yang Tidak Dapat Dikreditkan
(PP Nomor 94 Tahun 2010)


Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
  1. benar-benar telah dibayar; dan
  2. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah Pajak Masukan yang berhubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, harus dikapitalisasi terlebih dahulu dengan pengeluaran/biaya dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.
Jenis-jenis BUT
(UU Pajak Penghasilan Pasal 2 (5))

1. Tipe Fasilitas Fisik, terdiri dari :
  • Tempat kedudukan manajemen;
  • Cabang perusahaan;
  • Kantor perwakilan;
  • Gedung kantor;
  • Pabrik;
  • Bengkel;
  • Gudang;
  • Ruang untuk promosi dan penjualan;
  • Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, 
  • Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  • Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan
  • Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Keberadaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau tidaknya fasilitas fisik seperti cabang, bengkel, kantor, dsb di negara sumber.
   
2. Tipe Aktivitas, terdiri dari :
  • Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  • Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60 hari (kecuali ditentukan lain dalam tax treaty dengan negara yang bersangkutan) dalam jangka waktu 12 bulan.
Keberadaan BUT tipe aktivitas, baik aktivitas konstruksi maupun pemberian jasa ditentukan dari lamanya (time test) aktivitas tersebut dilakukan di negara sumber. Penentuan time test tidak melihat pada formalitas (kontrak) tetapi pada keadaan yang sebenarnya
   
Misalnya :
Berdasarkan kontrak pemberian jasa, PT XYZ yang berkedudukan di Amerika mengirimkan Mr. Jhon, penduduk Amerika ke Indonesia dari tanggal 10 April 2023 s/d 10 Juni 2023. Namun, pada kenyataannya, Mr. Jhon sudah berada di Indonesia sejak bulan Januari 2023. Dengan demikian, syarat time test yang digunakan dihitung sejak Mr. Jhon berada di Indonesia, yaitu sejak bulan Januari 2023.
   
3. Tipe Keagenan, terdiri dari :
  • Orang atau badan yang bertindak sebagai agen yang kedudukannya tidak bebas;
Keberadaan BUT tipe keagenan ditentukan oleh ada atau tidaknya dependent agent di negara sumber.
   
4. Tipe Asuransi, terdiri dari :
  • Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Keberadaan BUT tipe asuransi difokuskan pada ada atau tidaknya pemungutan  premi dan penanggungan resiko di negara sumber.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan  atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.


Kriteria Lain Terbentuknya BUT
(Pasal 7, 8, 9, 10 35/PMK.03/2019)


1. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan adalah proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan yang merupakan usaha atau kegiatan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing di Indonesia. Proyek konstruksi mencakup:
  1. jasa konsultansi konstruksi, yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, manajemen penyelenggaraan konstruksi, survei, pengujian teknis, atau analisis;
  2. pekerjaan konstruksi, yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, atau pembangunan kembali; dan
  3. pekerjaan konstruksi terintegrasi, yang meliputi model rancang bangun atau model perekayasaan, pengadaan, dan pelaksanaan.
Instalasi atau proyek perakitan mencakup:
  1. Instalasi atau proyek perakitan yang terkait dengan pengerjaan proyek konstruksi; dan
  2. Instalasi atau proyek perakitan mesin atau peralatan.
Untuk penerapan P3B, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dikerjakan melebihi periode waktu dalam P3B. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan juga meliputi proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan di Indonesia yang:
  1. pengerjaannya dilakukan di luar Indonesia; dan/atau
  2. pengerjaannya diteruskan kepada subkontraktor dalam negeri maupun luar negeri.
   
2. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
Dalam penentuan periode waktu berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. Periode waktu dihitung sejak saat proyek mulai dikerjakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing;
  2. Periode waktu berakhir saat:
    1. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menyelesaikan pekerjaan dan menyerahkan hasil pekerjaan kepada penerima jasa konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; atau
    2. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menghentikan pekerjaan sebelum pekerjaan selesai;
  3. Penghentian pengerjaan proyek untuk sementara tidak menunda penghitungan periode waktu;
  4. Bagian dari hari dihitung penuh 1 (satu) hari, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari;
  5. Bagian dari bulan kalender dihitung penuh 1 (satu) bulan, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan bulan; dan
  6. Waktu pengerjaan oleh subkontraktor diperhitungkan ke dalam periode waktu, dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing meneruskan pekerjaan kepada subkontraktor.
Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b merupakan bentuk usaha tetap sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Pegawai atau orang lain tersebut dipekerjakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing atau subkontraktor dari Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tersebut;
  2. Pemberian jasa dilakukan di Indonesia; dan
  3. Pemberian jasa dilakukan kepada pihak di Indonesia atau di luar Indonesia.
Untuk penerapan P3B, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain yang dipekerjakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dilakukan melebihi periode waktu dalam P3B di Indonesia. Penghitungan periode waktu berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. Periode waktu dimulai saat pemberian jasa mulai dilakukan;
  2. Periode waktu berakhir saat pemberian jasa selesai dilakukan;
  3. Bagian dari hari dihitung penuh 1 (satu) hari, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari;
  4. Bagian dari bulan kalender dihitung penuh 1 (satu) bulan, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari; dan
  5. Waktu pengerjaan oleh subkontraktor diperhitungkan ke dalam periode waktu, dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing meneruskan pekerjaan kepada subkontraktor.
   
3. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan
Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas merupakan bentuk usaha tetap sepanjang orang pribadi atau badan bertindak untuk dan atas nama Orang Pribadi Asing atau Badan Asing. Orang pribadi atau badan bertindak untuk dan atas nama Orang Pribadi Asing atau Badan Asing sepanjang orang pribadi atau badan tersebut:
  1. Menerima instruksi untuk kepentingan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatannya; atau
  2. Tidak menanggung sendiri risiko usaha atau kegiatannya.
Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tersebut dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen, broker atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Untuk penerapan P3B, dalam hal agen yang berkedudukan tidak bebas hanya melakukan kegiatan yang bersifat persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary) maka agen yang berkedudukan tidak bebas tersebut bukan merupakan bentuk usaha tetap.
   
4. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia merupakan bentuk usaha tetap sepanjang:
  1. Menerima premi asuransi di Indonesia; atau
  2. Menanggung risiko di Indonesia dimana pihak tertanggung bertempat tinggal, bertempat kedudukan, atau berada di Indonesia.
Untuk penerapan P3B, ketentuan sebagaimana dimaksud diatas tidak berlaku untuk reasuransi.
Biaya-biaya yang Dapat Dikurangkan

Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
(UU Pajak Penghasilan Pasal 6)


Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dihitung berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan:

1. Biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yang penghasilannya merupakan objek pajak. Dengan demikian, biaya-biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Termasuk biaya yang dapat dikurangkan adalah biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya promosi dan penjualan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali pajak penghasilan.
   
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, sepanjang harta yang disusutkan atau diamortisasi tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (objek pajak).
   
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
   
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
   
5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
   
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
   
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan, dengan syarat : 
  1. Berhubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara (3M) penghasilan  
  2. Dilakukan dalam batas dan jumlah yang wajar serta tidak dipengaruhi hubungan istimewa
  3. Pendidikan dan pelatihan tersebut ditentukan oleh pemberi kerja
   
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat (PMK Nomor 207/PMK.010/2015)
  1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi laba komersial.
  2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak (dilampirkan dalam SPT-nya).
  3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan atau Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus (dapat berupa penerbitan internal asosiasi atau sejenisnya), dan adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
   
Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih berbentuk hard copy dan soft copy.
9. Pengeluaran untuk pajak daerah dan retribusi daerah (SE-02/PJ.42/2002) dengan syarat :
  1. Memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000;
  2. Berkaitan dengan biaya 3M atas objek pajak yang tidak dikenakan PPh final/tidak dihitung berdasarkan norma penghitungan penghasilan neto/khusus;
  3. Bukan untuk sanksi berupa bunga, denda atau kenaikan.
Berdasarkan SE-01/PJ.42/2002, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto. Perlakuannya sebagai berikut :
  • BPHTB atas hak atas tanah yang dimiliki dan dipergunakan dalam Perusahaan dibiayakan dengan mekanisme amortisasi sesuai Pasal 11  A
  • BPHTB atas hak atas bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam Perusahaan dibiayakan melalui penyusutan sesuai dengan Pasal 11
  • PBB atas tanah dan bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam Perusahaan dapat dikurangkan sekaligus sebagai biaya.
   
10. Biaya sumbangan yang terdiri dari  (PP Nomor 93 tahun 2010) :
  1.  Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional,
  2.  Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan,
  3.  Sumbangan fasilitas pendidikan,
  4.  Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, dan
  5.  Biaya pembangunan infrastruktur sosial.
   
11. Biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan penghasilan kena pajak oleh pemberi kerja atau pemberi imbalan atau penggantian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
   
12. Kompensasi kerugian tahun-tahun yang lalu (maksimum 5 tahun).
Contoh :

PT A dalam tahun 2011 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 tahun berikutnya, rugi laba fiskal PT A adalah sbb :
2012 :  laba fiskal Rp 200.000.000,00
2013 :  rugi fiskal Rp (300.000.000,00)
2014 :  laba fiskal N I H I L
2015 :  laba fiskal Rp 100.000.000,00
2016 :  laba fiskal Rp 800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2011 Rp (1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 Rp      200.000.000,00
Sisa rugi fiskal tahun 2011 Rp (1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2013 Rp    (300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2011 Rp (1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2014 Rp                      0,00
Sisa rugi fiskal tahun 2011 Rp (1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2015 Rp     100.000.000,00
Sisa rugi fiskal tahun 2011 Rp   (900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2016 Rp     800.000.000,00
Sisa rugi fiskal tahun 2011 Rp   (100.000.000,00)

Sisa rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp (100.000.000,00) tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2017, karena sudah lewat 5 tahun.

Rugi fiskal tahun 2013 sebesar Rp (300.000.000,00) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2016 dan 2017, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 2014 berakhir pada akhir tahun 2017.
   
12. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura Dari Transaksi Penjualan Saham Atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usahanya
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Di Bidang Pajak Penghasilan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 tentang Badan-Badan Dan Orang Pribadi Yang Menjalankan Usaha Mikro Dan Kecil Yang Menerima Harta Hibah, Bantuan, Atau Sumbangan Yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Beasiswa Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Dan Sisa Lebih Yang Diterima Atau Diperoleh Badan Atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Dan/Atau Bidang Penelitian Dan Pengembangan
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.03/2008 tentang Bantuan Dan Santunan Yang Dibayarkan Oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kepada Wajib Pajak Tertentu Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.03/2009 tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu Yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun Yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura Pada Perusahaan Mikro, Kecil, Dan Menengah
  11. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2018 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Pajak Penghasilan
  12. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2020 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Beasiswa Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu dan Sisa Lebih yang Diterima Atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian Dan Pengembangan
  13. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 90/PMK.03/2020 Tentang Bantuan atau Sumbangan, Serta Harta Hibahan Yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan
  14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor tentang PER-44/PJ./2009 Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih Yang Diterima Atau Diperoleh Badan Atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Dan/Atau Bidang Penelitian Dan Pengembangan Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan
  15. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-11/PJ./1995 tentang Penetapan Dasar Penilaian Bagi Yang Menerima Pengalihan Harta Yang Diperoleh Dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan Dan Warisan Yang Memenuhi Syarat Sebagai Bukan Objek Pajak Penghasilan Dari Wajib Pajak Yang Tidak Menyelenggarakan Pembukuan
  16. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-390/PJ/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa
  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-05/PJ.4/1995 tentang Badan-Badan Dan Pengusaha Kecil Yang Menerima Harta Hibahan Yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan (Seri PPh Umum No. 1)
  18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ.4/1995 tentang Perusahaan Kecil Dan Menengah Pasangan Usaha Modal Ventura Dan Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura (Seri PPh Umum No. 14).
  19. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Warga Negara Indonesia Yang Bekerja Sebagai Official Pada Badan-Badan Internasional Dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
  20. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ/2015 Pemberian Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Karena Warisan.
Tidak Termasuk Objek Pajak
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 4 (3) & Penjelasan)

1.
a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

Dalam hal terdapat hubungan kepemilikan atau penguasaan, keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan tetap dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sepanjang Pihak pemberi dan Pihak penerima merupakan badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan. (PMK 90/PMK.03/2020)
   
2. Warisan
   
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh Badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
   
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi:
a. makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;
b. natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
c. natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
d. natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; atau
e. natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu;
   
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;
   
6. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
- orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau
- badan dalam negeri;
b. dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut: 
- dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak; atau
- dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut
c. dividen yang berasal dari luar negeri merupakan:
- dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek; atau
- dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham;
d. dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak berlaku ketentuan:
- atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;
- atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan dikenai Pajak Penghasilan; dan
- atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan serta atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan dikenai Pajak Penghasilan, tidak dikenai Pajak Penghasilan;
e. dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak berlaku ketentuan:
- atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan; dan
- atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan, tidak dikenai Pajak Penghasilan;
f. dalam hal dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut, dividen dimaksud tidak dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;
g. pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan dalam hal penghasilan tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi persyaratan berikut:
- penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan
- bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri;
h. pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf g, berlaku ketentuan:
- tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang;
- tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan; dan/atau
- tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
i. dalam hal Wajib Pajak tidak menginvestasikan penghasilan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf b dan hururf g, berlaku ketentuan:
- penghasilan dari luar negeri tersebut merupakan penghasilan pada tahun pajak diperoleh; dan
- Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut merupakan kredit pajak Pasal 24;
   
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
   
8.
Penghasilan dana pensiun dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu, yaitu; (234/PMK.03/2009)
- bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia
- bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau
- dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat di bursa efek di Indonesia
   
9.
Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
   
10.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa bagian laba dari pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha di Indonesia, sepanjang perusahaan pasangan usaha tersebut ;
- merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (48/PMK.010/2018)
- sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
   
11.
Penerimaan Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) yang berasal dari anggota kliring sepanjang tidak dipergunakan untuk menambah kemampuan ekonomis oleh PT KPEI (KEP-390/PJ/2002)
   
12.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu. Beasiswa dikecualikan dari pengenaan objek Pajak Penghasilan, meliputi Beasiswa yang diterima: (68/PMK.03/2020)
a. oleh penerima Beasiswa yang merupakan Warga Negara Indonesia; dan
b. untuk mengikuti pendidikan formal dan pendidikan nonformal yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri.  

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Ketentuan tidak berlaku apabila Penerima Beasiswa memiliki hubungan istimewa dengan:
a. Wajib Pajak badan pemberi Beasiswa mempunyai hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan;
b. Pemilik, Komisaris, Direksi, atau Pengurus dari Wajib Pajak badan pemberi Beasiswa memiliki hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat; atau
c. Wajib Pajak orang pribadi pemberi Beasiswa memiliki hubungan usaha,

Komponen Beasiswa untuk pendidikan formal dan pendidikan nonformal terdiri atas biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah, lembaga pendidikan atau pelatihan, biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya buku, biaya transportasi, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.
   
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah     terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. (PMK 68/PMK.03/2020)
   
Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang dikecualikan sebagai Objek Pajak meliputi:
a. pengadaan sarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan termasuk peralatan kelas, barang/peralatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, peralatan olahraga, komputer, kendaraan bus, minibus, atau kendaraan sejenis yang dipergunakan untuk antar jemput mahasiswa, kendaraan yang dimiliki atau dipergunakan Badan atau Lembaga untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya; dan/atau
b. pembangunan dan pengadaan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan  pengembangan termasuk, gedung, tanah, laboratorium, perpustakaan, ruang komputer, kantor, asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, termasuk yang dialokasikan dalam bentuk Dana Abadi.
yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penggunaan sisa lebih dapat dialokasikan dalam bentuk Dana Abadi dengan syarat:
a. Badan atau Lembaga telah ditetapkan dengan peringkat akreditasi tertinggi oleh instansi yang berwenang menetapkan akreditasi;
b. disetujui oleh:
1) pimpinan perguruan tinggi, majelis wali amanat, dan pejabat instansi pemerintah terkait di tingkat pusat bagi perguruan tinggi negeri badan hukum;
2) pimpinan perguruan tinggi, badan penyelenggara, dan pejabat instansi pemerintah terkait di tingkat pusat bagi perguruan tinggi swasta; atau
3) pimpinan badan atau lembaga pendidikan, badan penyelenggara, dan pejabat instansi pemerintah terkait di tingkat provinsi atau kabupaten/kota bagi badan atau lembaga pendidikan selain perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2);
c. disetujui oleh pimpinan badan atau lembaga penelitian dan pengembangan, dan pejabat instansi pemerintah terkait di tingkat pusat bagi badan atau lembaga penelitian dan pengembangan; dan
d. telah terdapat pengaturan terkait Dana Abadi di Badan atau Lembaga dalam bentuk Peraturan Presiden dan/atau Peraturan Menteri yang membidangi pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan.

Pelaksanaan dilakukan sebagai berikut :
a. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan;
b. pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan  pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet akun aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal badan atau lembaga nirlaba.

Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa lebih tidak boleh dilakukan penyusutan.

Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan.

Biaya bunga atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan atau lembaga nirlaba.

Dalam hal dana pinjaman diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan.

Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.

Pemberitahuan disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan wajib membuat :
a. pernyataan bahwa:
1. sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, dan
2. sisa lebih yang tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa lebih;
b. pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun; dan
c. laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Apabila setelah lewat jangka badan atau lembaga nirlaba tidak menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut.      

Apabila dalam jangka waktu terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.

Apabila Badan atau lembaga nirlaba menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan namun tidak menyampaikan pemberitahuan rencana fisik sederhana dan rencana biaya dan tidak membuat pernyataan, pencatatan dan laporan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.

Pengenaan Pajak Penghasilan atas sisa lebih ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
   
14.
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu. (247/PMK.03/2008)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial meliputi :  
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); dan/atau
e. badan hukum lainnya yang dibentuk untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial.

Wajib Pajak tertentu adalah :
a. Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu;
b. Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang sedang mengalami bencana alam; dan/atau
c. Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tertimpa masalah.

Wajib Pajak atau masyarakat yang tidak mampu adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sesuai dengan kriteria dan data yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik.

Wajib Pajak atau masyarakat yang sedang mengalami bencana alam adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang sedang tertimpa bencana yang diakibatkan peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.

Wajib Pajak atau masyarakat yang tertimpa musibah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang tertimpa kecelakaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa.
   
15. dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); dan
   
16. sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi.
Pengertian
(UU Pajak Penghasilan, Pasal 2 (5))

Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia

BUT dapat berupa :
  1. tempat kedudukan manajemen;
  2. cabang perusahaan;
  3. kantor perwakilan;
  4. gedung kantor;
  5. pabrik;
  6. bengkel;
  7. gudang;
  8. ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
  12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Dalam Undang-undang ini bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.

Kriteria Terbentuknya BUT
(Pasal 4 35/PMK.03/2019)


Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
  2. tempat usaha bersifat permanen; dan
  3. tempat usaha digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Bentuk usaha sebagai berikut merupakan bentuk usaha tetap meskipun tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
  1. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  2. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  3. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan
  4. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Pengertian usaha atau kegiatan mencakup segala hal yang dilakukan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan.

Penjelasan Detail Mengenai Kriteria Terbentuknya BUT
(Pasal 5 35/PMK.03/2019)
 
1. Adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;

Tempat usaha mencakup segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau peralatan, yang digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;     
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; dan
l. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet.

Adanya tempat usaha ditentukan tanpa memperhatikan apakah Orang Pribadi Asing atau Badan Asing memiliki atau menyewa atau apakah Orang Pribadi Asing atau Badan Asing berhak secara hukum menggunakan tempat usaha tersebut. Tempat usaha digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. Ketentuan diatas tidak terpenuhi dalam hal:
a. tempat usaha di Indonesia hanya digunakan untuk penyimpanan data dan/atau pengelolaan data secara elektronik oleh Orang pribadi Asing atau Badan Asing; dan
b. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing memiliki akses yang terbatas untuk mengoperasikan tempat usaha tersebut.
   
2. Tempat usaha diatas bersifat permanen

Tempat usaha bersifat permanen sepanjang tempat usaha tersebut:
a. digunakan secara kontinu; dan
b. berada di lokasi geografis tertentu.
   
3. Tempat usaha digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Tempat usaha digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sepanjang:
a. tempat usaha tersebut tersedia untuk digunakan sehingga Orang Pribadi Asing atau Badan Asing memiliki akses yang tidak terbatas untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan; dan
b. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui tempat usaha tersebut.
 
Penggolongan Subjek Pajak
(UU Pajak Penghasilan Pasal 2 dan PER-43/PJ/2011)


Subjek pajak digolongkan menjadi dua yaitu :

1. Subjek Pajak Dalam Negeri (UU Pajak Penghasilan Pasal 2 (3))
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah :
a. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang:
• bertempat tinggal di Indonesia;
• berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
• dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
• pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
• pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
• penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
• pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah orang pribadi yang:
a. mempunyai tempat tinggal (place of residence) di Indonesia yang digunakan oleh orang pribadi sebagai tempat untuk:
1) berdiam (permanent dwelling place), yang tidak bersifat sementara dan tidak sebagai tempat persinggahan,
2) melakukan kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of life),
3) tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode), atau
b. mempunyai tempat domisili (place of domicile) di Indonesia, yaitu orang pribadi yang dilahirkan di Indonesia yang masih berada di Indonesia.

Tempat tinggal orang pribadi adalah:
a. dapat ditempati sendiri oleh orang pribadi atau bersama-sama dengan keluarganya, yang dapat dimiliki, disewa, atau tersedia untuk digunakannya; dan
b. berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.

Orang pribadi dianggap mempunyai tempat berdiam (permanent dwelling place) di Indonesia dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang dipakai untuk kediaman, yang bersifat tidak sementara dan bukan sebagai persinggahan.

Orang pribadi dianggap mempunyai tempat melakukan kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of life) di Indonesia dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari terkait dengan urusan ekonomi, keuangan atau sosial pribadinya, antara lain turut serta dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat, turut serta dalam kegiatan, keanggotaan, atau kepengurusan suatu organisasi, kelompok atau perkumpulan di Indonesia.

Orang pribadi dianggap mempunyai tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode) di Indonesia dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang digunakan untuk melakukan kebiasaan atau kegiatan, baik yang bersifat rutin, sering ataupun tidak, antara lain melakukan aktivitas yang menjadi kegemaran atau hobi.

Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia yang kemudian pergi keluar negeri tetap dianggap bertempat tinggal di Indonesia, apabila keberadaannya di luar negeri berpindah-pindah dan berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

Orang pribadi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dianggap tidak bertempat tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri, yaitu:
a. green card,
b. identity card,
c. student card,
d. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri,
e. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, atau
f. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.

Subjek Pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia dalam hal :
a. Subjek Pajak orang pribadi menunjukkan niatnya secara tegas untuk bertempat tinggal di Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen berupa:
1) Visa bekerja, atau
2) Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS),
lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) hari atau kontrak/perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih 183 (seratus delapan puluh tiga) hari.
b. Subjek Pajak orang pribadi melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya akan bertempat tinggal di Indonesia atau bersiap untuk bertempat tinggal di Indonesia, seperti menyewa atau mengontrak tempat, termasuk menyewa tempat tinggal di Indonesia, memindahkan anggota keluarga atau memperoleh tempat yang disediakan oleh pihak lain.

2. Subjek Pajak Luar Negeri (UU Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat (4))
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak luar negeri adalah :
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
b. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
c. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
• tempat tinggal;
• pusat kegiatan utama;
• tempat menjalankan kebiasan;
• status subjek pajak; dan/atau
• persyaratan tertentu lainnya
d. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 10/PJ.41/1996 tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Berbentuk Warisan Yang Belum Terbagi (Seri PPh Umum Nomor 27)
  5. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 112/PJ.41/1995 tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Zakat

Perlakuan Zakat dan sumbangan keagamaan atas Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
(PER - 6/PJ/2011 dan PER - 03/PJ/2023)


1. Zakat atas Penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak Badan atau Penghasilan Neto Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menentukan Penghasilan Kena Pajak, sepanjang:
- Zakat yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
- sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah.
   
2. Wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
   
3. Bukti pembayaran zakat atau sumbangan keagamaan yang bersifat wajib:
  1. Dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
  2. Paling sedikit memuat :
    1. Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
    2. Jumlah pembayaran;
    3. Tanggal pembayaran;
    4. Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
    5. Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
    6. Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
4. Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila:
a) tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b)  bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan.
Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut. Pelaporan Zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib untuk menentukan penghasilan neto.

Badan/Lembaga sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah:

A. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal Surat Keputusan
1. Badan Amil Zakat Nasional Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tanggal 25 November 2011
2. Badan Amil Zakat Nasional Provinsi Keputusan Menteri Agama Nomor 186 tanggal 29 April 2016
3. Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten/Kota Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam Nomor DJ.III/499 Tahun 2016 tanggal 11 Agustus 2016

B. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Skala Nasional sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Menteri Agama
1. Yayasan Rumah Zakat Indonesia Nomor 344 Tahun 2021
tanggal 22 Maret 2021
2. Yayasan Nurul Hayat     Nomor 903 Tahun 2020
tanggal 30 Desember 2020
3. Yayasan Inisiatif Zakat Indonesia  Nomor 950 Tahun 2020
tanggal 30 Desember 2020
4. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah     Nomor 179 Tahun 2021
tanggal 22 Januari 2021
5. Yayasan Lembaga Manajemen Infaq Ukhuwah Islamiyah     Nomor 672 Tahun 2021
tanggal 7 Juni 2021
6. Yayasan Yatim Mandiri     Nomor 509 Tahun 2021
tanggal 22 April 2021
7. Yayasan Dompet Dhuafa Republika     Nomor 527 Tahun 2021
tanggal 28 April 2021
8. Yayasan Pesantren Islam Al Azhar     Nomor 526 Tahun 2021
tanggal 28 April 2021
9. Yayasan Baitul Maal Muamalat     Nomor 625 Tahun 2021
tanggal 24 Mei 2021
10. Yayasan Daarut Tauhid Peduli     Nomor 1200 Tahun 2022
tanggal 3 November 2022
11. Perkumpulan Persatuan Islam     Nomor 425 Tahun 2022
tanggal 26 April 2022
12. Yayasan Rumah Yatim Arrohman Indonesia     Nomor 1257 Tahun 2022
tanggal 15 November 2022
13. Yayasan Kesejahteraan Madani     Nomor 951 Tahun 2017
tanggal 8 November 2017
14. Yayasan Griya Yatim dan Dhuafa     Nomor 287 Tahun 2018
tanggal 7 Mei 2018
15. Yayasan Daarul Qur’an Nusantara     Nomor 367 Tahun 2018
tanggal 8 Juni 2018
16. Yayasan Mizan Amanah     Nomor 764 Tahun 2018
tanggal 10 Desember 2018
17. Yayasan Panti Yatim Indonesia Al Fajr     Nomor 120 Tahun 2019
tanggal 13 Maret 2019
18. Yayasan Wahdah Islamiyah     Nomor 511 Tahun 2019
tanggal 25 Juni 2019
19. Yayasan Hadji Kalla     Nomor 1197 Tahun 2019
tanggal 27 Desember 2019
20. Yayasan Wakaf Djalaludin Pane     Nomor 500 Tahun 2020
tanggal 3 Juni 2020
21. Yayasan Sahabat Yatim Indonesia     Nomor 912 Tahun 2020
tanggal 30 Desember 2020
22. Al Irsyad Al Islamiyyah     Nomor 949 Tahun 2020
tanggal 30 Desember 2020
23. Yayasan LAGZIS Peduli     Nomor 178 Tahun 2021
tanggal 22 Januari 2021
24. Yayasan Telaga Bijak El Zawa     Nomor 794 Tahun 2021
tanggal 10 Agustus 2021
25. Yayasan Membangun Keluarga Utama     Nomor 947 Tahun 2021
tanggal 15 September 2021
26. Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat     Nomor 1010 Tahun 2021
tanggal 6 Oktober 2021
27. Yayasan Mandiri Amal Insani     Nomor 1346 Tahun 2021
tanggal 17 Desember 2021
28. Yayasan Dana Sosial Al Falah     Nomor 12 Tahun 2022
tanggal 11 Januari 2022
29. Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia     Nomor 775 Tahun 2022
tanggal 22 Juli 2022
30. Yayasan Waqaf Infaq Zakat dan Sodaqoh Pesantren     Nomor 572 Tahun 2022
tanggal 6 Juni 2022
31. Yayasan Assalam Fil Alamin     Nomor 774 Tahun 2022
tanggal 22 Juli 2022
32. Yayasan CT Arsa     Nomor 811 Tahun 2022
tanggal 29 Juli 2022
33. Perkumpulan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia     Nomor 1199 Tahun 2022
tanggal 3 November 2022
34. Yayasan Bakrie Amanah     Nomor 1258 Tahun 2022
Tanggal 15 November 2022
35. Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Dewan Masjid Indonesia     Nomor 240 Tahun 2023
Tanggal 7 Maret 2023

C. Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS) sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Menteri Agama
1. Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah Nahdlatul Ulama     Nomor 89 Tahun 2022
tanggal 26 Januari 2022
2. Lembaga    Amil Muhammadiyah    Zakat    Infaq    Shadaqah     Nomor 90 Tahun 2022
tanggal 26 Januari 2022
 
D. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Skala Provinsi sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama
1. Yayasan Solo Peduli Ummat Nomor 544 Tahun 2021
tanggal 28 Juli 2021
2. Yayasan Dompet Amal Sejahtera Ibnu Abbas Nusa Tenggara Barat Nomor 819 Tahun 2021
tanggal 27 Oktober 2021
3. Lembaga Amil Zakat Yayasan Dana Peduli Ummat Kalimantan Timur     Nomor 933 Tahun 2021
tanggal 2 Desember 2021
4. Yayasan Dompet Sosial Madani Bali Nomor 818 Tahun 2021
tanggal 27 Oktober 2021
5. Yayasan Harapan Dhuafa Banten Nomor 789 Tahun 2021
tanggal 18 Oktober 2021
6. Yayasan Al-Ihsan Jawa Tengah Nomor 558 Tahun 2017
tanggal 9 Agustus 2017
7. Yayasan Gema Indonesia Sejahtera Nomor 938 Tahun 2017
tanggal 13 Desember 2017
8. Yayasan Nurul Fikri Palangkaraya Nomor 941 Tahun 2017
tanggal 14 Desember 2017
9. Yayasan Insan Madani Jambi Nomor 205 Tahun 2018
tanggal 5 Maret 2018
10. Yayasan Nurul Falah Surabaya Nomor 407 Tahun 2018
tanggal 7 Mei 2018
11. Yayasan Assalaam Jayapura Nomor 459 Tahun 2018
tanggal 21 Mei 2018
12. Yayasan Al-Hilal Nomor 220 Tahun 2019
tanggal 27 Februari 2019
13. Yayasan Al Haromain Nomor 704 Tahun 2019
tanggal 5 Agustus 2019
14. Yayasan Bangun Kecerdasan Bangsa Nomor 884 Tahun 2019
tanggal 8 Oktober 2019
15. Yayasan Sahabat Mustahiq Sejahtera Nomor 1199 Tahun 2019
tanggal 13 Desember 2019
16. Yayasan Lembaga Amil Zakat Sidogiri Nomor 81 Tahun 2020
tanggal 20 Januari 2020
17. Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Universitas Islam Indonesia Nomor 347 Tahun 2020
tanggal 30 Maret 2020
18. Yayasan Lembaga Amil Zakat LAZ Mukmin Mandiri Nomor 900 Tahun 2020
tanggal 11 November 2020
19. Dompet Al-Qur’an Indonesia Nomor 78 Tahun 2021
tanggal 21 Januari 2021
20. Persada Jatim Indonesia Nomor 79 Tahun 2021
tanggal 21 Januari 2021
21. Yayasan Taman Zakat Indonesia Nomor 245 Tahun 2021
tanggal 18 Maret 2021
22. Yayasan Ikhlas Peduli Umat Nomor 659 Tahun 2021
tanggal 8 September 2021
23. Yayasan Kreasi Bangun Semesta Nomor 671 Tahun 2021
tanggal 13 September 2021
24. Yayasan Al Maunah Sunniyah Salafiyah Pasuruan Nomor 788 Tahun 2021
tanggal 18 Oktober 2021
25. Yayasan Ummul Quro’ Jombang Nomor 932 Tahun 2021
tanggal 2 Desember 2021
26. Yayasan Sinergi Foundation (LAZ Sinergi Foundation) Nomor 564 Tahun 2016
tanggal 14 September 2016
27. Lembaga Amil Zakat Yayasan Al Bunyan Nomor 493 Tahun 2022
tanggal 3 Juni 2022
28. Yayasan Sahabat Muadz Indonesia Nomor 752 Tahun 2022
tanggal 12 September 2022
29. Yayasan Wakaf As’adiyah Wonomulyo Nomor 753 Tahun 2022
Tanggal 9 September 2022
30. Yayasan Dompet Amanah Umat Sedati Sidoarjo Nomor 754 Tahun 2022
tanggal 12 September 2022
31. Yayasan Fithrah Insani Care (LAZ Fi Care) Nomor 968 Tahun 2022
tanggal 22 November 2022
32. Yayasan Optimalisasi Sedekah Zakat dan Infaq (OPSEZI) Nomor 969 Tahun 2022
tanggal 22 November 2022
33. Yayasan Zakat Sukses Nomor 312 Tahun 2023
tanggal 7 Maret 2023

E. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Skala Kabupaten/Kota sebagai berikut:
 
No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama

Sumatera Utara
1. LAZ Ulil Albab Kota Medan Provinsi Sumatera Utara Nomor 714 Tahun 2022 tanggal 1 November 2022
2. Perwakilan Rumah Yatim Arrohman Indonesia (RY) Provinsi Sumatera Utara Nomor 1058 Tahun 2018 tanggal 5 Maret 2018
3. Lembaga Amil Zakat Daarut Tauhid Peduli (DT Peduli) Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara Nomor 462 Tahun 2020 tanggal 16 Oktober 2020
4. Lembaga Amil Zakat Inisiatif Zakat Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara Nomor 1950 Tahun 2021 tanggal 30 Maret 2021
5. Perwakilan LAZIS Muhammadiyah Provinsi Sumatera Utara Nomor 308 Tahun 2021 tanggal 10 Juni 2021
6. Rumah Zakat Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara tanggal 25 Agustus 2021
7. Lembaga Amil Zakat Yayasan Yatim Mandiri Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara tanggal 29 Oktober 2021
8. Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa Waspada Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara tanggal 29 Oktober 2021
9. Perwakilan PPPA Daarul Qur'an (DaQu) Provinsi Sumatera Utara tanggal 29 Oktober 2021
10. Perwakilan Pusat Zakat Umat (PZU) Sumut Provinsi Sumatera Utara tanggal 29 Oktober 2021
11. Yayasan           Nurul     Hayat    Perwakilan Provinsi     Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara tanggal 25 September 2017
12. Lembaga Amil Zakat Yayasan Kesejahteraan Madani (YAKESMA) Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara tanggal 21 Oktober 2019
13. Lembaga Amil Zakat Al Washliyah Beramal (Washal) Skala Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara tanggal 26 November 2020
14. Lembaga Amil Zakat Baitul Mal Muamalat Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara tanggal 29 Oktober 2021
15. Lembaga Amil Zakat Sahabat Yatim Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara tanggal 28 Desember 2022
 
No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama

Sumatera Barat
1.
LAZ Ar Risalah Charity
Provinsi Sumatera Barat tanggal 26 September 2019 Nomor 389 Tahun 2019

Bengkulu
1.
Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah Perwakilan Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu Nomor 127 Tahun 2018 tanggal 27 Maret 2018
2.
Lembaga Amil Zakat Yayasan Kesejahteraan Madani Perwakilan Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu Nomor 191 Tahun 2018 tanggal 9 Mei 2018
3.
Lembaga Amil Zakat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Perwakilan Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu Nomor 468 Tahun 2020 tanggal 28 September 2020
4.
Lembaga Amil Zakat Inisiatif Zakat Indonesia Perwakilan Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu Nomor 142 Tahun 2021 tanggal 20 April 2021
5.
LAZIS Nahdlatul Ulama Perwakilan Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu Nomor 77 Tahun 2022 tanggal 26 Januari 2022
6.
Lembaga Amil Zakat Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Perwakilan Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu Nomor 161 Tahun 2016 tanggal 29 Agustus 2016
 
Riau
1.
Yayasan Ibadurrahman Duri
Provinsi Riau Nomor 281 Tahun 2021 tanggal 14 April 2021
2.
Perwakilan Lembaga Amil Zakat Inisiatif Zakat Indonesia Tingkat Provinsi Riau
Provinsi Riau Nomor 456 Tahun 2021 tanggal 8 Oktober 2021
3.
Yayasan Bina Insan Madani Dumai
Provinsi Riau Nomor 317 Tahun 2021 tanggal 18 Juni 2021
4.
Perwakilan Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa Republika Tingkat Provinsi Riau
Provinsi Riau Nomor 467 Tahun 2021 tanggal 13 Oktober 2021
5.
Perwakilan Lembaga Amil Zakat Rumah Zakat Tingkat Provinsi Riau
Provinsi Riau Nomor 440 Tahun 2021 tanggal 29 September 2021
6.
Perwakilan Lembaga Amil Zakat Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Tingkat Provinsi Riau
Provinsi Riau Nomor 249 Tahun 2017 tanggal 3 Mei 2017
7.
Perwakilan Lembaga Amil Zakat Rumah Yatim Arrohman Indonesia Tingkat Provinsi Riau
Provinsi Riau Nomor 118 Tahun 2018 tanggal 23 Januari 2018
8.
Perwakilan Lembaga Amil Zakat, Infak, Sedekah Muhammadiyah Tingkat Provinsi Riau
Provinsi Riau Nomor 61 Tahun 2019 tanggal 11 Februari 2019
9.
Perwakilan    Lembaga    Amil    Zakat    Yayasan Kesejahteraan Madani Tingkat Provinsi Riau
Provinsi Riau Nomor 455 Tahun 2021 tanggal 8 Oktober 2021
10.
LAZ Yayasan Swadaya Ummah
Provinsi Riau Nomor 772 Tahun 2015 tanggal 14 Desember 2015
11.
LAZ Yayasan Dana Sosial Nurul Insan Amanah Batam
Provinsi Riau Nomor 304 Tahun 2016 tanggal 18 Agustus 2016
 
No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama
 
Kepulauan Riau
1. Perwakilan LAZ Baitul Maal Hidayatullah Provinsi Kepulauan Riau tanggal 9 September 2021 Nomor 418 Tahun 2021
2. Perwakilan LAZ Rumah Zakat Indonesia Provinsi Kepulauan Riau tanggal 5 November 2021 Nomor 489 Tahun 2021
3. Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Berskala Nasional Provinsi Kepulauan Riau tanggal 11 Desember 2017 Nomor 546 Tahun 2017
4. Yayasan Kesejahteraan Madani sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Berskala Nasional Provinsi Kepulauan Riau tanggal 4 Oktober 2018 Nomor 344 Tahun 2018
5. LAZ Batam Provinsi Kepulauan Riau tanggal 22 Mei 2019 Nomor 324 Tahun 2019
6. Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Berskala Nasional Provinsi Kepulauan Riau tanggal 16 Desember 2020 Nomor 677 Tahun 2020
 
Lampung
1. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Dewan Da'wah Provinsi Lampung Provinsi Lampung Nomor B-386/Kw.08.6/4/BA.00/03/2017 tanggal 20 Maret 2017
2. Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (LAZISMU) Lampung Provinsi Lampung Nomor B-1706/KW.08.6/4/BA.00/12/2017 tanggal 5 Desember 2017
3. Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) Nahdlatul Ulama Provinsi Lampung Provinsi Lampung Nomor B-90/Kw.08.6/4/BA.00/01/2017 tanggal 20 Januari 2017
4. Lembaga Amil Zakat (LAZ) LAZDAI Lampung Provinsi Lampung Nomor B-583/Kw.08.6/4/BA.00/04/2017 tanggal 28 April 2017
5. Perwakilan Lembaga Amil Zakat (LAZ) Rumah Zakat Indonesia Lampung Provinsi Lampung Nomor B-1567/Kw.08.6/4/BA.00/11/2016 tanggal 7 November 2016
6. Perwakilan Lembaga Amil Zakat (LAZ) Dompet Dhuafa Lampung Provinsi Lampung Nomor B-110/Kw.08.6/4/BA.00/01/2017 tanggal 25 Januari 2017
7. Perwakilan    Lembaga    Amil    Zakat    Nasional (LAZNAS) Inisiatif Zakat Indonesia Lampung Provinsi Lampung Nomor Kw.08.6/4/BA.00/467/2016 tanggal 18 Maret 2016
 
Kepulauan Bangka Belitung
1. Yayasan Kesejahteraan Madani Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 365 Tahun 2019 tanggal 24 Maret 2019
2. Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 212 Tahun 2021 tanggal 2 Februari 2021
 
Kalimantan Barat
1. LAZIS    Muhammadiyah     Perwakilan    Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat Nomor 5133/Kw.14/BA.01.1/9/2019 Tahun 2019 tanggal 3 September 2019
2. LAZNAS Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat Nomor 5132/Kw.14/BA.01.1/9/2019 Tahun 2019 tanggal 3 September 2019
3. Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat Nomor 10002/Kw.14/BA.01.1/12/2020 Tahun 2020 tanggal 16 Desember 2020
4. Yayasan Rumah Zakat Indonesia Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8246/Kw.14/BA.01.1/11/2021 Tahun 2021 tanggal 16 November 2021
5. BMH Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8247/Kw.14/BA.01.1/11 /2021 Tahun 2021 tanggal 16 November 2021
 
Kalimantan Timur
1. Yayasan Baitul Mal Barakatul Ummah Kota Bontang Provinsi Kalimantan Timur Nomor 302 Tahun 2017 tanggal 14 Juni 2017
2. Lembaga Amil Zakat Sinergi Membangun Umat Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur Nomor 215 Tahun 2019 tanggal 3 Mei 2019
 
No.   Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama
 
Banten
1. Perwakilan LAZ Dompet Dhuafa Republika Provinsi Banten Nomor 1390 Tahun 2021 tanggal 23 November 2021
2. Perwakilan LAZ Baitul Maal Hidayatullah Provinsi Banten Nomor 833 Tahun 2017 tanggal 11 Juli 2017
3. Perwakilan    LAZ    Dewan    Dakwah    Islamiyah Indonesia Provinsi Banten Nomor 1177 Tahun 2017 tanggal 3 Agustus 2017
4. Perwakilan LAZ Yatim Mandiri Surabaya Provinsi Banten Nomor 163 Tahun 2018 tanggal 1 Maret 2018
5. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqoh Nahdlatul Ulama Provinsi Banten Provinsi Banten Nomor 628 Tahun 2018 tanggal 30 Juli 2018
6. Perwakilan     LAZ     Yayasan    Inisiatif     Zakat Indonesia Provinsi Banten Nomor 1391 Tahun 2021 tanggal 23 November 2021
7. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqoh Yayasan Wahdah Islamiyah Provinsi Banten Provinsi Banten Nomor 824 Tahun 2020 tanggal 29 Juli 2020
8. Perwakilan LAZ PZU Perkumpulan Persatuan Islam Provinsi Banten Nomor 1266 Tahun 2020 tanggal 10 Desember 2020
9. Perwakilan    LAZ    Yayasan    Sahabat     Yatim Indonesia Provinsi Banten Nomor  889 Tahun 2021 tanggal  31 Agustus 2021
10. Yayasan    Masjid    Raya    Bintaro    Jaya    Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Nomor 1055 Tahun 2019 tanggal 20 November 2019
11. LAZ RYDHA Provinsi Banten Nomor 1163 Tahun 2019 tanggal 30 Desember 2019
12. Yayasan Al Aqsha De Latinos Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Nomor 1243 Tahun 2020 tanggal 30 November 2020
13. Yayasan   Warga   Muslim    Graha   Raya Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Nomor  348 Tahun 2021 tanggal  20 April 2021
14. Yayasan Uswah Hasanah Perwira Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor  349 Tahun 2021 tanggal  20 April 2021
15. Perwakilan     LAZ     Yayasan     Rumah     Zakat Indonesia Provinsi Banten Nomor  627 Tahun 2021 tanggal  29 Juni 2021
16. Perwakilan LAZIS Muhammadiyah Provinsi Banten Nomor 1389 Tahun 2021 tanggal 23 November 2021
17. Yayasan Al Amanah Nusantara Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Nomor 023/F Tahun 2022 tanggal 20 Juni 2022
18. Yayasan   Dompet    Yatim    dan    Mesjid    Kota Tangerang Selatan (LAZ YDYM) Provinsi Banten Nomor 027/F Tahun 2022 tanggal 4 Juli 2022
 
DKI Jakarta
1. Yayasan Ar-Raudhah Ihsan Fondation Provinsi DKI Jakarta Nomor 286 Tahun 2020 tanggal 18 Maret 2020
2. Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) Provinsi DKI Jakarta Nomor 553 Tahun 2020 tanggal 27 Oktober 2020
3. Lembaga Amil Zakat Nasional Rumah Zakat Indonesia Perwakilan Provinsi DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta Nomor 924 Tahun 2021 tanggal 22 November 2021
4. LAZ Nasional Baitul Mal Madinatul Iman Provinsi DKI Jakarta Nomor 186 Tahun 2017 tanggal 22 Februari 2017
5. LAZ Yayasan Mata Air (LAZISMA) Provinsi DKI Jakarta Nomor 2427 Tahun 2016 tanggal 24 November 2016
 
Jawa Barat
1. Perwakilan    LAZ   Nasional    Yayasan   Dompet Dhuafa Republika Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 304 Tahun 2017 tanggal 1 Maret 2017
2. Perwakilan LAZ Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 305 Tahun 2017 tanggal 3 Maret 2017
3. Perwakilan    LAZ    Rumah    Yatim     Arrohman Indonesia Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 51 Tahun 2018 tanggal 24 Januari 2018
4. Perwakilan    LAZ    Dewan    Dakwah    Islamiyah Indonesia (DDII) Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 122 Tahun 2018 tanggal 30 Januari 2018
5. Perwakilan LAZ Daarut Tauhiid Peduli Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 148 Tahun 2018 tanggal 6 Februari 2018
6. LAZ Yashiruna Peduli Provinsi Jawa Barat Nomor 1275 Tahun 2020 tanggal 13 Oktober 2020
 
No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama
7. LAZ Ummul Quro Provinsi Jawa Barat Nomor 1527 Tahun 2020 tanggal 18 Desember 2020
8. Lembaga Amil Zakat Sakinah Kota Bandung Provinsi Jawa Barat Nomor 1389 Tahun 2021 tanggal 10 September 2021
9. LAZ     Yayasan     Insan     Masyarakat     Madani Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat Nomor 594 Tahun 2017 tanggal 8 Mei 2017
10. LAZ Yayasan Nahwa Nur Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat Nomor 1240-1 Tahun 2017 tanggal 27 November 2017
11. LAZ Yayasan Muslim Al Kahfi Bekasi Provinsi Jawa Barat Nomor 620 Tahun 2018 tanggal 22 Mei 2018
12. LAZ Yayasan Rumah Amal Provinsi Jawa Barat Nomor 624 Tahun 2018 tanggal 23 Mei 2018
13. Yayasan Ukhuwah Care Indonesia Provinsi Jawa Barat Nomor 1312 Tahun 2018 tanggal 30 Agustus 2018
14. LAZ Yayasan Zakatku Bakti Persada Kota Bandung Provinsi Jawa Barat Nomor 596 Tahun 2017 tanggal 8 Mei 2017
15. LAZ Yayasan Indonesia Berbagi Kota Bandung Provinsi Jawa Barat Nomor 597 Tahun 2017 tanggal 8 Mei 2017
16. LAZ Amal Madani Indonesia Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat Nomor 599 Tahun 2017 tanggal 8 Mei 2017
17. Lembaga Amil Zakat Dompet Amal Pecinta Al Qur’an Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 303 Tahun 2019 tanggal 19 Februari 2019
18. Lembaga Amil Zakat BaltulMaalku Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat Nomor 1676 Tahun 2019 tanggal 19 Desember 2019
19. Perwakilan Yayasan Kesejahteraan Madani Provinsi Jawa Barat Nomor 1543 Tahun 2020 tanggal 21 Desember 2020
20. LAZ Rabbani Kab. Bogor Provinsi Jawa Barat Nomor 1526 Tahun 2020 tanggal 18 Desember 2020
21. Perwakilan Baitulmaal Muammalat Provinsi Jawa Barat Nomor 1274 Tahun 2020 tanggal 13 Oktober 2020
22. Perwakilan Nahdlatul Ulama Provinsi Jawa Barat Nomor 906 Tahun 2020 tanggal 24 Juli 2020
23. Perwakilan Inisiasi Zakat Indonesia Provinsi Jawa Barat Nomor 1149 Tahun 2021 tanggal 6 Agustus 2021
24. Lembaga Amil Zakat Achmad Zaky Foundation Kota Depok Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 1549 Tahun 2021 tanggal 18 Oktober 2021
25. Lembaga    Amil    Zakat    Infak   dan    Sedekah Muhammadiyah Perwakilan Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 1150 Tahun 2021 tanggal 6 Agustus 2021
26. Lembaga Amil Zakat Sahabat Kebaikan Umat Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 1554 Tahun 2021 tanggal 19 Oktober 2021
27. Lembaga Amil Zakat Al Kasyaf Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 1564 Tahun 2021 tanggal 22 Oktober 2021
28. LAZ Bina Muda Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat Nomor 241 Tahun 2016 tanggal 1 Juni 2016
29. LAZ Rumah Peduli Umat Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat Nomor 1993 Tahun 2022 tanggal 14 November 2022
30. LAZ Gelora Insan Mandiri Kota Depok Provinsi Jawa Barat Nomor 484 Tahun 2022 tanggal 11 Mei 2022
31. LAZ Zakatel Citra Caraka Kota Bandung Provinsi Jawa Barat Nomor 485 Tahun 2022 tanggal 11 Mei 2022
32. LAZ Graha Dhuafa Indonesia Kota Bandung Provinsi Jawa Barat Nomor 1913 Tahun 2022 tanggal 3 Oktober 2022
33. LAZ Lidzikri Kota Bandung Provinsi Jawa Barat Nomor 1914 Tahun 2022 tanggal 3 Oktober 2022
34. LAZ Baitulmal Tazkia Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat Nomor 43 Tahun 2023 tanggal 12 Januari 2023
35. LAZ Muslim Peduli Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat Nomor 171 Tahun 2023 tanggal 13 Maret 2023
 
Daerah Istimewa Yogyakarta
1. Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa Republika Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 120 Tahun 2022 tanggal 16 Februari 2022
2. Lembaga Amil Zakat Rumah Yatim Arrohman Indonesia Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 598 Tahun 2022 tanggal 3 November 2022
 
No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama
3. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Yayasan Rumah Zakat Indonesia Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 818 Tahun 2021 tanggal 22 Juli 2021
4. Lembaga    Amil    Zakat    Yayasan    Pendidikan Dakwah Sosial Al Khairaat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 381 Tahun 2020 tanggal 4 Maret 2020
5. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Baitulmaal Muamalat Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 888 Tahun 2019 tanggal 13 September 2019
6. Lembaga Amil Zakat Yayasan Daarut Tauhid Peduli Berskala Nasional Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 725 Tahun 2019 tanggal 30 Juli 2019
7. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 898 Tahun 2019 tanggal 17 September 2019
8. Lembaga Amil Zakat Yayasan Amal Syuhada Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 923 Tahun 2019 tanggal 24 September 2019
9. Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 96 Tahun 2022 tanggal 7 Februari 2022
10. Lembaga Amil Zakat Yayasan Lazisqu Lazis Qur'an Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 476 Tahun 2020 tanggal 1 April 2021
11. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 380 Tahun 2019 tanggal 16 April 2019
12. Lembaga Amil Zakat Yayasan Balqis Karya Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 513 Tahun 2021 tanggal 28 April 2021
13. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Yayasan Inisiatif Zakat Indonesia Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 512 Tahun 2021 tanggal 28 April 2021
14. Yayasan    Lembaga    Amil    Zakat    Infak    dan Shadaqah Nahdlatul Ulama Kabupaten Bantul Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bantul Nomor 194 Tahun 2018 tanggal 17 Desember 2018
15. Yayasan Lembaga Zakat  Infak dan Shadaqah Muhammadiyah Daerah Bantul Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bantul Nomor 104 Tahun 2020 tanggal 7 Oktober 2020
16. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Yayasan Daarul Quran Nusantara Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 115 Tahun 2021 tanggal 13 Januari 2021
17. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Yayasan Yatim Mandiri Surabaya Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 515 Tahun 2020 tanggal 14 April 2020
18. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Yayasan Mizan Amanah Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1192 Tahun 2020 tanggal 4 November 2020
19. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Yayasan Nurul Hayat Berskala Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1193 Tahun 2020 tanggal 4 November 2020
20. Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqoh Muhammadiyah Kabupaten Kulon Progo Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kulon Progo Nomor 205 Tahun 2019 tanggal 15 Juli 2019
21. Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqoh Muhammadiyah Kabupaten Gunungkidul Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gunungkidul Nomor 41 Tahun 2020 tanggal 28 Januari 2020
22. Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqoh Nahdlatul Ulama Kabupaten Gunungkidul Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gunungkidul Nomor 41A Tahun 2020 tanggal 28 Januari 2020
23. Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama Kota Yogyakarta Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Yogyakarta Nomor 187 Tahun 2019 tanggal 20 Mei 2019
24. Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) Kota Yogyakarta Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Yogyakarta Nomor 388 Tahun 2019 tanggal 16 April 2019
25. Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama Kulon Progo Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kulon Progo Nomor 16 Tahun 2019 tanggal 18 Januari 2019
26. Yayasan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqoh Muhammadiyah Kabupaten Sleman Keputusan Kepala Kantor  Kementerian Agama Kabupaten Sleman Nomor 30 Tahun 2020 tanggal 17 Januari 2020
 
No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama
27. Yayasan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama Kabupaten Sleman Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman Nomor 267 Tahun 2019 tanggal 2  September 2019
28. Yayasan Lumbung Zakat Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman Nomor 45 Tahun 2021 tanggal 24  Januari 2021
29. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Yayasan Baitul Maal Hidayatullah Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 118 Tahun 2022 tanggal 15 Februari 2022
30. Lembaga Amil Zakat Al Azhar Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1198 Tahun 2021 tanggal 23 Desember 2021
31. Lembaga Amil Zakat Yayasan Agen Sedekah Kulonprogo di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 160 Tahun 2022 tanggal 9 Maret 2022
32. Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Timoho Sejahtera di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 161 Tahun 2022 tanggal 9 Maret 2022
33. Lembaga Amil Zakat Sahabat Yatim Indonesia Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 209 Tahun 2022 tanggal 1 April 2022
 
Jawa Tengah
1. LAZ Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto Provinsi Jawa Tengah Nomor 4132/Kw.11.7/4/BA.03.2/06/2017 tanggal 19 Juni 2017
2. LAZ Yayasan Dana Kemanusiaan Dhuafa Magelang Provinsi Jawa Tengah Nomor 551 Tahun 2018 tanggal 9 Februari 2018
3. Yayasan Layanan Amal Zakat Insan Indonesia Baiturrahman Provinsi Jawa Tengah Nomor 810 Tahun 2021 tanggal 25 Juni 2021
 
Jawa Timur
1. Lembaga Amil Zakat Yayasan Rumah Itqon Zakat dan Infak di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur Nomor 3436 Tahun 2018 tanggal 13 Maret 2018
2. Lembaga Amil Zakat Lembaga Pengembangan Infaq di Kota Mojokerto Provinsi Jawa Timur Nomor 6114 Tahun 2017 tanggal 6 September 2017
3. Lembaga Amil Zakat Yayasan Amal Sosial Ash Shohwah Malang Provinsi Jawa Timur Nomor 6127 Tahun 2017 tanggal 8 September 2017
4. Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah Yayasan Majlis Amal Sholeh di Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur Nomor 4681 Tahun 2018 tanggal 28 Desember 2018
5. Lembaga Amil Zakat Yayasan Rahmatul Anwar di Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur Nomor 190 Tahun 2020 tanggal 26 Februari 2020
6. Yayasan Lembaga Amil Zakat Keluarga Sakinah Bojonegoro Provinsi Jawa Timur Nomor 971 Tahun 2020 tanggal 29 Desember 2020
7. Lembaga Amil Zakat Nasional Inisiatif Zakat Indonesia sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Skala Nasional di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 703 Tahun 2021 tanggal 17 Juni 2021
8. Lembaga Amil Zakat Rumah Zakat sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Skala Nasional di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 702 Tahun 2021 tanggal 17 Juni 2021
9. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 1979 Tahun 2017 tanggal 10 Maret 2017
10. Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa Republika sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Skala Nasional di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 2022 Tahun 2017 tanggal 21 Maret 2017
11. Lembaga Amil Zakat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Skala Nasional di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 8715 Tahun 2017 tanggal 6 November 2017
12. Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Muhammadiyah sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Skala Nasional di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 4540 Tahun 2018 tanggal 1 November 2018
13. Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Muamalat sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Skala Nasional di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 832 Tahun 2021 tanggal 26 Agustus 2021
14. Lembaga Amil Zakat Al Azhar sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Skala Nasional di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 1232 Tahun 2021 tanggal 17 Desember 2021
15. Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah sebagai Perwakilan Lembaga Amil Zakat Skala Nasional di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Nomor 678 Tahun 2021 tanggal 7 Juni 2021
 
No.  Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama
 
Bali
1.
Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Perwakilan Provinsi Bali
Provinsi Bali Nomor 518 Tahun 2021 tanggal 8 Desember 2021
2.
Lembaga Amil Zakat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Perwakilan Provinsi Bali
Provinsi Bali Nomor 463 Tahun 2017 tanggal 20 November 2017
3.
Lembaga Amil Zakat Rumah Yatim Arrohman Perwakilan Provinsi Bali
Provinsi Bali Nomor 478 Tahun 2018 tanggal 2 September 2018
4.
Lembaga Amil Zakat Yayasan Kesejahteraan Mandiri (Yakesma) Perwakilan Provinsi Bali
Provinsi Bali Nomor 473 Tahun 2020 tanggal 21 Desember 2020
 
Nusa Tenggara Barat
1. Perwakilan LAZ BMH Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 633 Tahun 2021 tanggal 15 Desember 2021
2. Perwakilan LAZ Rumah Yatim Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 209 Tahun 2017 tanggal 7 April 2017
3. Perwakilan LAZNAS Dewan Dakwah NTB Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 712 Tahun 2016 tanggal 2 Desember 2016
4. Perwakilan LAZIS MU Kab. Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 016/KepIII.0/K/2021-2022 tanggal 13 Februari 2021
5. Perwakilan LAZIS Muhammadiyah Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 205/Kep/III.0/K/2020 tanggal 12 September 2021
 
Sulawesi Barat
1. Perwakilan Lembaga Amil Zakat Nasional Yayasan Kesejahteraan Madani di Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Barat Nomor 483 Tahun 2019 tanggal 9 September 2019
2. Perwakilan    Yayasan    Lembaga    Amil    Zakat Muhammadiyah di Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Barat Nomor 313 Tahun 2020 tanggal 30 November 2020
3. Perwakilan    Yayasan    Lembaga    Amil    Zakat Nahdhatul Ulama di Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Barat Nomor 152 Tahun 2021 tanggal 27 April 2021
4. Perwakilan LAZ Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Provinsi Sulawesi Barat Nomor 491 Tahun 2021 tanggal 28 Desember 2021
5. Perwakilan    Yayasan    Lembaga    Amil    Zakat Wahdah Islamiyah di Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Barat Nomor 235 Tahun 2020 tanggal 31 Agustus 2020
 
Sulawesi Selatan
1. Perwakilan LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU) Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 746 Tahun 2021 tanggal 3 Agustus 2021
2. Lembaga    Amil    Zakat    (LAZ)    Baitul    Maal Muamalat Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 952 Tahun 2021 tanggal 28 September 2021
3. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Daarut Tauhid Peduli Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1030 Tahun 2021 tanggal 18 Oktober 2021
4. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Yatim Mandiri Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1036 Tahun 2021 tanggal 26 Oktober 2021
5. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Dompet Dhuafa Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1077 Tahun 2021 tanggal 12 November 2021
6. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Al Azhar Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1090 Tahun 2021 tanggal 24 November 2021
7. Lembaga Amil Zakat Rumah Zakat Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 437 Tahun 2021 tanggal 15 April 2021
8. Lembaga Amil Zakat Inisiatif Zakat Indonesia Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 438 Tahun 2021 tanggal 15 April 2021
9. Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 818 Tahun 2021 tanggal 7 September 2021
10. Lembaga Amil Zakat Wahdah Islamiyah Perwakilan Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 8218 Tahun 2020 tanggal 28 Desember 2020
 
F. Lembaga Penerima dan Pengelola Sumbangan Kegamaan Kristen sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Kristen Kementerian Agama
1. Yayasan Sumbangan Sosial Keagamaan Kristen Indonesia (YASKI)     Nomor 31 Tahun 2018 tanggal 19 Januari 2018
2. Yayasan Kasih Persaudaraan Bangsa     Nomor 104 Tahun 2019 tanggal 8 Februari 2019
3. Yayasan Kasih Philadelphia Indonesia     Nomor 372 Tahun 2021 tanggal 15 September 2021

G. Lembaga Penerima Sumbangan Keagamaan Katolik sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal Surat Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama
1. Badan Amal Kasih Katolik (BAKKAT) Nomor 2626 Tahun 2017
tanggal 28 November 2017

H. Lembaga Pengelola Dana Sosial Keagamaan Buddha Wajib Tingkat Nasional sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal Surat Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama
1. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia     Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober 2022
2. Yayasan Dana Paramita Buddha Maitreya Indonesia     Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober 2022
3. Yayasan Dana Paramita Agama Buddha Indonesia     Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober 2022
4. Yayasan Dana Paramita Majelis Tridharma Indonesia     Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober 2022
5. Yayasan Karuna Mitta Wijaya     Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober 2022
6. Yayasan Patra Marga Paramita     Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober 2022
7. Yayasan Dana Paramita Guang Ji Indonesia     Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober 2022
8. Yayasan Dhammaduta Cagga Sasana     Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober 2022
 
I. Lembaga Pengelola Dana Sosial Keagamaan Buddha Wajib Tingkat Provinsi sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal Surat Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama
1. Yayasan Dana Paramita Majapahit    Nomor 192 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 168 Tahun 2022 tanggal 28 Oktober

J. Lembaga Penerima Sumbangan Keagamaan Hindu sebagai berikut:

No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal Surat Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama
1. Yayasan Badan Dharma Dana Nasional     Nomor 113 Tahun 2023
tanggal 13 Maret 2023

 

Badan Atau Lembaga Penerima Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dicabut Perizinannya Oleh Pemerintah

A. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Skala Kabupaten/Kota sebagai berikut:
 
No. Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Kantor Wilayah Kementerian Agama
1. LAZ Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf Provinsi DKI Jakarta Nomor 2432 Tahun 2016 tanggal 25 November 2016 yang dicabut dengan Surat Keputusan Nomor 103 Tahun 2021 tanggal 29 Januari 2021
 
B. Lembaga Penerima dan Pengelola Sumbangan Keagamaan Kristen sebagai berikut:
 
No.   Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama
1. Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI) Nomor DJ.III/KEP/HK.005/290/2011 tanggal 15 Juli 2011 yang dicabut dengan Nomor 48 Tahun 2023 tanggal 28 Februari 2023
 
C. Lembaga Penerima Sumbangan Keagamaan Hindu sebagai berikut:
 
No.   Nama Badan/Lembaga Nomor dan Tanggal
Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama
1. Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) Nomor 43 Tahun 2012 tanggal 15 Maret 2012 yang dicabut dengan Nomor 113  Tahun 2023 tanggal 13 Maret 2023
   
Penyusutan atas Perbaikan Aset
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11 (1), PP Nomor 55 Tahun 2022, PMK 72 Tahun 2023)


Perbaikan atas harta berwujud dapat berupa perbaikan yang menambah masa manfaat maupun perbaikan yang tidak menambah masa manfaat. Sesuai ketentuan pada Pasal 7 ayat (3) PMK 72/2023, dalam hal perbaikan tidak menambah masa manfaat, penyusutan dilakukan atas dasar nilai sisa buku fiskal ditambah biaya yang dikapitalisasi, sesuai dengan sisa masa manfaat fiskal harta berwujud tersebut. PMK 72/2023 mengatur bahwa jika perbaikan menambah masa manfaat, penyusutan dilakukan sesuai dengan sisa masa manfaat fiskal ditambah tambahan masa manfaat karena perbaikan. Namun, jumlah masa manfaat tersebut paling lama adalah sesuai masa manfaat kelompok harta berwujud terkait.

Biaya Perbaikan yang Dikapitalisasi
Pengeluaran yang dikapitalisasi merupakan yang memberi manfaat ekonomis di masa yang akan datang dalam bentuk kapasitas, mutu produksi, peningkatan standar, atau yang dapat memperpanjang masa manfaat. Sebagai contoh, perusahaan produsen pakan ternak memiliki mesin boiler dengan bahan bakar kayu. Perusahaan ingin mengubah mesin tersebut dengan bahan bakar batu bara untuk meningkatkan kapasitas produksi. Pengeluaran untuk melakukan peningkatan kapasitas ini dapat dikapitalisasi dalam nilai mesin boiler. Tidak semua biaya perbaikan dapat dikapitalisasi ke dalam nilai aset. Suatu pengeluaran tidak dikategorikan sebagai biaya perbaikan yang dikapitalisasi jika termasuk biaya perawatan rutin yang dilakukan 1 kali atau lebih dalam setiap tahun. Sebagai contoh, sebuah mobil harus dilakukan service rutin setiap tahun. Dalam service tersebut terdapat penggantian suku cadang yang harus diganti setiap tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk service tersebut termasuk biaya perawatan rutin, sehingga tidak dikapitalisasi pada nilai mobil.

Ketentuan Penyusutan Fiskal Aset yang Dilakukan Perbaikan
Perbaikan atas harta berwujud dapat berupa perbaikan yang menambah masa manfaat maupun perbaikan yang tidak menambah masa manfaat. Sesuai ketentuan pada Pasal 7 ayat (3) PMK 72/2023, dalam hal perbaikan tidak menambah masa manfaat, penyusutan dilakukan atas dasar nilai sisa buku fiskal ditambah biaya yang dikapitalisasi, sesuai dengan sisa masa manfaat fiskal harta berwujud tersebut. Ketentuan PMK 72/2023 mengatur bahwa jika perbaikan menambah masa manfaat, penyusutan dilakukan sesuai dengan sisa masa manfaat fiskal ditambah tambahan masa manfaat karena perbaikan. Namun, jumlah masa manfaat tersebut paling lama adalah sesuai masa manfaat kelompok harta berwujud terkait.


Contoh Penyusutan Aset yang Diperbaiki
1. Perbaikan yang Tidak Menambah Masa Manfaat
PT A membeli sebuah perahu dengan nilai Rp500.000.000 pada bulan Januari 2023. Perahu tersebut termasuk dalam kelompok 2 yang memiliki masa manfaat fiskal 8 tahun. Untuk menambah kecepatan perahu, pada bulan Januari 2024 dilakukan penambahan mesin inboard dan mesin outboard dengan jumlah pengeluaran sebesar Rp100.000.000. Penambahan mesin tersebut tidak mengakibatkan penambahan masa manfaat perahu. Penghitungan penyusutan yang dilakukan oleh PT A adalah sebagai berikut:

Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 600.000.000
2023 12,5% 75.000.000 525.000.000
Biaya Perbaikan 100.000.000
      625.000.000
2024 12,5% 78.125.000 546.875.000
2025 12,5% 78.125.000 468.750.000
2026 12,5% 78.125.000 390.625.000
2027 12,5% 78.125.000 312.500.000
2028 12,5% 78.125.000 234.375.000
2029 12,5% 78.125.000 156.250.000
2030 12,5% 78.125.000 78.125.000
2031 12,5% 78.125.000 0

2. Perbaikan yang Menambah Masa Manfaat
Pengeluaran untuk pembelian sebuah kapal sebesar Rp1.000.000.000 pada bulan Oktober 2022. Masa manfaat fiskal kapal tersebut adalah 8 tahun. Setelah digunakan 5 tahun, pada bulan Oktober 2027 dilakukan penggantian mesin dan perbaikan badan kapal sebesar Rp400.000.000. Perbaikan tersebut menyebabkan kapal dapat digunakan 6 tahun lebih lama dari sisa masa manfaat awal, sehingga sisa manfaat menjadi 9 tahun. Namun, untuk tujuan perpajakan masa manfaat penyusutan kapal bukan 9 tahun, tetapi menjadi 8 tahun sesuai masa manfaat awal kelompok 2. Biaya penggantian mesin dan perbaikan badan kapal tersebut dikapitalisasi pada nilai sisa buku fiskal kapal dan disusutkan sesuai masa manfaat kapal setelah diperbaiki, yaitu 8 tahun. Berikut adalah penghitungan penyusutannya:

Tahun Proporsional Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 1.000.000.000
2022 3/12 12,5% 31.250.000 968.750.000
2023   12,5% 125.000.000 843.750.000
2024   12,5% 125.000.000 718.750.000
2025   12,5% 125.000.000 593.750.000
2026   12,5% 125.000.000 468.750.000
2027 9/12 12,5% 93.750.000 375.000.000
Biaya Perbaikan 400.000.000
        750.000.000
2027 3/12 12,5% 24.218.750 750.781.250
2028   12,5% 96.875.000 653.906.250
2029   12,5% 96.875.000 557.031.250
2030   12,5% 96.875.000 460.156.250
2031   12,5% 96.875.000 363.281.250
2032   12,5% 96.875.000 266.406.250
2033   12,5% 96.875.000 169.531.250
2034   12,5% 96.875.000 72.656.250
2035 9/12 12,5% 72.656.250 -
Penghasilan Anak Belum Dewasa

Perlakuan Penghasilan atau kerugian bagi Anak Belum Dewasa
(UU Pajak Penghasilan Pasal 8 (4))


Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa.

Yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Penghasilan anak yang belum dewasa yang tidak digabung dengan penghasilan orang tuanya hanya penghasilan yang berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau kegiatan dari orang yang memiliki hubungan istimewa dengan anak tersebut.  

Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, maka pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Pengeboran minyak, gas dan panas bumi

Penghitungan Penghasilan netto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi
(628/KMK.04/1991)


Penghasilan netto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto.

Penghasilan bruto bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi
(628/KMK.04/1991)


Penghasilan bruto bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi adalah penghasilan bruto dari jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang bersangkutan.

Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi diwajibkan untuk menyelenggarakan pencatatan penghasilan bruto dari jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang bersangkutan dan pengeluaran-pengeluaran yang wajib dilakukan pemotongan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan.

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari Usaha lain selain usaha pengeboran minyak dan gas bumi wajib diselenggarakan pembukuan yang terpisah.

Penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi
(628/KMK.04/1991)


Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan Usaha pengeboran minyak dan gas bumi, adalah jumlah yang dihasilkan dari penerapan tarif menurut Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Netto dari usaha di bidang pengeboran minyak dan gas bumi yang dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus ditambah penghasilan netto dari kegiatan usaha lain yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
Pengertian
(UU Pajak Penghasilan Pasal 15)

Norma Penghitungan khusus adalah prosentase tertentu dari peredaran atau penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan umum penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Norma Penghitungan Khusus Wajib Pajak tertentu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Wajib Pajak tertentu yang dikenakan pajak dengan Norma Penghitungan Khusus
(Penjelasan UU Pajak Penghasilan Pasal 15)

  1. Perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional,
  2. Perusahaan asuransi luar negeri,
  3. Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi,
  4. Perusahaan dagang asing,
  5. Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah ("build, operate, and transfer")
Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
 
Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
(UU Pajak Penghasilan Pasal 14 (3) & (4) beserta penjelasan, PER - 17/2015)


1. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.
   
Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak Orang Pribadi tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
   
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
   
2. wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
   
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.


Penghitungan penghasilan neto untuk wajib pajak yang wajib pembukuan tetapi tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik
(UU Pajak Penghasilan Pasal 14 (5) beserta penjelasan)


Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan dan atau wajib menyelenggarakan pencatatan dan atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi :
  1. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;
  2. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan;
maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Sanksi bagi wajib pajak yang wajib pembukuan tetapi tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik
(PER - 17/PJ//2015)


Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer)

Pengertian Bangun Guna Serah
(248/KMK.04/1995 jo SE -3 8/PJ.4/1995)


Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir.

Bangunan yang didirikan investor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko, hotel, dan/atau bangunan lainnya

Pengertian Penghasilan Investor
(248/KMK.04/1995 jo SE -38/PJ.4/1995)


Penghasilan Investor adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan bangunan yang didirikannya, antara lain :
  1. Sewa / Penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta
  2. Penghasilan sehubungan dengan pengusahaan bangunan, seperti ; pengusahaan hotel, sport center, tempat hiburan, dsb.
  3. Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak atas tanah, dalam hal masa perjanjian bangun guna serah diperpendek dari masa yang telah ditentukan.
Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah diberikan penggantian atau imbalan kepada investor, maka penggantian atau imbalan tersebut adalah penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak penggantian atau imbalan tersebut (KMK 248/KMK.04/1995)

Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi investor
(SE -38/PJ.4/1995)


Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi investor adalah biaya yang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berkenaan dengan pengusahaan bangunan yang didirikan berdasarkan perjanjian bangun guna serah tersebut.

Ketentuan Amortisasi Biaya Pendirian Bangunan oleh Investor
(SE - 38/PJ.4/1995)


Amortisasi Biaya Pendirian Bangunan oleh Investor :

- Amortisasi biaya pendirian bangunan dengan menggunakan metode garis lurus (diamortisasi dalam jumlah sama besar ) selama masa perjanjian bangun guna serah.

Contoh :
Investor PT ABC mendirikan bangunan gedung perkantoran 12 lantai atas tanah milik PT PG berdasarkan perjanjian bangun guna serah dengan biaya Rp 30.000.000.000,00 untuk masa selama 15 tahun. Amortisasi yang dilakukan oleh PT ABC setiap tahun adalah sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (Rp.30.000.000.000,00 : 15)
   
- Apabila masa perjanjian bangun guna serah diakhiri lebih pendek dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi dibebankan sekaligus pada tahun diakhirinya perjanjian bangun guna serah tersebut.

Contoh  :
Berdasarkan contoh 1,PT ABC pada akhir tahun ke dua belas menyerahkan bangunan kepada PT PG .dengan diperpendeknya masa perjanjian tersebut kepada PT ABC diberikan imbalan oleh PT PG sebesar Rp 5.000.000.000,00 pada akhir tahun ke dua belas (tahun berakhirnya masa perjanjian bangun guna serah) PT ABC memperoleh tambahan penghasilan sebesar Rp 5.000.000.000,00 (Rp 30.000.000.000,00 - (12x Rp 2.000.000.000,00).
   
- Apabila masa perjanjian bangun guna serah diperpanjang dari masa perjanjian yang telah ditentukan karena adanya penambahan bangunan, maka biaya tambahan tersebut ditambahkan pada sisa biaya yang belum diamortisasi, dan selanjutnya diamortisasi hingga berakhirnya masa perjanjian yang diperpanjang tersebut.

Contoh :
Berdasarkan Contoh 1, PT ABC pada tahun ke sebelas menambah bangunan dengan biaya Rp 20.000.000.000,00 dan masa bangun guna serah diperpanjang 5 tahun sehingga menjadi 20 tahun. Penghitungan amortisasi PT ABC mulai tahun ke sebelas sebagai berikut :

- sisa yang belum diamortisasi pada awal tahun ke sebelas Rp.10.000.000.000,00
- Nilai perolehan hak atas penambahan bangunan pada tahun ke sebelas Rp.20.000.000.000.00
- dasar amortisasi yang baru Rp.30.000.000.000,00
- masa amortisasi adalah 10 tahun (20 tahun - 10 tahun)  
- Amortisasi setiap tahun mulai tahun ke sebelas (Rp.30.000.000.000,00 : 10) Rp.  3.000.000.000,00
   
- Amortisasi biaya pendirian bangunan dimulai pada tahun mulai digunakannya atau diusahakannya bangunan tersebut. Biaya pendirian bangunan dikapitalisir terlebih dahulu sampai bangunan dapat digunakan atau diusahakan.

Penghasilan Bagi Pemegang Hak atas Tanah
(SE - 38/PJ.4/1995)


- Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa perjanjian bangun guna serah berakhir
- Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak atas tanah sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah, seperti :
  * Pembayaran berkala yang dilakukan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah selama masa perjanjian.
  * Bagian dari uang sewa bangunan
  * Bagian keuntungan dari pengusahaan bangunan yang diberikan oleh invistor
  * Penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah
- penyerahan sebagian bangunan dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor tidak seluruhnya menjadi hak investor tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah

Perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan Pemegang Hak atas Tanah
(248/KMK.04/1995 jo SE - 38/PJ.4/1995)


PPh yang terutang sebesar = 5% x Nilai tertinggi antara nilai pasar dengan NJOP bagian bangunan yang diserahkan tersebut. PPh tersebut harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa bangun guna serah berakhir

Nilai tertinggi antara nilai pasar dan NJOP bangunan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah tersebut merupakan nilai perolehan bangunan bagi pemegang hak atas tanah.

Dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor tidak seluruhnya menjadi hak investor tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah maka PPh yang terutang harus dilunasi oleh pemegang hak atas tanah selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah penyerahan.

Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) tersebut di atas apabila pemegang hak atas tanah adalah badan pemerintah

Sifat pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan Pemegang Hak atas Tanah
(248/KMK.04/1995 jo SE - 38/PJ.4/1995)


Dalam hal pemegang hak atas tanah merupakan wajib pajak orang pribadi atau yayasan atau organisasi yang sejenis, pembayaran PPh 5% tersebut di atas bersifat final.

Dalam hal pemegang hak atas tanah merupakan wajib pajak badan atau BUT, pembayaran PPh 5% tersebut merupakan angsuran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25) yang dapat dikreditkan.
Cara Penghitungan

Penghitungan penghasilan neto bagi wajib pajak yang memiliki lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas
(PER - 17/PJ/2015)

Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah.

Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas.

Penghitungan penghasilan neto
(PER - 17/PJ/2015)


Penghasilan neto dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu (1) tahun.

Penghitungan pajak terutang bagi WP Orang Pribadi
(PER - 17/PJ/2015)


Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum, terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto.

CONTOH PEMAKAIAN NORMA

A. Wajib Pajak A kawin dan mempunyai 3 (tiga) orang anak. Ia menjalankan usaha kantor akuntan publik di Jakarta yang juga memiliki usaha kantor hukum di Yogyakarta
  - Peredaran Usaha kantor hukum di Yogyakarta Rp. 150.000.000,00
  - Peredaran usaha kantor akuntan publik di jakarta di Jakarta Rp. 250.000.000,00
       
  Penghasilan neto dihitung sebagai berikut :  
  - Dari usaha kantor hukum : 50% X Rp. 150.000.000,00 Rp.   75.000.000,00
  - Dari usaha kantor akuntan publik: 50% X Rp. 250.000.000,00 Rp. 125.000.000,00
    jumlah penghasilan Neto Rp. 200.000.000,00
       
  Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak
Rp. 200.000.000,00 - Rp. 72.000.000,00 = Rp. 128.000.000,00
Pajak penghasilan yang terutang :
  - 5% X Rp.60.000.000,00 Rp.   3.000.000,00
    15% X Rp. 68.000.000,00 Rp. 10.200.000,00
    Jumlah Rp. 13.200.000,00
       
  Catatan :
  1. Angka 50% untuk usaha kantor akuntan publik, lihat kode 69200
  2. Angka 50% untuk, lihat kode 69100
  3.  Istri tidak punya penghasilan.
       
B. Wajib Pajak Tuan B yang berstatus kawin dan mempunyai 3 (tiga) orang anak memiliki profesi sebagai actor di Jakarta dengan peredaran usaha selama Tahun Pajak 2023 sebesar Rp 1 Miliar. Selain itu, Tuan B juga berprofesi sebagai pengacara dengan menjalankan usaha kantor hukum di Yogyakarta. Peredaran bruto dari usaha kantor hukum selama tahun pajak 2023 sebesar Rp 500 juta. Istri Tuan B tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan. Tuan B telah menyampaikan pemberitahuan mengenai penggunaan norma penghitungan kepada DJP 3 bulan sejak awal Tahun Pajak 2023. Karena penghasilan yang diperoleh Tuan B dari profesinya sebagai actor dan dari usaha kantor hukum selama tahun 2023 tidak melebihi 4,8 Miliar, maka Tuan B boleh menghitung penghasilan netto dari kedua usahanya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Penghitungan Pajak Penghasilan Tuan B yang terutang pada tahun pajak 2023 adalah sebagai berikut:
Persentase penghasilan neto untuk profesi actor di kota Jakarta adalah sesuai dengan norma KLU 90002 untuk 10 ibukota provinsi yaitu sebesar 50%, sedangkan untuk kantor hukum di Kota Yogyakarta adalah sesuai norma KLU 69100 untuk kota provinsi lainnya yaitu sebesar 50%.

50% X Rp.  1.000.000.000,00 Rp. 500.000.000,00
Penghasilan neto dari usaha kantor hukum  
50% X Rp. 500.000.000,00 Rp. 250.000.000,00
Jumlah penghasilan neto Rp. 750.000.000,00
PTKP (K/3) Rp. 72.000.000,00
PKP Rp. 678.000.000,00
PPh Terutang Rp. 147.400.000,00

surat pemberitahuan penggunaan norma penghitungan penghasilan netto

 
Usaha Dagang Asing

Norma penghitungan yang ditetapkan bagi wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia
(634/KMK.04/1994 jo KEP-667/PJ./2001)


Penghasilan neto bagi wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.

Pengertian nilai ekspor bruto
(634/KMK.04/1994 jo KEP-667/PJ./2001)


Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diperoleh wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat tinggal/berkedudukan di Indonesia.

Perlakuan pajak penghasilan terhadap kantor perwakilan dagang di Indonesia
(634/KMK.04/1994 jo KEP-667/PJ./2001 jo SE-2/PJ.03/2008)


Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto dan bersifat final, dengan rincian sebgai berikut :

PPh atas penghasilan kena pajak terutang :     30% x 1% =           0.30% 
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi :     20% x (1-0,3)% =           0,14%
pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap
(branch profit tax/BPT) (tarif 20%)
   
Total    =           0,44%

Untuk KPD dari negara-negara mitra P3B dengan Indonesia, maka besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif BPT dari suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait.

Pengadministrasian wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia di Kantor Pelayanan Pajak
(KEP-667/PJ./2001)


Pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dan pengadministrasiannya di Kantor Pelayanan Pajak dilakukan sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia wajib membayar Pajak Penghasilan yang terutang dalam suatu masa Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 (lima belas) bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan satu Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
  2. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia wajib melaporkan pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 (duapuluh) bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan bentuk yang telah ditentukan dan dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final.
  3. Lembar ke-3 SSP yang telah dilaporkan wajib pajak pada Kantor Pelayanan Pajak diadministrasikan pada seksi PPh Badan.
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)

Cara menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 16 ayat (1), ayat (2) & Penjelasan)


Ada 2 (dua) cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yaitu :

1. Penghitungan dengan cara umum

Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan (Pasal 4 ayat (1) UU PPh) dengan pengurangan-pengurangan (Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d dan huruf e UU PPh).
   
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan normal dengan contoh sebagai berikut :

- Peredaran bruto   Rp 300.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan   Rp 255.000.000,00 (-)
- Laba usaha (penghasilan netto usaha )    Rp  95.000.000,00
- Penghasilan lainnya Rp    5.000.000,00  
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan lainnya tersebut
Rp    3.000.000,00 (-)
 
      Rp    2.000.000,00  (+)
  Jumlah seluruh penghasilan netto   Rp  97.000.000,00
- Kompensasi kerugian   Rp    2.000.000,00  (-)
- Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan)   Rp  95.000.000,00
- Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (Menikah)  
Rp  58.500.000,00  (-)
- Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi)  

Rp    36.500.000,00

==============

   
2. Penghitungan dengan menggunakan norma penghitungan

Penghasilan Kena Pajak bagi orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU PPh No. 36 Tahun 2008, dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang diperbolehkan untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengan contoh sebagai berikut:

-   Peredaran bruto Rp 300.000.000,00
-   Penghasilan netto (menurut Norma Penghitungan) misalnya 20 % Rp   60.000.000,00
-   Penghasilan netto lainnya Rp     5.000.000,00
-   Jumlah seluruh penghasilan netto Rp   65.000.000,00
-   Penghasilan Tidak Kena Pajak (Menikah)  Rp   58.500.000,00 (-)
    Penghasilan Kena Pajak Rp  6.500.000,00
===============
===============
Dividen Terselubung & Saham Bonus

Perlakuan PPh terhadap Dividen Terselubung
(Penjelasan UU Pajak Penghasilan Pasal 4 (1))


Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran.

Apabila terjadi hal demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

Perlakuan PPh terhadap saham bonus
(Penjelasan UU Pajak Penghasilan Pasal 4 (1), PP Nomor 94 Tahun 2010)


Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang saham yang menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.

Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus) yang diperoleh/dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Cipta Kerja.
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Fasilitas PPh Ditanggung Pemerintah
(PP 29 Tahun 2020, 226/PMK.03/2021) 


Tambahan Pengurangan Penghasilan Neto

Kepada Wajib Pajak dalam negeri yang memproduksi Alat Kesehatan dan/atau PKRT untuk keperluan penanganan COVID-19 di Indonesia dapat diberikan tambahan pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari biaya yang dikeluarkan yang berlaku ketentuan berikut:
  1. dihitung dari biaya untuk memproduksi Alat Kesehatan dan/atau PKRT yang diperlukan dalam rangka penanganan COVID-19; dan
  2. dibebankan sekaligus pada Tahun Pajak saat biaya sebagaimana dimaksud dalam huruf a dikeluarkan.
Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud meliputi:
  1. masker bedah dan respirator N95;
  2. pakaian pelindung diri berupa coverall medis, gaun sekali pakai, heavy duty apron, cap, shoe cover, goggles, faceshield, dan waterproof boot;
  3. sarung tangan bedah;
  4. sarung tangan pemeriksaan;
  5. ventilator; dan
  6. reagen diagnostic test untuk COVID 19.
PKRT sebagaimana dimaksud meliputi:
  1. antiseptic hand sanitizer, dan
  2. disinfektan.
Sumbangan Yang Dapat Menjadi Pengurang Penghasilan Bruto

Sumbangan dalam rangka penanganan COVID-19 di Indonesia yang disampaikan oleh Wajib Pajak kepada penyelenggara pengumpulan sumbangan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
  1. didukung oleh bukti penerimaan sumbangan; dan
  2. diterima oleh penyelenggara pengumpulan sumbangan yang memiliki NPWP
Sumbangan yang dimaksud disampaikan oleh Wajib Pajak kepada penyelenggara pengumpulan sumbangan meliputi:
a. BNPB;
b. BPBD;
c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial; atau
e. Lembaga Penyelenggara Pengumpulan Sumbangan,
Sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebesar nilai sumbangan yang sesungguhnya dikeluarkan.

Sumbangan dalam rangka penanganan COVID-19 yang telah dikurangkan sebagai pengurang penghasilan bruto berdasarkan PP No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, tidak dapat dikurangkan sebagai pengurang penghasilan bruto fasilitas ini.

Tambahan Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Sumber Daya Manusia Di Bidang Kesehatan

Kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang:
a. menjadi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan meliputi tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung kesehatan; dan
b. mendapat penugasan,
yang memberikan pelayanan kesehatan untuk menangani COVID-19 pada fasilitas pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan, termasuk santunan dari Pemerintah yang diterima ahli waris merupakan objek Pajak Penghasilan diberikan tambahan penghasilan dari Pemerintah berupa honorarium atau imbalan lain yang diterima atau diperoleh.

Tambahan penghasilan dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final dipotong oleh Pemerintah sebagai pemberi penghasilan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Ketentuan pemotongan Pajak Penghasilan Final berlaku juga terhadap Wajib Pajak yang dimaksud merupakan Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pensiunannya.

Penghasilan Berupa Kompensasi Atau Penggantian atas Penggunaan Harta

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari Pemerintah berupa kompensasi atau penggantian dengan nama dan dalam bentuk apapun dari:
a. persewaan harta berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pajak Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan; dan/atau
b. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dalam rangka penanganan COVID-19 merupakan objek Pajak Penghasilan diberikan fasilitas berupa dikenai pajak yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen).

Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipotong oleh Pemerintah sebagai pemberi penghasilan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. jatuh tempo pembayaran,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Pembelian Kembali Saham Yang Diperjualbelikan Di Bursa

Wajib Pajak dalam negeri:
a. berbentuk Perseroan Terbuka;
b. dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% (empat puluh persen); dan
c. memenuhi persyaratan tertentu,
dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah dari tarif PPh Badan.

Pembelian/Impor Barang tertentu dalam Rangka Penanganan COVID-19 (226/PMK.03/2021) 

Pihak Tertentu yang melakukan impor dan/atau pembelian barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 diberikan:
  1. pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  2. pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22.
Pihak Ketiga yang melakukan penjualan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 kepada Pihak Tertentu diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22.

Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat yang melakukan pembelian bahan baku untuk memproduksi vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19, diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22.

Barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19, meliputi:
  1. obat-obatan;
  2. vaksin dan peralatan pendukung vaksinasi;
  3. peralatan laboratorium;
  4. peralatan pendeteksi;
  5. peralatan pelindung diri; dan/atau
  6. peralatan untuk perawatan pasien.
Fasilitas sebagaimana yang dijelaskan diatas diberikan dalam jangka waktu tertentu.
Penghasilan Wanita Kawin

Perlakuan Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin
(UU Pajak Penghasilan Pasal 8)


Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenakan pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa :
  1. Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja.
  2. Penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:

Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.

Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp 70.000.000,00 + Rp 80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp 250.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 + Rp 70.000.000,00 + Rp 80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Perlakuan pajak bagi wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah dari suami
(UU Pajak Penghasilan Pasal 8 (2) & (3))


Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila :
  1. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
  2. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
  3. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.

Contoh:
Bang Pepeh dan istrinya diketahui memiliki 3 orang anak (K/3) serta masing-masing suami-istri memiliki NPWP yang berbeda. Selama tahun 2023, Bang Pepeh hanya menerima penghasilan dari PT A, begitu juga dengan Istri Bang Pepah hanya menerima penghasilan dari PT B dengan rincian sebagai berikut :
  • Penghasilan Neto Suami dari PT A sebesar Rp 1.200.000.000 (telah dipotong PPh 21 sebesar Rp 282.400.000)
  • Penghasilan Neto Istri dari PT B sebesar Rp 840.000.000 (telah dipotong PPh 21 sebesar Rp 174.400.000)
Dengan adanya perbedaan NPWP baik bagi suami maupun istri (Status MT), maka berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 36/PJ/2015 atas penghasilan suami maupun istri tersebut harus dilakukan penghitungan kembali. Berikut ini contoh penghitungan kembali secara proporsional :

Penghasilan Neto Suami = Rp  1.200.000.000
Penghasilan Neto Istri = Rp     840.000.000 +
Total Penghasilan Neto =  Rp 2.040.000.000
PTKP (K/I/3) =  Rp    126.000.000

Penghasilan Kena Pajak     =  Rp 1.914.000.000

PPh Terutang Gabungan (Suami & Istri) :
5%      X          60.000.000 =  Rp     3.000.000
15%    X        190.000.000 =  Rp   28.500.000
25%    X        250.000.000 =  Rp   62.500.000
30%    X     1.414.000.000 =  Rp  424.200.000 +

Jumlah PPh Terutang Gabungan (Suami & Istri)        Rp 519.200.000

Setelah dilakukan penghitungan kembali secara proporsional, berikut ini jumlah PPh terhutang bagi masing-masing suami-istri yang harus dilaporkan di dalam SPT Induk :

Penghasilan Neto Suami/Istri      X     PPh Terutang Gabungan (Suami & Istri) :        
    Total Penghasilan Neto                

- Suami  : Rp1.200.000.000 x Rp 518.200.000 = Rp304.823.529
    Rp2.040.000.000    
         
- Isteri     : Rp   840.000.000 x Rp518.200.000 = Rp213.376.471
    Rp2.040.000.000    
 
Selanjutnya untuk menghitung jumlah PPh Kurang Bayar/(Lebih Bayar) bagi masing-masing suami-istri, maka jumlah PPh terhutang diatas terlebih dahulu mengkredtikan jumlah PPh 21 yang telah dipotong oleh masing-masing tempat suami-istri bekerja :
- SPT Induk Suami :  
  PPh Terutang Rp 304.823.529
  Kredit Pajak (PPh 21) Rp 282.400.000 -
  PPh Kurang/(Lebih) Bayar Rp   22.423.529
     
- SPT Induk Istri :  
  PPh Terutang Rp213.376.471
  Kredit Pajak (PPh 21) Rp174.400.000 -
  PPh Kurang/(Lebih) Bayar Rp  38.976.471
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Internasional

Pengertian Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
(417/KMK.04/1996, SE-32/PJ.4/1996)


Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan adalah Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang bertempat kedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Peredaran bruto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
(417/KMK.04/1996, SE - 32/PJ.4/1996)


Yang dimaksud dengan peredaran bruto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Internasional adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Dengan demikian tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.

Berapa besarnya perkiraan penghasilan neto yang ditetapkan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (417/KMK.04/1996, SE-32/PJ.4/1996)

Besarnya Norma Penghitungan neto bagi Wajib Pajak perusahaan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Internasional adalah sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto.

Pajak penghasilan yang ditetapkan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
(417/KMK.04/1996, SE-32/PJ.4/1996)


Besarnya Pajak Penghasilan bagi perusahaan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Internasional adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto dan bersifat final, dengan perhitungan sbb :

PPh :     30% x 6% = 1,8%
PPh Pasal 26 :     20% x (30% x 6%) = 0,84%
Jumlah PPh :     1,8% + 0,84% = 2,64%

Tata cara pelunasan PPh yang terutang bagi Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
(SE-32/PJ.4/1996)


a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang membayar atau pihak yang mencharter wajib :
  - memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan/nilai pengganti.
  - Memberikan Bukti pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri (final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dengan menggunakan bentuk yang telah dilakukan.
  - menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
  - melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran II, dilampiri dengan Lembar  ke-3 SSP dan lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (final).
     
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar Negeri Wajib:
  - menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final.
  - melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan bentuk yang telah ditentukan, dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final.

Perlakuan PPh bagi Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri yang menggunakan agen
(SE - 10/PJ.43/1999)


Dalam hal jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri dilakukan dengan menggunakan sistem q.q, maka bukti pemotongan PPh final atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri juga harus dilakukan dengan menggunakan sistem q.q, yaitu dengan cara memakai nama agen q.q perusahaan pelayaran dan dengan mencantumkan alamat perusahaan pelayaran. Selanjutnya, pada kotak NPWP ditulis NPWP perusahaan pelayaran dan dibawahnya ditulis NPWP agen.

Jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri yang dilakukan dengan menggunakan sistem q.q, dalam pelaksanaannya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Pemberi hasil adalah pihak yang mencharter kapal;
- Penerima hasil adalah Wajib Pajak perusahaan pelayaran luar negeri yang memperoleh imbalan atau nilai pengganti sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang berdasarkan perjanjian charter (termasuk awak kapal);
- Agen adalah pihak yang menerima pembayaran yang dalam hal ini hanya bertindak sebagai perantara, dengan memperoleh imbalan berupa komisi dari perusahaan pelayaran. Hal ini harus jelas disebutkan dalam kontraknya.

Perusahaan pelayaran wajib memotong dan menyetor PPh Pasal 23 atas imbalan berupa komisi jasa perantara yang dibayarkan kepada agen sebesar 15% x 30% atau 4,5% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
Asuransi Luar Negeri

Perlakuan pajak penghasilan Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri
(624/KMK.04/1994)


Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

Perkiraan penghasilan neto yang ditetapkan Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri
(624/KMK.04/1994, SE-25/PJ.4/1995)


a. atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
b. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
c. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.

Besarnya perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi luar negeri serta tarif efektif PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut :
No. Pembayar Premi di Indonesia Perkiraan
Penghasilan Neto
dari jumlah premi yang dibayar
Tarif efektif
PPh Pasal 26
dari jumlah premi yang dibayar
1 Tertanggung 50% 10%
2 Perusahaan Asuransi  10% 2%
3 Perusahaan Reasuransi 5% 1%

Contoh :

a. Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor, PT A, mengasuransikan bangunan bertingkat langsung ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi selama tahun 1995 sebesar Rp. 1 milyar.
besarnya perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi luar negeri adalah :
50% x Rp 1 milyar =    Rp. 500.000.000,00.
Besarnya PPh Pasal 26 yang harus dipotong oleh PT A selama tahun 1995 adalah :
20% x Rp. 500.000.000,00 = Rp. 100.000.000,00 (10% x Rp. 1 milyar).
   
b.  Jika PT A mengasuransikan kepada perusahaan asuransi di dalam negeri, PT B, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp. 1 milyar, dan kemudian PT.B mere-asuransikan sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp. 500 juta
besarnya perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi di luar negeri adalah :
10% x Rp. 500 juta = Rp. 50.000.000,00 dan
PPh Pasal 26 yang wajib dipotong oleh PT B adalah :
20% x Rp. 50 juta = Rp. 10.000.000,00 (2% x Rp. 500.000.000,00).

Kewajiban melakukan pemotongan PPh Pasal 26
(SE - 25/PJ.4/1995)


a. Tertanggung yaitu pemegang polis yang membayar premi asuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri; atau
b. Perusahaan asuransi di Indonesia yang mereasuransikan sebagian atau seluruh tanggungannya kepada perusahaan asuransi di luar negeri; atau
c. Perusahaan reasuransi di Indonesia yang mereasuransikan kembali sebagian atau seluruh tanggungannya kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Saat terutangnya PPh Pasal 26
(624/KMK.04/1994)


PPh 26 atas penghasilan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut.

Saat penyetoran PPh Pasal 26
(624/KMK.04/1994, SE - 25/PJ.4/1995)


Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 dilakukan oleh pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

Pemotong pajak wajib membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, dalam rangkap 3 (tiga) :
- Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
- Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar;
- Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak.

Saat pelaporan PPh Pasal 26
(624/KMK.04/1994, SE - 25/PJ.4/1995)


Pemotong pajak wajib melaporkan pemotongan serta penyetoran PPh Pasal 26 yang telah dilakukan selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 26 dengan melampirkan :
a. Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 26;
b. Lembar kedua Bukti Pemotongan PPh Pasal 26;
c. Lembar ketiga Surat Setoran Pajak (SSP).
Pengertian

Pengertian Penghasilan Kena Pajak
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Penjelasan Pasal 16)


Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari pengurangan antara penghasilan bruto dengan pengurang penghasilan bruto.

Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 Tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2020 Tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka.
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Dividen Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
  13. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 123/PMK.03/2020 Tentang Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Laporan serta Daftar Wajib Pajak Dalam Rangka Pemenuhan Persyaratan Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi.
  15. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 15/PJ/2014 tentang Penggunaan Stempel Tanda Tangan Pada Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Pembayaran Dividen Kepada Para Pemegang Saham.
  16. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 08/PJ/2020 Tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Untuk Tahun Pajak Berjalan Sehubungan Dengan Penyesuaian Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
  17. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 66/PJ/2010 tentang Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  18. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 02/PJ/2015 tentang Penegasan atas pelaksanaan pasal 31E ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983  tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008.
  19. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 46/PJ/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Wajib Pajak Luar Negeri

Cara menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Luar Negeri
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 16 (3) & Penjelasan)


Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d dan huruf e UU PPh.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak badan dalam negeri. Oleh karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.

Contoh :

- Peredaran bruto   Rp 400.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan 
 
Rp 275.000.000,00
      ---------------------- (-)
      Rp 125.000.000,00
- Penghasilan bunga   Rp     5.000.000,00
- Penjualan langsung barang oleh kantor pusat yang
sejenis dengan barang yang dijual bentuk
usaha tetap


Rp 200.000.000,00
 
- Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan

Rp 150.000.000,00
 
    ---------------------- (-)  
      Rp    50.000.000,00
- Deviden yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk
usaha tetap
 

Rp      2.000.000,00
      ----------------------- (+)
      Rp   182.000.000,00
- Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3)    Rp       7.000.000,00
      ------------------------ (-)
- Penghasilan Kena Pajak   Rp   175.000.000,00
================
Pengertian

Pengertian Norma Penghitungan Khusus
(Penjelasan UU Pajak Penghasilan Pasal 14 (1))


Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.

Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
  1. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
  2. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.

Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Yang diizinkan untuk menggunakan Norma Penghitungan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 14 (2))

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 Tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional Dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan   
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.010/2020 Tentang Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 43/PJ/2011 tentang Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 28/PJ/2018 Tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE - 26/PJ.42/1999 Tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Partai Politik
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE - 89/PJ/2010 Tentang Tata Cara Penerbitan/Pengesahan Dan Pemanfaatan Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
  8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE - 22/PJ/2022 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengenaan Pajak Penghasilan Bagi Perseroan Perorangan
Orang Pribadi Dalam Bagian Tahun Pajak

Cara menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 16 ayat (4) & Penjelasan)


Penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.

Contoh :
Misalnya orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp 15.000.000,00 maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut :

Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 15.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar :
         360    x   Rp 15.000.000,00
       3 x 30

Rp 60.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 54.000.000,00
  ------------------------ (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp   6.000.000,00
================

Cara menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 16 ayat (4), Pasal 17 ayat (5,6) & Penjelasan)


Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak, dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. Untuk keperluan penghitungan pajak, tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.

Contoh:
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp584.160.000,00 (lima ratus delapan puluh empat juta seratus enam puluh ribu rupiah).

Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp60.000.000,00
15% x Rp190.000.000,00
25% x Rp250.000.000,00
30%x Rp84.160.000,00
=    Rp 3.000.000,00
=    Rp 28.500.000,00
=    Rp 62.500.000,00
=    Rp 25.248.000,00 (+)
=    Rp 119.248.000,000

Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun Pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp119.248.000,00= Rp29.812.000,00
Penurunan Tarif

Penurunan tarif terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 (2) & penjelasan)


Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi 30% yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen).

Perubahan tarif tersebut akan diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Penurunan tarif terhadap Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT
(UU Nomor 2 Tahun 2020 Pasal 5 (1))


Tarif yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri dan BUT sebesar 25% turun menjadi 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021, dan turun menjadi 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2020.

Perubahan tarif terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 17 (1) huruf a) 


Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) 5% (lima persen)
di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 15% (lima belas persen)
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 25% (dua puluh lima persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 30% (tiga puluh persen)
di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 35% (tiga puluh lima persen)

Perubahan tarif terhadap Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT
((UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 17 (1) huruf b) 


Tarif yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang mulai berlaku pada tahun pajak 2022
Penentuan Besarnya PTKP

Penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Orang Pribadi
(Surat Dirjen Pajak Nomor S-112/PJ.41/1995)


Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, Penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri sendiri, tambahan untuk yang kawin, dan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang.

Waktu penentuan besarnya PTKP
(Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Pajak Penghasilan)


Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.

Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2011 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir tanggal 2 Januari 2011, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2011 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

Yang dimaksud hubungan keluarga sedarah dan semenda adalah :
(Surat Dirjen Pajak Nomor S-112/PJ.41/1995)


a. Sedarah - lurus satu derajat : Ayah, ibu, anak kandung
    - ke samping satu derajat : Saudara kandung
b. Semenda - lurus satu derajat : Mertua, anak tiri
    - ke samping satu derajat : Saudara Ipar

Dengan demikian maka termasuk tidak mendapat tambahan pengurangan PTKP adalah :
- Saudara kandung, karena termasuk dalam pengertian keluarga sedarah kesamping satu derajat; 
- Saudara ipar, karena termasuk dalam pengertian keluarga semenda kesamping satu derajat;
- Saudara dari bapak/ibu, karena tidak termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus.

Yang dimaksud dengan anak angkat
(Surat Dirjen Pajak Nomor S-112/PJ.41/1995)


Anak angkat yang dimaksud adalah seseorang yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  • seseorang yang belum dewasa;
  • yang tidak tergolong keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus dari Wajib Pajak;
  • dan menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak.
Pengertian menjadi tanggungan sepenuhnya menurut Undang-undang Pajak Penghasilan berdasarkan keadaan yang dapat terlihat dari keadaan yang nyata yaitu :
  1. tinggal bersama-sama dengan Wajib Pajak;
  2. nampak secara nyata tidak mempunyai penghasilan sendiri;
  3. tidak pula turut dibantu oleh lain-lain anggota keluarga atau oleh orang tuanya sendiri.
Sedangkan kalau Wajib Pajak sekedar menyumbang, membantu, bertanggung jawab dan sebagainya, tidak termasuk dalam menjadi tanggungan sepenuhnya.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 Tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 Tentang Tarif Pemotongan Dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedelapan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2016 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja Dengan Kriteria Tertentu.
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Program Jaminan Sosial Yang Diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Peneyesuain Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi.
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.03/2008 Tentang Bantuan Atau Santunan Yang Dibayarkan Oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kepada Wajib Pajak Tertentu Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan.
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, Dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.011/2011 Tentang Batasan Maksimum Biaya Remunerasi Tenaga Kerja Asing Untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak Dan Gas Bumi.
  15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
  16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pelaporan Dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja Dengan Kriteria Tertentu.
  17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi.
  18. Keputusan Direktur Jenderal Pajak  Nomor KEP - 173/PJ./2002 Tentang Pedoman Standar Gaji Karyawan Asing.
  19. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 2/PJ/2024 Tentang Bentuk Dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, Dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
  20. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 16/PJ.44/1992 Tentang Pembagian Bonus, Gratifikasi, Jasa Produksi Dan Tantiem.
  21. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 15/PJ.41/1993 Tentang Penjelasan Biaya Jabatan Untuk Pegawai Tetap Yang Berkerja Pada Dua Pemberi Kerja Atau Lebih.
  22. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 56/PJ.42/1999 Tentang Perlakuan PPh Pasal 21 Atas Pemberian Hadiah Saham Kepada Pegawai.
  23. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 02/PJ.03/2007 Tentang Penegasan Pemotongan PPh Pasal 21 Pimpinan Dan Anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota Dan Anggota Kepanitiaan Sehubungan Dengan Pemilihan Umum Atau Pemilihan Kepala Daerah.
  24. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 37/PJ.13/2014 Tentang Pemberitahuan Ralat Dan Distribusi II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 14/PJ/2013.
Tarif Pajak

Tarif PPh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 17 (1) huruf a & Penjelasan)


Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) 5% (lima persen)
di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 15% (lima belas persen)
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 25% (dua puluh lima persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 30% (tiga puluh persen)
di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 35% (tiga puluh lima persen)

Contoh :
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:

5% x Rp60.000.000,00 =    Rp      3.000.000,00
15% x Rp190.000.000,00 =    Rp    28.500.000,00
25% x Rp250.000.000,00 =    Rp    62.500.000,00
30% x Rp4.500.000.000,00 =    Rp    1.350.000.000,00
35% x Rp1.000.000.000,00 =    Rp    350.000.000,00 
  --------------------------- (+)
        Rp 1.794.000.000,00

Tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 17 (1) huruf b & penjelasan)


Tarif yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang mulai berlaku pada tahun pajak 2022

Contoh:

Penghasilan Kena Pajak PT A pada tahun pajak 2022 sebesar Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak 2022:
22% x Rp1.500.000.000,00 = Rp330.000.000,00.

Tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 17 (2), dan PMK Nomor 40 Tahun 2023)


Bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah daripada tarif normal, dengan syarat sebagai berikut:
a. berbentuk perseroan terbuka;
b. dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% (empat puluh persen); dan
c. memenuhi persyaratan tertentu, meliputi:
- saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia harus dimiliki oleh paling sedikit 300 (tiga ratus) Pihak;
- masing-masing Pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
- harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak; dan
- pemenuhan persyaratan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak Perseroan Terbuka dengan menyampaikan laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
   
Tarif PPh Dividen Wajib Pajak Orang Pribadi
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 17 (2c) dan PP No. 19 tahun 2009)


Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak diinvestasikan dalam bentuk instrument yang diatur oleh peraturan perpajakan) adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final

Tarif PPh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu
(PP No. 55 Tahun 2022 dan 99/PMK.03/2018 )


Tarif PPh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dalam jangka waktu tertentu yang dikenakan atas:

- Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dengan jangka waktu tertentu yaitu paling lama:
  1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan
  3. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
     
- Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai berikut:
  a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  b. penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
  c. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Pemotong PPh

Pemotong pajak
(PMK – 168 Tahun 2023)

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan wajib dilakukan oleh :
  1. pemberi kerja yaitu orang pribadi dan Badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan;
  2. Instansi Pemerintah, termasuk lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, kesekretariatan lembaga nonstruktural, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
  3. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua, dan/atau pembayaran lain dengan nama apapun yang terkait dengan program pensiun, yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. orang pribadi dan Badan, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan Pekerjaan Bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya; dan
  5. Penyelenggara Kegiatan, termasuk Badan, Instansi Pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun berkenaan dengan suatu kegiatan.
Bukan merupakan pemotong pajak
(PMK – 168 Tahun 2023)

Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud, meliputi:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. organisasi internasional:
1. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan syarat:
a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; dan
2. yang diatur khusus berdasarkan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam peraturan Menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan perlakuan pajak penghasilan yang didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian internasional,yang telah ditetapkan oleh Menteri; dan
c. orang pribadi yang:   
1. tidak melakukan kegiatan usaha atau Pekerjaan Bebas; atau
2. melakukan kegiatan usaha atau Pekerjaan Bebas dan mempekerjakan orang pribadi yang:
a) semata-mata melakukan pekerjaan rumah tangga; atau
b) melakukan pekerjaan atau jasa yang tidak terkait dengan kegiatan usaha atau Pekerjaan Bebas pemberi kerja.

(649/KMK.04/1994 jo SE-13/PJ.4/1995)

1. kantor perwakilan negara asing;
2. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penetapan organisasi-organisasi internasional yang tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan
3. organisasi-organisasi internasional yang ketentuan Pajak Penghasilannya didasarkan pada ketentuan perjanjian internasional dan dalam perjanjian internasional tersebut mengecualikan kewajiban pemotongan pajak, serta organisasi-organisasi dimaksud telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
4. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Organisasi Internasional yang Tidak berkewajiban memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud butir 2 di atas adalah, berdasarkan PMK No. 166/PMK.011/2012, Organisasi-organisasi internasional tersebut adalah :

I. Badan-badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa:
  1. ADB (Asian Development Bank)
  2. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
  3. IFC (International Finance Corporation)
  4. IMF (International Monetary Fund)
  5. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:
a. IAEA (International Atomic Energy Agency)
b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e. UPU (Universal Postal Union)
f. WMO (World Meteorological Organization)
g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h. UNEP (United Nations Environment Programme)
i. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
l. WFP (World Food Programme)
m. IMO (International Maritime Organization)
n. WIPO (World Intellectual Property Organization)
o. IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p. WTO (World Trade Organization)
q. WTO (World Tourism Organization)
  6. FAO (Food and Agricultural Organization)
  7. ILO (International Labour Organization)
  8. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
  9. UNIC (United Nations Information Centre)
  10. UNICEF (United Nations Children's Fund)
  11. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
  12. WHO (World Health Organization)
  13. World Bank
     
II. Kerjasama Teknik:
  1. Kerjasama Teknik Australia - Republik Indonesia (Australia-Indonesia Partnership)
  2. Kerjasama Teknik Canada - Republik Indonesia
  3. Kerjasama Teknik India - Republik Indonesia
  4. Kerjasama Teknik Inggris - Republik Indonesia
  5. Kerjasama Teknik Jepang - Republik Indonesia
  6. Kerjasama Teknik New Zealand - Republik Indonesia
  7. Kerjasama Teknik Negeri Belanda - Republik Indonesia
  8. Kerjasama Teknik Rusia - Republik Indonesia
  9. Kerjasama Teknik Jerman - Republik Indonesia
  10. Kerjasama Teknik Perancis - Republik Indonesia
  11. Kerjasama Teknik Negeri Polandia - Republik Indonesia
  12. Kerjasama Teknik Amerika Serikat - Republik Indonesia (USAID: United States Agency for International Development)
  13. Kerjasama Teknik Swiss - Republik Indonesia
  14. Kerjasama Teknik Italia - Republik Indonesia
  15. Kerjasama Teknik Belgia - Republik Indonesia
  16. Kerjasama Teknik Denmark - Republik Indonesia
  17. Kerjasama Teknik Korea - Republik Indonesia
  18. Kerjasama Teknik Finlandia - Republik Indonesia
  19. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Malaysia - Republik Indonesia
  20. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Singapura - Republik Indonesia
  21. Kerjasama Ekonomi, Perdagangan dan Teknik RRC - Republik Indonesia
  22. Kerjasama Ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknik Vietnam - Republik Indonesia
  23. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Thailand - Republik Indonesia
  24. Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknik Meksiko - Republik Indonesia
  25. Kerjasama Teknik Kerajaan Arab Saudi - Republik Indonesia
  26. Kerjasama Teknik Iran - Republik Indonesia
  27. Kerjasama Teknik Pakistan - Republik Indonesia
  28. Kerjasama Teknik Philippine - Republik Indonesia
     
III. Kerjasama Kebudayaan :
  1. Kerjasama Kebudayaan Belanda - Republik Indonesia
  2. Kerjasama Kebudayaan Jepang - Republik Indonesia
  3. Kerjasama Kebudayaan Mesir/RPA - Republik Indonesia
  4. Kerjasama Kebudayaan Austria - Republik Indonesia
     
IV. Organisasi -Organisasi Internasional Lainnya :
  1. Asean Secretariat
  2. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
  3. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
  4. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
  5. Plan International Inc.
  6. PCI (Project Concern International)
  7. IDRC (The International Development Research Centre)
  8. Kerjasama Teknik di bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA-Republik Indonesia
  9. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
  10. The Commission of The European Communities
  11.  OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement International)
  12. World Relief Cooperation
  13. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
  14. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
  15. IPC (The International Pepper Community)
  16. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
  17. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
  18. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
  19. CIP (The International Potato Centre)  
  20. ICRC (The International Committee of Red Cross)
  21. Terre Des Hommes Netherlands
  22. Wetlands International
  23. HKI (Helen Keller International, Inc.)
  24. Taipei Economic and Trade Office
  25. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
  26. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
  27. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
  28. Save the Children-US dan Save the Children-UK
  29.  CIFOR (The Center for International Forestry Research)
  30. Islamic Development Bank
  31. Kyoto University-Jepang
  32.  ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
  33. Swisscontact-Swiss Foundation for Technical Cooperation
  34.  Winrock International
  35. Stichting Tropenbos
  36. The Moslem World League (Rabithah)
  37. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
  38. HSF (Hans Seidel Foundation)
  39. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
  40. WCS (The Wildlife Conservation Society)
  41. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
  42. ASEAN Foundation
  43. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
  44. IMC (International Medical Corps)
  45. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der Tuberculosis)
  46. Asia Foundation
  47. The British Council
  48. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
  49. CCF (Christian Children's Fund)
  50. dihapus
  51. CWS (Church World Service)
  52. The Ford Foundation
  53. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
  54. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
  55. IRRI (International Rice Research Institute)
  56. Leprosy Mission
  57. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
  58. WE (World Education, Incorporated, USA)
  59. JICA (Japan International Cooperations Agency)
  60. JBIC (Japan Bank for International Cooperation)  
  61. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
  62. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)  
  63. JETRO (Japan External Trade Organization)
  64. IFRC (International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies)
  65. ICD (Islamic Corporation for Development of the Private Sector)
Bagian Tahun Buku

Cara menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku
(PP Nomor 94 Tahun 2010)


Apabila wajib pajak melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak, maka penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru harus dilaporkan dengan Surat Pemberitahuan tersendiri dengan melampirkan neraca dan laporan laba rugi.
Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan

Perlakuan Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
(520/KMK.04/2000 jo 138/KMK.03/2002, KEP-220/PJ/2002 jo SE-09/PJ.42/2002)


- Biaya perolehan atau pembelian ponsel yang di miliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva kelompok I.
- Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan ponsel tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).
- Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II.
- Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).
- Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II.
- Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya rutin perusahaan.
- Atas penghasilan wajib pajak yang telah dikenakan PPh Final atau berdasarkan norma penghitungan khusus, maka pembebanan biaya-biaya tersebut sudah termasuk dalam penghitungan PPh Final atau berdasarkan norma penghitungan khusus.
- Biaya-biaya tersebut bukan penghasilan bagi pegawai yang menerimanya
Namun setelah terbitnya PMK 66/2023, pengaturan terkait dengan fasilitas telepon seluler dan kendaraan menjadi dapat dibebankan sebagai biaya secara penuh per fiscal sepanjang berhubungan dengan kegiatan usaha.
Perubahan lapisan Penghasilan Kena Pajak
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 (3) & penjelasan)

Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dapat diubah dengan Keputusan menteri Keuangan, yaitu akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian (misalnya : tingkat inflasi).

Perubahan lapisan Penghasilan Kena Pajak
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 17 (3) & penjelasan)

Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan. Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pembulatan Penghasilan Kena Pajak
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 17 (4) & penjelasan) 

Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.

Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp5.050.000,00.
Pelaporan PPh Pasal 21/26

Pelaporan PPh Pasal 21/26 oleh Pemotong PPh Pasal 21 (Pemberi Kerja)
(UU Pajak Penghasilan, 242/PMK.03/2014)


Pelaporan PPh Pasal 21/26 Masa :

Atas pemotongan PPh Pasal 21/26 yang dilakukan untuk setiap masa pajak (setiap bulan) harus dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21/26 dan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.

Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Objek Pemotongan PPh Pasal 21

Pengertian Objek pemotongan PPh Pasal 21
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 21)

Objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Bagan 1
Konsep PPh Pasal 21
 

Penghasilan yang dikenakan pemotongan pajak
(PMK - 168 Tahun 2023)
 
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pensiunan secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. imbalan kepada anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur;
d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap, yang dapat berupa:
  1. upah harian;
  2. upah mingguan;
  3. upah satuan;
  4. upah borongan; dan
  5. upah yang diterima atau diperoleh secara bulanan;
e. imbalan kepada Bukan Pegawai sebagai imbalan sehubungan dengan Pekerjaan Bebas atau jasa yang dilakukan, yang dapat berupa:
  1. honorarium;
  2. komisi;
  3. fee; dan
  4. imbalan sejenis;
f. imbalan kepada Peserta Kegiatan, yang dapat berupa:
  1. uang saku;
  2. uang representasi;
  3. uang rapat;
  4. honorarium;
  5. hadiah atau penghargaan; dan
  6. imbalan sejenis;
g. uang manfaat pensiun atau penghasilan sejenisnya yang diambil sebagian oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai Pegawai; dan
h. penghasilan atau imbalan yang diterima atau diperoleh Mantan Pegawai, yang dapat berupa:
i. jasa produksi;
  1. tantiem;
  2. gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  3. bonus; dan
  4. imbalan lain yang bersifat tidak teratur.

Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa:
  1. seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya;
  2. bonus, tunjangan hari raya, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur;
  3. imbalan sehubungan dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemberi kerja;
  4. pembayaran iuran jaminan kecelakaan kerja dan iuran jaminan kematian kepada badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan, yang dibayarkan oleh pemberi kerja;
  5. pembayaran iuran jaminan pemeliharaan kesehatan kepada badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan yang dibayarkan oleh pemberi kerja; dan
  6. pembayaran premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja.

Yang tidak dikenakan pemotongan pajak
(PMK - 168 Tahun 2023)

Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tidak termasuk:
  1. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
  2. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan;
  3. iuran terkait program pensiun dan hari tua yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri atau telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, atau badan penyelenggara tunjangan hari tua yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibayar oleh pemberi kerja;
  4. bantuan, sumbangan, zakat, infak, sedekah, dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
  5. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan di antara pihak- pihak yang bersangkutan;
  6. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  7. bagian laba yang diberikan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; dan
  8. pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemerintah.
Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu

Perlakuan Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
(PMK 66 Tahun 2023)

- Daerah tertentu adalah daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut, maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral, termasuk daerah terpencil.
- Prasarana ekonomi meliputi 8 (delapan) jenis sebagai berikut
a. listrik;
b. air bersih;
c. perumahan yang dapat disewa Pegawai;
d. rumah sakit dan/atau poliklinik;
e. sekolah;
f. tempat olahraga dan/atau hiburan yang bersifat permanen;
g. tempat peribadatan; dan
h. pasar.
- Prasarana transportasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi 3 (tiga) jenis sebagai berikut:
a. jalan dan/atau jembatan;
b. pelabuhan atau dermaga laut, pelabuhan atau dermaga sungai, atau pelabuhan udara; dan
c transportasi umum angkutan darat, laut, atau udara.
- Lokasi usaha pemberi kerja yang ditetapkan sebagai daerah tertentu ditentukan oleh ketidaktersediaan atau ketidaklayakan minimal 6 (enam) dari 11 (sebelas) jenis prasarana ekonomi. Ketidaktersediaan atau ketidaklayakan minimal 6 (enam) harus terdapat minimal 1 (satu) jenis prasarana yang tidak tersedia atau tidak layak dari jenis prasarana transportasi umum. Dalam hal prasarana ekonomi dan transportasi umum telah dibangun secara mandiri oleh pemberi kerja maka prasarana ekonomi dan transportasi umum dimaksud diperhitungkan sebagai prasarana yang tidak tersedia dalam penentuan ketidaktersediaan atau ketidaklayakan.
- Natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu meliputi sarana, prasarana, dan/atau fasilitas di lokasi kerja untuk Pegawai dan keluarganya berupa:
a. tempat tinggal, termasuk perumahan;
b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan;
d. peribadatan;
e. pengangkutan; dan/atau
f. olahraga tidak termasuk golf, balap perahu bermotor, pacuan kuda, terbang layang, atau olahraga otomotif,
sepanjang lokasi usaha pemberi kerja mendapatkan penetapan daerah tertentu dari Direktur Jenderal Pajak.
- Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas untuk Pegawai dan keluarganya berupa sarana, prasarana, dan/atau fasilitas yang diselenggarakan oleh:
a. pemberi kerja secara mandiri; dan/atau
b. pihak lain yang bekerja sama dengan pemberi kerja dan pemberi kerja menanggung biaya penyelenggaraan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas dimaksud
- Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas berupa pelayanan kesehatan dan/atau pendidikan untuk Pegawai dan keluarganya yang diselenggarakan pihak lain termasuk sarana, prasarana, dan/atau fasilitas berupa pelayanan kesehatan dan/atau pendidikan yang terletak di wilayah kabupaten atau kota lokasi usaha pemberi kerja dan/atau wilayah kabupaten atau kota yang berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten atau kota lokasi usaha pemberi kerja.
- Sarana, prasarana, dan fasilitas di lokasi kerja untuk Pegawai dan keluarganya berupa pengangkutan meliputi pengangkutan untuk Pegawai dan keluarga dalam melaksanakan penugasan.
- Pengeluaran dalam bentuk natura dan kenikmatan dibebankan sebagai biaya oleh pemberi kerja pada tahun pajak biaya tersebut dibayarkan atau terutang.
- Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pengalihan Dana Pensiun ke Perusahaan Asuransi Jiwa
(16/PMK.03/2010)

Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana  Pensiun membeli anuitas seumur hidup,
  1. Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.
  2. Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
  3. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
  4. Pada saat perusahaan asuransi jiwa membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Penghasilan Kena Pajak BUT

Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak BUT
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 6 (1), KEP - 62/PJ./1995)
  1. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan BUT tersebut di atas (biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan BUT).
  2. Biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dengan usaha/kegiatan BUT (KEP-62/PJ/1995), yaitu:
    • Biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dan dalam rangka menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan.
    • Maksimum sebanding dengan besarnya peredaran usaha BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha perusahaan di seluruh dunia.
    • BUT di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi Kantor Pusat tersebut di atas wajib melampirkan dalam SPT-nya Laporan Keuangan Konsolidasi yang meliputi seluruh usaha/kegiatan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan.
    • Laporan Keuangan Konsolidasi tersebut harus telah diaudit oleh Akuntan Publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan pada masing-masing BUT di negara tempat BUT tesebut berada.
Pembayaran BUT kepada Kantor Pusat yang Tidak Dapat Dibebankan Sebagai Biaya adalah :
  • Royalty atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, patent, atau hak-hak lainnya.
  • Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa-jasa lainnya.
  • Bunga, kecuali berkenaan dengan usaha perbankan.
Dalam hal sebaliknya (pembayaran-pembayaran tersebut di atas diterima oleh BUT dari Kantor Pusatnya), juga bukan merupakan obyek PPh, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan

Penghitungan PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak yang Diperoleh BUT (Branch Profit Tax)
(14/PMK.03/2011)


PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak yang diperoleh BUT yaitu tambahan PPh yang dikenakan atas laba setelah pajak (net income after tax) yang diperoleh BUT sebesar 20% atau sesuai tarif yang berlaku dalam Tax Treaty.

Tambahan PPh atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT tersebut tidak dikenakan apabila laba setelah pajak BUT tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat :
  1. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
  2. Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
  3. Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
  4. Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Dalam hal persyaratan tidak lagi dipenuhi, penghasilan tersebut ditetapkan sebagai Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan atas BUT bersangkutan terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan tersebut dan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan

Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
  2. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, harus memenuhi tambahan persyaratan sebagai berikut:
  1. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
  2. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, harus memenuhi tambahan persyaratan sebagai berikut:
  1. Perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
  2. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
  1. Pembelian aktiva tetap; atau
  2. Investasi berupa aktiva tidak berwujud
Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.

Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.

Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
  1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
  2. Bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.
Dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.

Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.

Saat berproduksi komersial adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.

Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial.

Penetapan saat berproduksi komersial dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.

Apabila jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.

Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan PPh yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh yang bersifat final.

Penentuan BUT menurut P3B yang berkaitan dengan Layanan OTT (Over-The-Top)
(SE - 04/PJ/2017)


Layanan Over-The-Top yang selanjutnya disebut Layanan OTT meliputi Layanan Aplikasi melalui Internet dan/atau Layanan Konten melalui Internet.

Berdasarkan P3B, secara umum penentuan hak pemajakan atas laba usaha SPLN yang berasal dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B adalah berdasarkan keberadaan BUT. Laba usaha yang diterima atau diperoleh dari usaha atau kegiatan oleh SPLN hanya dapat dikenai pajak di Indonesia sepanjang usaha atau kegiatan SPLN tersebut dilakukan melalui BUT di Indonesia.

BUT adalah suatu tempat usaha tetap dimana seluruh atau sebagian usaha dari suatu perusahaan dijalankan. Definisi ini mengandung adanya persyaratan:
  1. Keberadaan suatu tempat usaha (place of business) yang dapat berbentuk tempat (premises), fasilitas (facilities), atau instalasi (installation);
  2. Keberadaan suatu tempat usaha tersebut bersifat tetap (fixed) atau permanen yaitu diselenggarakan di suatu tempat tertentu yang tidak bersifat sementara; dan
  3. Tempat usaha yang bersifat tetap (fixed place of business) tersebut digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Penentuan BUT dalam bentuk server yang berada di Indonesia dapat dilakukan sepanjang SPLN menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui server tersebut. BUT dapat berupa pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain di Indonesia, sepanjang memenuhi ketentuan tentang time test dalam P3B antara Indonesia dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra, atau adanya agen yang kedudukannya tidak bebas di Indonesia yang mempunyai kewenangan atau melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam P3B. Penentuan keberadaan suatu BUT di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan SPLN tersebut tidak bersifat persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary).

BUT bagi SPLN yang menyediakan Layanan OTT dapat berupa:
  1. Tempat tetap yang dimiliki, disewa, atau dikuasai oleh SPLN atau pihak lain yang berada di Indonesia, seperti tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, bengkel atau workshop, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, komputer, server, pusat data, agen elektronik dan peralatan otomatis lainnya, yang digunakan oleh SPLN yang menyediakan Layanan OTT untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia; atau
  2. Keberadaan pegawai SPLN atau pihak lain yang bertindak untuk atau atas nama SPLN yang menyediakan Layanan OTT untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan memperhatikan ketentuan diatas.
Penghitungan PPh Pasal 21

Cara Menghitung PPh Pasal 21
 (PP 58 Tahun 2023, PMK 168 Tahun 2023)


Tarif Penghitungan PPh Pasal 21

Tarif Efektif Bulanan

Kategori TER Status PTKP Besaran PTKP
TER A TK/0 Rp 54.000.000,-
  TK/1 & K/0 Rp 58.500.000,-
TER B TK/2 & K/1 Rp 63.000.000,-
  TK/3 & K/2 Rp 67.500.000,-
TER C K/3 Rp 72.000.000,-

Tarif Efektif Harian

Penghasilan Bruto Harian TER Harian
≤ Rp450ribu 0% X Ph Bruto Harian
>Rp450ribu – Rp2,5juta 0,5% X Ph Bruto Harian

Tarif Progresif Pasal 17

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp60.000.000,- 5% 
Di atas Rp60.000.000,- s.d Rp250.000.000,- 15% 
Di atas Rp250.000.000,- s.d Rp500.000.000,- 25%
Di atas Rp500.000.000,- s.d Rp5.000.000.000,- 30%
Di atas Rp5.000.000.000,- 35%

Pegawai Tetap

Definisi Pegawai Tetap

Definisi Jenis Penghasilan*
  • Pegawai yang menerima /memperoleh penghasilan secara teratur,
  • termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas,
  • serta Pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang Pegawai yang bersangkutan bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut
Penghasilan teratur maupun tidak teratur, dapat berupa :
  1. Seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya
  2. Bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur
  3. Imbalan Sehubungan dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemberi kerja
  4. JKK, JKM dibayar ke BPJSTK oleh pemberi kerja
  5. Iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dibayar ke BPJS Kesehatan oleh pemberi kerja
  6. Premi Asuransi Kesehatan, Kecelakan Kerja, Asuransi Jiwa, Asuransi Dwiguna, Asuransi Beasiswa dibayar oleh pemberi kerja
*) Penghasilan dapat diberikan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.

Definisi Pensiunan

Definisi Jenis Penghasilan*
  • Orang pribadi atau ahli warisnya,
    termasuk janda, duda, anak, dan/atau ahli waris lainnya,
  • yang menerima atau memperoleh imbalan secara periodik
  • berupa uang pensiun, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua, untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu.
Penghasilan secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya
*) Penghasilan dapat diberikan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.

Teknis Penghitungan PPh 21 Pegawai Tetap

Setiap Masa, Kecuali Masa Pajak Terakhir Ph. Bruto sebulan x TER Bulanan*
*Keterangan :
TER A = TK/0; TK/1 & K/0
TER B = TK/2 ; K/1 ; TK/3 ; K/2 & TER C = K/3
Masa Pajak Terakhir PPh Pasal 21 setahun = (Ph. Bruto setahun – Biaya Jabatan/Pensiun – Iuran Pensiun – Zakat / Sumbangan Keagamaan Wajib yang dibayar melalui pemberi kerja – PTKP) x Tarif Ps. 17
  PPh Ps. 21 Masa Pajak terakhir = PPh Ps. 21 setahun – PPh Ps. 21 yang sudah dipotong selain masa pajak terakhir

 

Pegawai Tidak Tetap

Definisi Pegawai Tidak Tetap
  • Pegawai, termasuk tenaga kerja lepas,
  • yang hanya menerima penghasilan apabila Pegawai yang bersangkutan bekerja,
  • berdasarkan jumlah hari bekerja,
  • jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau
  • penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja

Teknis Penghitungan PPh 21 Pegawai Tetap
Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang terdiri dari :
  1. Tarif Efektif Bulanan*, atau
  2. Tarif Efektif Harian**
* telah mempertimbangkan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan/atau PTKP yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto.
** telah mempertimbangkan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto.

Penghasilan Bruto Harian TER Harian/Tarif
≤ Rp450ribu 0% X Ph Bruto Harian
>Rp450ribu – Rp2,5juta 0,5% X Ph Bruto Harian
> Rp2,juta/ hari > Rp2,5juta / hari
Tarif Psl 17 x 50% x Ph Bruto Sehari Tarif Psl 17 x 50% x Ph Bruto Sehari


Definisi Penghasilan Bruto Harian
  • Penghasilan Pegawai Tidak Tetap yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan.
  • Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.

Bukan Pegawai


Definisi Bukan Pegawai
  • Orang pribadi
  • Selain pegawai tetap & pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas)
  • Memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
  • Sebagai imbalan atas Pekerjaan Bebas atau jasa yang dilakukan
  • Menurut perintah/permintaan pemberi penghasilan
Jenis-Jenis Bukan Pegawai
  • tenaga ahli yang melakukan Pekerjaan Bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris;
  • pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, pembuat/pencipta konten pada media yang dibagikan secara daring (influencer, selebgram, blogger, vlogger, dan sejenis lainnya), dan seniman lainnya;
  • olahragawan;
  • penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  • pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  • pemberi jasa dalam segala bidang;
  • agen iklan;
  • pengawas atau pengelola proyek;
  • pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
  • petugas penjaja barang dagangan;
  • agen asuransi; dan
  • distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.
Teknis Penghitungan PPh 21 Bukan Pegawai
PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x (50% x Penghasilan Bruto) 🡪 tidak kumulatif

Penentuan Penghasilan Bruto Bagi Bukan Pegawai

Jenis Jasa Penentuan Jumlah Bruto
Jasa Katering Seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima/diperoleh
Jasa dokter Jasa dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik, yaitu sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik
Selain Jasa Katering dan dokter Seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai dari Pemotong Pajak, tidak termasuk:
  1. pembayaran atas pekerjaan tenaga kerja yang dipekerjakan oleh Bukan Pegawai (dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran);
  2. pembayaran pengadaan atau pembelian atas  barang atau material terkait dengan jasa yang diberikan (dibuktikan dengan faktur pembelian); dan/atau
  3. pembayaran yang diterima atau diperoleh pihak ketiga dari Bukan Pegawai atas jasa yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut (dibuktikan dengan faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis, termasuk bukti pemberian penghasilan kepada pihak ketiga)
berdasarkan kontrak atau perjanjian dengan Pemotong Pajak.

Dalam hal Bukan Pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 :
1. Mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya, maka:
Penghasilan bruto = jumlah pembayaran - bagian gaji/upah dari pegawai yang dipekerjakan
2. Melakukan penyerahan material/barang, maka:
Penghasilan bruto = jumlah pemberian jasanya saja

Ketentuan dikecualikan apabila dalam kontrak jumlah tersebut tidak dapat dipisahkan.

Peserta Kegiatan

Definisi Peserta Kegiatan
  • Orang pribadi
  • Menerima/memperoleh imbalan
  • Terkait keikutsertaannya dalam kegiatan
  • Selain yang diterima Pegawai Tetap dari pemberi kerja
Jenis-Jenis Peserta Kegiatan
  • peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, keagamaan, kesenian, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya
  • Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, atau pertunjukan, atau kegiatan tertentu lainnya
  • Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu
  • Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.

Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan oleh peserta program pensiun
Dasar Pengenaan Pajak :
PPh = ∑ kumulatif Ph Bruto (dana pensiun) x Tarif PPh Pasal 17

Contoh
Nicholas Sinulingga adalah pegawai PT Abadi Sejahtera menerima gaji Rp2.000.000,00 sebulan. PT Abadi Sejahtera mengikuti program pensiun untuk para pegawainya. PT Abadi Sejahtera membayar iuran dana pensiun untuk Nicholas Sinulingga sebesar Rp100.000,00 sebulan ke Dana Pensiun Abadi Sejahtera, yang merupakan dana pensiun yang dibentuk bagi pengelolaan uang pensiun pegawai PT Abadi Sejahtera yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Nicholas Sinulingga membayar iuran serupa ke dana pensiun yang sama sebesar Rp50.000,00 sebulan.

Bulan April 2013 Nicholas Sinulingga memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya maka ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri sebesar Rp20.000.000,00. Kemudian pada bulan Juni 2013 ia menarik lagi dana sebesar Rp15.000.000,00. Kemudian bulan Oktober 2013 untuk keperluan lainnya ia menarik lagi dana sebesar Rp25.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah :
atas penarikan dana sebesar Rp20.000.000,00 pada bulan April 2013 terutang PPh Pasal 21 sebesar 5% x Rp20.000.000,00 = Rp1.000.000,00.

atas penarikan dana sebesar Rp15.000.000,00 pada bulan Juni 2013 terutang PPh Pasal 21 sebesar 5% x Rp15.000.000,00 = Rp750.000,00

atas penarikan dana sebesar Rp25.000.000,00 pada bulan Oktober 2013 terutang PPh Pasal 21 sebesar :
5% x Rp15.000.000,00 = Rp.    750.000,00
15% x Rp10.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
  = Rp. 2.250.000,00

Pesangon (PP 68/2009 jo PMK 16/PMK.03/2010)
Penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Pehitungan PPh Final sbb :
  1. Penghasilan bruto s.d. Rp 50.000.000 tidak dikenakan PPh Final.
  2. Penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000 sebesar 5%
  3. Penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 sebesar 15%
  4. Penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000,00  sebesar 25%
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Final diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Melebihi Jangka Waktu 2 (dua) tahun kalender

Jika terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak. Jika Pegawai tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 akan lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pegawai yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Contoh :
PT. Asgar Manah melakukan pembayaran Uang Pesangon kepada Pirman Nurjaman secara bertahap dengan jadwal pembayaran sebagai berikut :
a.    Bulan Januari 2010 Rp 240.000.000,00
b.    Bulan Januari 2011 Rp 120.000.000,00
c.    Bulan Juli 2011 Rp 120.000.000,00
d.    Bulan Januari 2012 Rp 120.000.000,00

maka Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang :
a. Bulan Januari 2010 :    
  0%   x Rp   50.000.000,00 = Rp                0,00
  5%   x Rp   50.000.000,00 = Rp  2.500.000,00
  15% x Rp 140.000.000,00 = Rp 21.000.000,00 (+)
      Rp 23.500.000,00
       
b. Bulan Januari 2011 :    
  15% x Rp 120.000.000,00 = Rp 18.000.000,00
       
c. Bulan Juli 2011 :    
  15% x Rp 120.000.000,00 = Rp 18.000.000,00
       
d. Bulan Januari 2012    
  Oleh karena pembayaran Uang Pesangon sudah memasuki tahun ketiga maka tarif PPh Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang dibayarkan pada bulan Januari 2012 adalah Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pemotongan PPh 21 pada bulan Januari 2012 tidak bersifat Final.
       
  Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bulan Januari 2012 :    
       
  5%   x Rp 50.000.000,00 = Rp   2.500.000,00
  15% x Rp 70.000.000,00 = Rp 10.500.000,00 (+)
  Jumlah = Rp 13.000.000,00
 
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Final sebagai berikut:
  1. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00
  2. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Final diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Tunjangan Pajak

Perlakuan tunjangan Pajak dalam penghitungan PPh Pasal 21

Pemberian tunjangan pajak sifatnya sama dengan tunjangan lainnya. Penghasilan pegawai yang bersangkutan akan bertambah dengan diberikannya tunjangan pajak. Tunjangan pajak dapat dibiayakan oleh perusahaan untuk menghitung PPh Badan.

Tunjangan Pajak dapat diberikan secara Flat (tetap) maupun Gross Up (Jumlahnya tidak tetap melainkan disesuaikan dengan besarnya pajak yang harus dipotong dari penghasilan Pegawai Tetap tersebut atau proporsional).

Besarnya tunjangan pajak secara Flat biasanya akan berbeda dari PPh Pasal 21 yang sesungguhnya harus dipotong akibat fluktuasi penghasilan pegawai yang bersangkutan.

Besarnya tunjangan pajak yang diberikan secara Gross up akan sama dari PPh Pasal 21 yang sesungguhnya. Metode Gross up memberikan tunjangan pajak sebesar 100% dari PPh yang harus dipotong.

Menghitung tunjangan pajak yang diberikan secara Gross up dilakukan dengan rumus khusus atau dengan bantuan software komputer.

Contoh :
(PMK 168 Tahun 2023)

Tuan H bekerja sebagai Pegawai Tetap pada PT S. Tuan H berstatus menikah dan memiliki 2 (dua) orang anak. Pada bulan Juli 2024, Tuan H menerima atau memperoleh gaji sebesar Rp6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu rupiah) dan tunjangan pajak sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) serta membayar iuran pensiun melalui PT S sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Tunjangan pajak yang diberikan kepada Pegawai merupakan bagian dari penghasilan bagi Pegawai yang bersangkutan, sedangkan iuran pensiun tidak diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto karena dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu penghasilan bruto. Dengan demikian, jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Tuan H pada bulan Juli 2024 adalah:

  Gaji Sebulan
Tunjangan Pajak
Penghasilan Bruto Sebulan
  Rp6.500.000,00
Rp   300.000,00
Rp6.800.000,00

Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/ 2) dan jumlah penghasilan bruto sebulan sebesar Rp6.800.000,00 (enam juta delapan ratus ribu rupiah), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan H pada bulan Juli 2024 dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori B sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, yaitu dengan tarif sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

Besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan H pada bulan Juli 2024 adalah sebesar 0,5% x Rp6.800.000,00 = Rp34.000,00.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto   
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010 tentang Biaya Promosi yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 Tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan Dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.011/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
  15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan
  16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 Tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
  17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi
  18. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 22/PJ/2010 Tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 238/PJ./2001 Tentang Penghapusan Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih
  19. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 6/PJ/2011 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pembuatan Bukti Pembayaran Atas Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
  20. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 32/PJ/2014 tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Fiskal
  21. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 25/PJ/2017 Tentang  Pelaksanaan Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan Dan Tata Cara Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri
  22. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 11/PJ/2018 Tentang Badan/Lembaga Yang Dibentuk Atau Disahkan Oleh Pemerintah Yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
  23. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2018 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja
  24. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diterima Atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura Dan/Atau Kenikmatan
  25. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 03/PJ/2019 tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Fiskal
  26. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 15/PJ/2020 tentang Badan/Lembaga Yang Dibentuk Atau Disahkan Oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
  27. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 316/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer
  28. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 27/PJ.22/1986 Tentang Biaya Entertainment dan sejenisnya (Seri PPh Umum 18).
  29. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 46/PJ.4/1995 Tentang Perlakuan Biaya Bunga Yang Dibayar Atau Terutang Dalam Hal Wajib Pajak Menerima Atau Memperoleh Penghasilan Berupa Bunga Deposito Atau Tabungan Lainnya (Seri PPh Umum No. 20)
  30. 30.    Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 33/PJ.421/1996 tentang Perlakuan PPh Atas Biaya Bea Siswa Dalam Rangka Gerakan Nasional Orang Tua Asuh  (GN - Ota) (Seri PPh Umum No. 38)
  31. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 13/PJ.43/1999 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Stock Option
  32. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 16/PJ.43/1999 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penjualan Barang Atau Pemberian Kredit Dengan  Fasilitas Khusus Yang Diberikan Oleh Perusahaan Kepada Karyawannya
  33. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 22/PJ.42/1999 tentang Perlakuan PPh Atas Biaya Bunga Dan Biaya Overhead Dalam Masa Konstruksi
  34. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 08/PJ.42/2000 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Laba/Rugi Selisih Kurs Atas Perkiraan Hutang Kepada Kantor Pusat Bagi BUT
  35. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 02/PJ.42/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran Untuk Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
  36. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 01/PJ.42/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran Untuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai biaya/pengurang penghasilan bruto
  37. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.42/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pemberian Imbalan Bunga Kepada Wajib Pajak
  38. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 07/PJ.42/2002 tentang Penghitungan Penyusutan Atas Komputer, Printer, Scanner Dan Sejenisnya   
  39. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 08/PJ.42/2002 tentang Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non – Performing
  40. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 09/PJ.42/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan
  41. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 03/PJ.31/2004 tentang Kompensasi Kerugian Fiskal Dalam Penghitungan Pajak Penghasilan
  42. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 97/PJ/2011 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Premi Bagi Wajib Pajak Yang Bergerak Di Bidang Usaha  Asuransi Jiwa Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
  43. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 75/PJ/2015 tentang Penegasan Perlakuan Perpajakan Atas Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Biaya Bunga

Biaya Bunga sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
(SE-20/PJ.42/1994)

  • Biaya bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
  • Bunga pinjaman selama masa konstruksi suatu aset merupakan komponen biaya langsung atas harga pokok atau harga perolehan aset yang bersangkutan. Sehingga, biaya bunga dalam masa konstruksi suatu aset tersebut harus dikapitalisir menjadi komponen harga pokok atau harga perolehan aset yang bersangkutan sampai dengan konstruksi aset tersebut selesai. Selanjutnya, pembebanan biaya bunga tersebut dilakukan melalui penyusutan/amortisasi atau diakui pada saat penjualan barang (sebagai bagian dari harga pokok penjualan) (SE-20/PJ.42/1994)
  • Apabila terdapat penempatan deposito atau tabungan yang dananya langsung atau tidak langsung berasal dari dana pinjaman yang dibebani bunga, maka : (SE-46/PJ.4/1995)
    •  
    Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya atau lebih kecil dibanding jumlah rata-rata deposito atau tabungan, maka bunga atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
    •  
    Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dibanding jumlah rata-rata deposito atau tabungan, maka bunga atas pinjaman yang boleh dikurangkan sebagai biaya adalah biaya bunga atas selisih antara jumlah rata-rata pinjaman dengan jumlah rata-rata deposito atau tabungan.
    Misalnya :
    Jumlah rata-rata pinjaman dalam 1 tahun = Rp 150.000.000,00
    Jumlah rata-rata deposito Dalam 1 tahun = Rp 40.000.00000
    Bunga pinjaman seluruhnya = Rp 30.000.000,00
    Bunga pinjaman yang dapat dikurangkan sebagai biaya = {(150 juta - 40 juta) / 150 juta} x Rp 30 juta = Rp 22 Juta.
  • Bukan termasuk dalam pengertian deposito/tabungan seperti tersebut di atas adalah : (SE-46/PJ.4/1995)
    • Dana pinjaman yang ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya dikenakan PPh Final.
    • Adanya keharusan bagi wajib pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang jumlah deposito/tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi ketentuan yang berlaku.
    • Dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito/tabungan tersebut dananya berasal dari tambahan modal atau sisa laba setelah pajak.
Perbandingan Antara Utang dan Modal
(PMK No 169/PMK.010/2015 dan PER - 25/PJ/2017)

Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham, besarnya biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak dihitung berdasarkan Perbandingan Antara Utang dan Modal. Adapun perbandingan Antara Utang dan Modal paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1).

Biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak meliputi:
  1. bunga pinjaman;
  2. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
  3. biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
  4. beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
  5. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
  6. selisih kurs yang berasal dari penyesuaian terhadap biaya pinjaman dalam hal biaya pinjaman tersebut dalam mata uang asing.
Biaya pinjaman yang tidak dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak meliputi:
  1. selisih antara biaya pinjaman yang ditangggung oleh Wajib Pajak dengan biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak;
  2. selisih antara biaya pinjaman atas utang kepada pihak yang memiliki Hubungan Istimewa yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak dengan biaya pinjaman yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
  3. biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak; dan
  4. biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenai pajak bersifat final.
Dalam hal biaya pinjaman dikapitalisasi sebagai harga perolehan harta, penyusutan atas bagian harta yang merupakan kapitalisasi biaya pinjaman dimaksud tidak dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun

Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 21 (3),250/PMK.03/2008 PMK 168 Tahun 2023) 

Besarnya biaya jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.

Besarnya biaya pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, paling banyak Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau paling banyak Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.

Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.

Perlakuan biaya jabatan bagi wajib pajak yang berkerja pada dua pemberi kerja atau lebih
(SE-15/PJ.41/1993, PMK 168 Tahun 2023) 

Biaya Jabatan untuk Wajib Pajak karyawan adalah sebagai berikut :
  1. Biaya jabatan hanya boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai tetap karena dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dari pekerjaan atau jabatan.
  2. Apabila Wajib Pajak memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja, maka besarnya biaya jabatan sesuai dengan formulir 1721 A1/atau 1721 A2 dengan setinggi-tingginya Rp 6.000.000,00 per tahun atau Rp 500.000,00 per bulan.
  3. Apabila Wajib Pajak memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja atau lebih, maka besarnya biaya jabatan merupakan penjumlahan dari masing-masing formulir 1721 A1 atau 1721 A2 yang menghasilkan biaya jabatan dapat lebih tinggi dari Rp 6.000.000,-.
  4. Penerapan biaya jabatan :
    • Jika pada awal tahun sudah berstatus pegawai tetap, maka biaya jabatan dihitung dari bulan Januari sampai akhir tahun atau saat yang bersangkutan berhenti bekerja.
    • Jika seseorang baru diangkat sebagai pegawai tetap dalam tahun takwim, maka biaya jabatan dihitung sejak bulan pengangkatan sampai akhir tahun atau saat berhenti bekerja.
    • Jika seseorang berhenti bekerja dalam tahun takwim, maka biaya jabatan dihitung dari bulan Januari sampai dengan bulan saat yang bersangkutan berhenti bekerja.
Dalam kondisi Pegawai Tetap menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja. Biaya jabatan dihitung pada masing-masing pemberi kerja.
Pemungut Pajak
(34/PMK.010/2017, PMK 48 Tahun 2023)

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor barang; dan
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya.
     
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
     
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
     
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
     
e. badan usaha tertentu meliputi:
1. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari     kekayaan negara yang dipisahkan;
2. badan usaha dan Badan Usaha Milik Negara yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh Pemerintah, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI Syariah, Bila badan usaha tertentu tersebut melakukan perubahan nama badan usaha, badan usaha tertentu tersebut tetap ditunjuk sebagai pemungut pajak. Namun, jika badan usaha tertentu tersebut tidak lagi dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, badan usaha tertentu dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut pajak
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya;
     
f. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir. industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
     
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
     
h. produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
     
i. badan usaha industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya;
     
j. badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara; atau
     
k. badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan di dalam negeri.
     
l. menunjuk pihak lain dalam hal ini Pengusaha Emas Perhiasan dan/atau Pengusaha emas batangan untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan: Emas Perhiasan; dan/atau emas batangan.
PPh Pasal 21 atas Hadiah Saham kepada Pegawai
(SE-56/PJ.42/1999)

1. Pemberian hadiah saham secara cuma-cuma oleh wajib pajak pemberi kerja kepada para pegawainya disamakan dengan bonus atau gratifikasi yang merupakan penghasilan yang sifatnya tidak tetap/tidak teratur dan merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 21.
2.  Pengenaan PPh Pasal 21 atas hadiah saham kepada pegawai tersebut adalah dengan menerapkan tarif umum Pasal 17 Undang-Undang PPh dikalikan dengan penghasilan bruto (tanpa pengurangan).
3. Dasar Pengenaan Pajak atas hadiah saham harga pasar atau nilai pasarnya (dalam hal diperdagangkan di bursa) atau nilai nominalnya (dalam hal tidak diperdagangkan di bursa).
4. PPh Pasal 21 atas hadiah saham tersebut dikenakan pada saat keputusan pemberian hadiah tersebut disepakati.
Dasar Hukum
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan Di Bursa
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya
  14. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu
  15. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
  16. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  17. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
  18. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
  19. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan
  20. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan
  21. Peraturan Menteri Keuangan 153/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
  22. Peraturan Menteri Keuangan 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
  23. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
  24. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi
  25. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi
  26. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi
  27. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Dan Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan
  28. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya
  29. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu
  30. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.03/2018 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
  31. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Dan Kewajiban Pelaporan Usaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak
  32. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia
  33. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak-Pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (“Built, Operate, and Transfer”)
  34. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau penerbangan Luar Negeri
  35. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
  36. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan
  37. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 18/PJ/2008 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
  38. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 15/PJ/2014 tentang Penggunaan Stempel Tanda Tangan Pada Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan atas Pembayaran Dividen Kepada Para Pemegang Saham
  39. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 03/PJ/2020 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia Yang Diterima atau Diperoleh Dana Pensiun Yang Pendiriannya Telah Disahkan Oleh Menteri Keuangan Atau Telah Mendapatkan Izin Dari Otoritas Jasa Keuangan
  40. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 8/PJ/2023 tentang Tata Cara Pengecualian Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya Dan Pembebasan Dari Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penjualan Rumah Tinggal Atau Hunian Yang Tergolong Sangat Mewah Di Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata
  41. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 38/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan  Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17)
  42. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 50/PJ./2009 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pembayaran Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final Bagi Wajib Pajak Badan, Termasuk Koperasi, Yang Usaha Pokoknya Melakukan Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
  43. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 30/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan yang Bersifat Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dan Penentuan Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
  44. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 30/PJ/2014 tentang Pengawasan Atas Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Melalui Jual Beli
  45. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 46/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Karakteristik PPh Bersifat Final  :

  1. Tidak perlu  digabungkan dengan penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan.
  2. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan.
  3. PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain sehubungan dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
(PP No. 51 Tahun 2008, PP No. 40 tahun 2009, dan PP No. 9 Tahun 2022)

Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.

Konsultansi Konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.

Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.
 
 
 
 
Jenis Usaha Jasa Konstruksi

Layanan Kegiatan Usaha Jasa Konstruksi :
• Konsultansi Konstruksi
Pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.
• Pekerjaan Konstruksi
Pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran,  dan pembangunan kembali suatu bangunan.
• Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi
Gabungan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi konstruksi, termasuk penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan.


Tarif Pajak Penghasilan

Jasa Konstruksi     Sertifikat Badan Usaha/kualifikasi Sertifikat kompetensi kerja
(perseorangan)
Tarif PPh Final
Pekerjaan Konstruksi Memiliki/Kecil Memiliki 1,75%
Memiliki/Menengah & besar - 2,65%
Tidak Memiliki Tidak Memiliki 4,00%
Pekerjaan Konstruksi Integrasi Memiliki - 2,65%
Tidak Memiliki - 4,00%
Konsultasi Konstruksi Memiliki Memiliki 3,50%
Tidak Memiliki Tidak Memiliki 6,00%

Terhadap kontrak usaha jasa konstruksi yang ditandatangani sebelum PP No. 9 Tahun 2022 belaku ketentuan sebagai berikut :
  1. Jika pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak dilakukan sebelum PP No. 9 Tahun 2022 berlaku maka DPP Penghasilan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
  2. Jika pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak dilakukan pada tanggal 21 Februari 2022 dan setelahnya maka DPP Penghasilan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022
  3. Terhadap tagihan yang sudah masuk dan sampai dengan tanggal 21 Februari 2022 belum ada realisasi pembayaran, harus dilakukan penyesuaian tarif PPh sesuai dengan PP No. 9 tahun 2022
Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
(PP No. 19 Tahun 2009)


Tarif 10% (sepuluh persen) dan bersifat final
 
Definisi Dividen adalah dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Pemotongan pajak atas dividen dilakukan pada saat dividen disediakan untuk dibayarkan.

Dividen yang dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3))


Dalam hal atas dividen yang diterima oleh Orang Pribadi Dalan Negeri tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu maka Dividen yang diterima bukan objek pajak penghasilan.
Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi
(PP 91 Tahun 2021)


Obligasi adalah surat utang, surat utang negara, dan obligasi daerah yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan yang diterbitkan oleh pemerintah dan nonpemerintah, termasuk surat utang yang terbitkan berdasarkan prinsip syariah (sukuk).

Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga, ujrah/fee, bagi hasil, margin, penghasilan sejenis lainnya, dan/atau diskonto.

Atas penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dikenai pajak penghasilan yang bersifat final.Tarif pajak penghasilan adalah 10% (sepuluh persen) dari dasar pengenaan pajak penghasilan.

Dasar pengenaan pajak penghasilan yang dimaksud adalah untuk:
  1. bunga dari Obligasi dengan kupon, sebesar jumlah bruto sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
  2. diskonto dari Obligasi dengan kupon, sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan; dan
  3. diskonto dari Obligasi tanpa bunga, sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi.
Dalam hal terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi dengan kupon, diskonto negatif atau rugi tersebut dapat diperhitungkan dengan dasar pengenaan pajak penghasilan atas Bunga Obligasi berjalan.

Pengecualian Pengenaap Pajak Penghasilan yang bersifat final
Penghasilan berupa bunga obligasi dikenakan tarif umum sesuai UU Pajak Penghasilan dalam penerima penghasilan merupakan :
a. wajib pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan atau telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya; dan
b. wajib pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian
(PP No. 132 Tahun 2000)


Tarif 25 % dari jumlah bruto hadiah undian

Nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura misalnya mobil

Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi.
Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(Pasal 5 & Pasal 7 PMK No. 212/PMK.03/2018)

Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sebagai berikut :

a. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
  1. Tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto, untuk deposito DHE dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
  2. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito DHE dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan;
  3. Tarif 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito DHE dengan jangka waktu 6 (enam) bulan; dan
  4. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito DHE dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan.
b. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut :
  1. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito DHE dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
  2. Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito DHE dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan; dan
  3. Tarif  0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.
c. Atas bunga dari tabungan dan diskonto SBI, serta bunga dari deposito dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut::
  1. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
  2. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
Deposito yang bunganya dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan  huruf b bersumber dari dana DHE yang diperoleh setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yang ditempatkan pada:
  1. bank yang sama dengan bank tempat diterimanya DHE, dengan ketentuan:
    1. berasal dari pemindahbukuan dana DHE yang ditempatkan pada rekening milik Eksportir pada bank tempat diterimanya DHE dari luar negeri dan rekening milik  Eksportir dimaksud hanya digunakan untuk menampung dana DHE; dan
    2. dibuktikan dengan dokumen laporan penerimaan DHE melalui bank devisa sesuai  ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penerimaan DHE; atau
  2. bank yang tidak sama dengan bank tempat diterimanya DHE, dengan melampirkan surat pernyataan Eksportir bahwa dana tersebut berasal dari DHE yang dilegalisasi oleh bank tempat  diterimanya DHE dari luar negeri atau dilegalisasi oleh bank terakhir yang menjadi tempat disimpannya DHE.
Pemotongan pajak tidak dilakukan terhadap :
  1. bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI, untuk jumlah Deposito dan Tabungan serta SBI yang tidak melebihi Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
  2. bunga dan Diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
  3. bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan yang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; atau
  4. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek
(PP No. 41 Tahun 1994 jo. PP No. 14 Tahun 1997)


Tarif 0,1% (nol koma satu persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.

Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai saham perusahaan pada saat pada saat penawaran umum perdana.

Yang dimaksud dengan "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana (initial public offering) menjadi efektif.

Termasuk dalam pengertian "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang menerima pengalihan saham dari pendiri karena :
  • warisan;
  • hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
  • cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.
Yang dimaksud dengan "saham pendiri" adalah saham yang dimiliki oleh mereka yang termasuk kategori "pendiri" sebagaimana dimaksud di atas.
           
Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah:
  1. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah penawaran umum perdana (initial public offering);
  2. saham yang yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
Tidak termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah :
  1. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam bentuk saham;
  2. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (initial public offering) yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right issue), waran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya;
  3. saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.
Pajak penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
PP No. 34 Tahun 2017 dan KMK No. 120/KMK.03/2002


Tarif 10% dari jumlah bruto.

Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
(PP Nomor 34 Tahun 2016 jo. PMK No 261/PMK.03/2016)

   
Tarif :
  • 2,5 % dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
  • 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;atau
  • 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah
  1. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah;
  2. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
  3. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
  4. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;atau
  5. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
Nilai Jual Objek Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak terutang tahun pajak sebelumnya.

Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada.

Rumah Sederhana terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rumah Susun Sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan
(PMK No. 79/PMK.03/2008)

Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen). 

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah.

Pemotong Pajak

Pemotongan PPh Pasal 26
(Penjelasan UU Nomor 6 Tahun 2023 Pasal 26 ayat (1))

Pemotong PPh Pasal 26
  • Badan Pemerintah
  • Subyek pajak dalam negeri
  • Penyelenggara kegiatan
  • Bentuk Usaha Tetap
  • perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
Penyusutan di Bidang Usaha Tertentu
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11, PP Nomor 55 Tahun 2022, PMK 72 Tahun 2023)


Ruang Lingkup Bidang Usaha Tertentu

Dalam ketentuan PMK 72/2023, jenis usaha yang dikategorikan sebagai bidang usaha tertentu adalah sebagai berikut:
1. bidang usaha kehutanan, meliputi usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun;
2. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yakni usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun; dan
3. bidang usaha peternakan, yang meliputi:
  1. usaha peternakan yang ternaknya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah dipelihara lebih dari 1 tahun; atau
  2. usaha peternakan yang ternaknya dapat berproduksi berkali-kali dan sudah menghasilkan setelah dipelihara kurang dari atau sampai dengan 1 tahun.


Penyusutan Tanaman/Ternak yang Menghasilkan Setelah 1 Tahun

Sesuai ketentuan Pasal 13 PMK 72/2023, harta berwujud dengan masa manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan di bidang usaha tertentu disusutkan sesuai dengan masa manfaatnya. Harta berwujud yang dimaksud adalah komoditas pokok yaitu:
  1. tanaman kehutanan (kelompok 4, masa manfaat 20 tahun);
  2. tanaman keras, termasuk tanaman rempah dan penyegar (kelompok 4, masa manfaat 20 tahun); atau
  3. ternak, termasuk ternak pejantan (kelompok 2, masa manfaat 8 tahun).
Masa manfaat yang digunakan adalah sesuai dengan pengelompokan aset tetap bukan bangunan. Wajib pajak dapat menggunakan masa manfaat yang sebenarnya, dengan syarat mengajukan permohonan untuk mendapat penetapan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pengeluaran untuk perolehan aset yang menjadi dasar penyusutan adalah nilai perolehan termasuk biaya pembelian bibit serta biaya untuk membesarkan dan memelihara bibit. Perlu dicatat, pada Pasal 14 PMK 72/2023, pengeluaran tersebut tidak termasuk biaya yang berhubungan dengan tenaga kerja. Penyusutan mulai dilakukan pada bulan produksi komersial, yakni bulan mulai dilakukan penjualan, dan menggunakan metode garis lurus.

Penyusutan Ternak yang Menghasilkan dalam Kurun Waktu 1 Tahun

Ketentuan mengenai harta berwujud yang dapat menghasilkan setelah dipelihara dalam jangka waktu 1 tahun merupakan pengaturan baru dari PMK sebelumnya. Ketentuan ini berlaku untuk harta berwujud berupa ternak, dapat berupa ayam petelur dan bebek petelur.

Atas jenis ternak tersebut, wajib pajak melakukan:
  1. pembebanan sekaligus jika masa manfaatnya kurang dari atau sampai dengan 1 tahun.
  2. penyusutan untuk harta yang masa manfaatnya lebih dari 1 tahun sampai dengan 4 tahun (dengan metode garis lurus).
Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud. Pengeluaran yang diperhitungkan termasuk biaya pembelian bibit serta biaya untuk membesarkan dan memelihara bibit.

Amortisasi Harta Tak Berwujud

Pada Pasal 18 PMK 72/2023, tidak diatur secara khusus mengenai jenis harta tak berwujud dalam bidang usaha tertentu. Pasal tersebut mengatur bahwa amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi komersial. Bulan produksi komersial yang dimaksud adalah bulan mulai dilakukan penjualan.

Amortisasi Harta Tak Berwujud

Masa Manfaat Kurang dari 1 Tahun

PT Ayam Sehat merupakan pengusaha ternak ayam petelur. Ayam petelur yang dipelihara PT Ayam Sehat mulai bertelur pada bulan keempat. Setelah kapasitas bertelur berkurang, ayam dipotong untuk dijual daginya pada bulan ke 11. Pada bulan Februari 2023, PT Ayam Sehat harga perolehan petelur termasuk biaya untuk membesarkan dan memelihara bibit sebesar Rp200.000.000. Sesuai ketentuan PMK 72/2023, karena masa manfaatnya kurang dari 1 tahun, pengeluaran ini dibebankan sekaligus pada tahun perolehan yakni tahun pajak 2023.

Masa Manfaat Lebih Dari 1 Tahun
PT Sumber Sehat merupakan pengusaha ternak bebek petelur. Pada tahun pajak 2023, PT Sumber Sehat memperoleh sejumlah bebek petelur dengan nilai perolehan sebesar Rp600.000.000. Pada tahun ketiga yaitu tahun pajak 2025 bebek petelur akan dipotong. Sesuai PMK 72/2023, atas pengeluaran tersebut dilakukan penyusutan dengan penghitungan sebagai berikut:

Tahun Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 600.0000.000
2023 200.000.000,00 400.000.000
2024 200.000.000,00 200.000.000
2025 200.000.000,00 0
Imbalan Bunga yang diterima Wajib Pajak

Perlakuan PPh atas Imbalan Bunga yang diterima WP
(SE-04/PJ.42/2002 jo. SE-01/PJ.33/2005)


Imbalan bunga yang diterima oleh Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan.

Pemberian imbalan bunga yang merupakan Objek Pajak Penghasilan, bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, imbalan bunga tersebut merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Pengembalian sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi serta sanksi pidana berupa denda, adalah bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan karena atas pembayaran sanksi tersebut sebelumnya tidak dapat dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Jenis-Jenis Jasa Lain yang Dikenakan PPh Pasal 23
(141/PMK.03/2015, 6/PMK.03/2021)

Jasa lain dalam PPh Pasal 23 selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, terdiri dari :
a. Jasa penilai (appraisal)
b. Jasa aktuaris
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
d. Jasa Hukum
e. Jasa arsitektur
f. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape
g. Jasa perancang (design)
h. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap
i. Jasa penunjang di bidang penambangan migas, berupa :
  1) jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat diantara pipa selubung dan lubung sumur
  2)  jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud :
a) penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
b) penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
c) perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
d) penutupan sumur;
  3) jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa
  4)  jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi yang menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan
  5) jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil
  6) jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur
  7)  jasa uji kandung lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi
  8) jasa reparasi pompa reda (reda repair)
  9) jasa pemasangan instalasi dan perawatan
  10) jasa penggantian peralatan/material
  11) jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur
  12) jasa mud engineering
  13) jasa well logging & perforating
  14) jasa stimulasi dan secondary decovery
  15) jasa well testing & wire line service
  16) jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling
  17) jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling
  18) jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling
  19)  jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas
j. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas :
  1) jasa pengeboran
  2) jasa penebasan
  3) jasa pengupasan dan pengeboran
  4) jasa penambangan
  5) jasa pengangkutan/ sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum
  6) jasa pengolahan bahan galian
  7) jasa reklamasi tambang
  8) jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah
  9) jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum
k. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara:
  1) bidang aeronautika, termasuk : 
a) jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat udara
b) jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge)
c) jasa pelayanan penerbangan
d) jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat, udara baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat
e)  jasa penunjang lain di bidang aeronautika
  2) bidang non-aeronautika, termasuk :
a) jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat;
b) jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika
l.  Jasa penebangan hutan
m. Jasa pengolahan limbah
n.  Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
o. Jasa perantara dan/atau keagenan
p. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI
q. Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI
r.  Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
s. Jasa mixing film
t. Jasa pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise banner, pamphlet, baliho, dan folder
u. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan
v. Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website,
w. Jasa internet termasuk sambungannya,
x. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data informasi, dan/atau program;
y. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
z. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV Kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
aa. Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan udara;
ab. Jasa maklon; yaitu jasa pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa
ac. Jasa penyelidikan dan keamanan
ad. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; yaitu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan
ae. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
af. Jasa pembasmian hama;
ag. Jasa kebersihan atau cleaning service;
ah. Jasa sedot septic tank;
ai. Jasa pemeliharaan kolam;
aj.  Jasa katering atau tata boga;
ak. Jasa freight forwarding;
al. Jasa logistik;
am. Jasa pengurusan dokumen;
an. Jasa pengepakan
ao. Jasa loading dan unloading;
ap. Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
aq. Jasa pengelolaan parkir;
ar. Jasa penyondiran tanah;
as. Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
at. Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
au. Jasa pemeliharaan tanaman;
av. Jasa pemanenan;
aw. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau perhutanan;
ax. Jasa dekorasi;
ay. Jasa pencetakan/penerbitan;
az. Jasa penerjemahan;
ba. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
bb. Jasa pelayanan kepelabuhanan;
bc. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
bd. Jasa pengelolaan penitipan anak;
be. Jasa pelatihan dan/atau kursus;
bf. Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
bg. Jasa sertifikasi;
bh. Jasa survey;
bi. Jasa tester, dan
bj. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
bk. jasa penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran terkait dengan distribusi Token oleh Penyelenggara Distribusi;
bl. jasa pemasaran dengan media Voucer oleh Penyelenggara Voucer;
bm. jasa penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran terkait dengan distribusi Voucer oleh Penyelenggara Voucer dan Penyelenggara Distribusi; atau
bn. jasa penyelenggaraan program loyalitas dan penghargaan pelanggan (consumer loyalty/reward program) oleh Penyelenggara Voucer,
Tarif Pemungutan PPh Pasal 22
(34/PMK.010/2017, 6/PMK.03/2021)

Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut :

a. Atas pemungutan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
  1. Atas impor:
a) barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PMK 107/PMK.010/2015 sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai impor atau tanpa menggunakan Angka Pengenal Impor (API)
b) barang barang tertentu lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor  atau tanpa menggunakan Angka Pengenal Impor (API)
c) selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf b), yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai impor dengan menggunakan nilai impor;
d) selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf b) dan huruf c), yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor; dan/atau
e) barang sebagaimana dimaksud pada huruf c) dan huruf d) yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor;
f) barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari harga jual lelang;
  2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tarif /Harmonized System (HS) sebagaimana tercantum dalam Lampiran III oleh eksportir kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Pabean Ekspor.
     
b. Atas pembelian barang oleh bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang; bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP); Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS); dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
     
c. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas adalah sebagai berikut:
  1. Bahan Bakar Minyak sebesar:
a. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU Pertamina;
b. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU bukan Pertamina dan Non SPBU;
c. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf b).
  2. Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
  3. Pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
     
d. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif dan industri farmasi:
  1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);
  2. penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
  3. penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
  4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen);
  5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
     
e. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
     
f. Atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui industir manufaktur oleh badan usaha industry atau eksportir yang bergerak dalam sector kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
     
g. Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
     
h. Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan emas perhiasan dan/atau emas yaitu sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen) dari Harga Jual Emas Perhiasan dan/atau Harga Jual emas batangan. (PMK 48 Tahun 2023)
     
i. Atas penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas batangan, termasuk badan usaha yang memproduksi emas batangan melalui pihak ketiga, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari harga jual emas batangan.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor Barang-Barang Tertentu
(PMK No 110/PMK.010/2018)

Memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian khususnya di bidang impor, Pemerintah mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang-barang tertentu. Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 diubah sehingga menjadi tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri No 110/PMK.010/2018.

Perlakuan atas Impor Barang untuk Kegiatan yang PPhnya Final
(SE - 28/PJ.43/1998)
 
- Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan/jasa yang atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh Final tidak dikenakan PPh Pasal 22 Impor. Oleh karena itu, wajib pajak agar meminta SKB kepada KPP setempat atas impor barang yang bersangkutan.
- Apabila di kemudian hari diketahui bahwa atas impor barang dimaksud dimanfaatkan untuk kegiatan yang penghasilannya bukan merupakan obyek PPh final, maka PPh pasal 22 yang terutang akan ditagih berikut sanksi bunganya.
Objek Pemungutan

Objek pemungutan PPh pasal 22
(Pasal 22 UU Nomor 36 Tahun 2008, 6/PMK.03/2021


1. Pembelian barang oleh Pemerintah
2. Impor Barang atau kegiatan usaha di bidang lain
3. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Yang dikenakan pemungutan pajak

1. Pemasok barang kepada pemerintah
2. Importir/pengimpor barang atau Pemasok/pembeli barang dari badan-badan tertentu
3. Pembeli barang yang tergolong sangat mewah.

Yang tidak dikenakan pemungutan pajak

a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
     
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai berupa:
  1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
  2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
  3. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
  4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
  5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
  6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
  7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
  8. barang pindahan;
  9. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kepabeanan;
  10. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
  11. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
  12. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
  13. vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
  14. buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
  15. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadangnya, serta alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
  16. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
  17. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian yang akan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;
  18. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia;
  19. barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama; dan/atau
  20. barang untuk kegiatan usaha panas bumi.
     
  Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut:
  a. dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen); atau
  b. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
     
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
     
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
     
e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf i dan huruf j PMK No 34/PMK.010/2017 berkenaan dengan:
  1. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d PMK No 34/PMK.010/2017 yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah);
  2. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e PMK No 34/PMK.010/2017 yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
  3. pembayaran untuk:
a)  pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
b) pemakaian air dan listrik;
  4. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari:
a)  kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
b) kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau
c) trading arms kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama.
  5. pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi;
  6. pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) huruf i PMK No 34/PMK.010/2017 yang jumlahnya paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dalam satu masa pajak;
  7. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf j PMK No 34/PMK.010/2017 yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e PMK No 34/PMK.010/2017.
     
f. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor.
     
g. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
     
h. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
     
i. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melahukan penjualan emas batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf k kepada Bank Indonesia.
     
j. Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna Anggaran, pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran, atau bendahara pengeluaran).
     
k. Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum BULOG).
     
l. Pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum BULOG) atau Badan Usaha Milik Negara lain yang mendapatkan penugasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengecualian sebagaimana huruf a dan huruf f di atas, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan pengecualian sebagaimana huruf d, huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf 1 di atas, dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
     
m. Penjualan Pulsa dan Kartu Perdana oleh Penyelenggara Distribusi Tingkat Kedua yang merupakan Pemungut PPh Pasal 22 (6/PMK.03/2021)

Pemungutan tidak dilakukan atas pembayaran oleh Penyelenggara Distribusi Tingkat Selanjutnya atau pelanggan telekomunikasi yang:
  - jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
  - merupakan Wajib Pajak bank; atau
  - telah memiliki dan menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 dan telah terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
     
n. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) tidak dilakukan atas penjualan Emas Perhiasan atau emas batangan kepada: (PMK 48 Tahun 2023)
  - Konsumen Akhir;
  - Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan telah memiliki serta menyerahkan fotokopi Surat Keterangan yang telah terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak; atau
  - Wajib Pajak yang memiliki surat keterangan bebas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai pembebasan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
  - kepada Bank Indonesia; atau
  - melalui pasar fisik emas digital sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi.
Tarif Pemotongan PPh Pasal 23

Besarnya tarif pemotongan pajak
(UU Nomor 36 Tahun 2008 (1), 141/PMK.03/2015, SE - 53/PJ/2009)

   
Bagi yang memiliki NPWP
1. Sebesar 15% dari jumlah bruto, atas dividen, bunga, royalty, serta hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya.
2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas :
- sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
- imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Bagi yang tidak memiliki NPWP
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif normal.

Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a. pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga;
d. pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.

Jumlah bruto tidak berlaku :
a. atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pembayaran harus dapat dibuktikan dengan :
a. kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan;
b. faktur pembelian barang atau material;
c. faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis;
d. faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
Pemotong Pajak

Pemotong PPh Pasal 23
1. Badan Pemerintah
2. Subyek Pajak Badan dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri
5. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak, yaitu :
- Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali Camat), pengacara, konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.
- Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.

Saat terutangnya pajak
(PP Nomor 94 Tahun 2010)


Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-­Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Saat pembayaran adalah saat dilakukannya pemindahbukuan dana suatu pihak kepada pihak lain, sedangkan saat pengakuan terutangnya penghasilan adalah saat dilakukannya pemindahbukuan dana dari akun harta ke akun hutang.

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":
a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Saat terutangnya penghasilan antara lain :
a. Pada saat jatuh tempo adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur, seperti: bunga dan sewa;
b. Saat tersedia untuk dibayarkan, seperti : gaji dan dividen;
c. Saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur, seperti : royalti, imbalan jasa teknik/jasa manajemen/jasa lainnya;
d. Saat pembayaran.
Objek Pemotongan

Objek pemotongan PPh pasal 23
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 (1))


1. dividen
2. bunga
3. royalti
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
5. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)
6. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Bukan Objek pemotongan PPh pasal 23
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 (4))

  • Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
  • Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
  • Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
  • Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
  • Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
  • Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
Sewa Angkutan Darat
(PER - 70/PJ/2007)

1. sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;
2. sewa kendaraan milik perusahaan-perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis kepada Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;
3. sewa kendaraan berupa milik perusahan yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis kepada Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;

Perjanjian tertulis maupun tidak tertulis adalah kesepakatan untuk meningkatkan diri pada satu atau lebih pihak lain yang dituangkan secara tertulis maupun lisan.
Subjek Pemotongan 
(UU Nomor 6 Tahun 2023 Pasal 26 (1))

Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia
Tarif Pemotongan PPh Pasal 26
(UU Nomor 6 Tahun 2023 Pasal 26 dan Penjelasan, 624/KMK.04/1994 jo. SE - 23/PJ.43/1995)

1. Sebesar 20% dari jumlah bruto penghasilan wajib pajak luar negeri berupa :
  - Dividen
  - Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
  - Royalti, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta
  - Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
  - Hadiah dan penghargaan
  - Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
  - premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
  - keuntungan karena pembebasan utang
     
2. Sebesar 20% dari Perkiraan Penghasilan Netto atas penghasilan wajib pajak luar negeri berupa:
  - Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
  - Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham
  - Penghasilan berupa premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri, yaitu : (624/KMK.04/1994)
- 20% x 50% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di Luar Negeri oleh tertanggung baik secara langsung maupun melalui pialang.
- 20% x 10% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di LN oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia baik secara langsung maupun melalui pialang.
- 20% x 5% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di LN oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia baik secara langsung maupun melalui pialang.
     
3. Sebesar 20% dari Laba Neto setelah pajak dari suatu BUT di Indonesia (Branch Profit Tax), kecuali jika ditanamkan kembali di Indonesia. (14/PMK.03/2011)
     
4. Dalam hal telah dilakukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah RI dengan negara lain (treaty partner); penghitungan besarnya PPh Pasal 26 didasarkan pada Tax Treaty tersebut (dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 26 atau dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah).
Pajak Lebih Dibayar

Perlakuan atas pajak yang lebih dibayar
(UU PPh Pasal 28A)


Apabila jumlah pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari pada jumlah kredit pajaknya, maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak tersebut dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya (Pasal 28A UU PPh)

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 B ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.

Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah :
  1. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang;
  2. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.

Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.
Kredit Pajak Penghasilan

Kredit pajak yang dapat dikurangkan pada penghitungan PPh Pada Akhir Tahun 
(UU PPh Pasal 28)

 
Bagi wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak (pajak yang dibayar di muka/prepaid tax) untuk tahun pajak yang bersangkutan, yang terdiri dari : 
  • PPh Pasal 21 (khusus wajib pajak orang pribadi), yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
  • PPh Pasal 22, yaitu pemungutan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
  • PPh Pasal 23, yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa tertentu.
  • PPh Pasal 24 (kredit pajak luar negeri), yaitu pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan.
  • PPh Pasal 25, yaitu pembayaran (angsuran) pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri.
  • PPh Pasal 26 ayat (5), yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan kantor pusat suatu BUT, dimana penghasilan kantor pusat tersebut menurut ketentuan fiskal diakui sebagai penghasilan BUT yang bersangkutan, dan pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap.
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.

Contoh :

Pajak Penghasilan yang terutang     Rp 80.000.000,00
     
Kredit pajak :    
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp   5.000.000,00  
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22)  Rp 10.000.000,00  
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp   5.000.000,00  
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00  
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25)  Rp 10.000.000,00  
    --------------------- (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan   Rp 45.000.000,00
    --------------------- (-)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar    Rp 35.000.000,00
==============
 
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak dapat dikreditkan dengan pajak yang terutang.
Jasa Selain PMK 141/PMK.03/2015

Jasa Teknik
(SE - 35/PJ/2010)


Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :
  1. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
  2. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
  3. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
Jasa Manajemen
(SE - 35/PJ/2010)


Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen

Jasa konsultan
(SE - 35/PJ/2010)


Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Sifat Pemotongan PPh Pasal 26
(UU Nomor 6 Tahun 2023 Pasal 26 dan Penjelasan jo. SE - 23/PJ.43/1995)

Pemotongan pajak bersifat final, kecuali :
  • Pemotongan atas penghasilan kantor pusat yang menjadi penghasilan BUT di Indonesia;
  • Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri atau BUT.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 Tentang Bukti Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari Penjualan Atau Pengalihan Saham Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang Undang Pajak Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 Tentang Peraturan Menteri Keuangan Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari Penjualan Atau Pengalihan Harta Di Indonesia, Kecuali Yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013 Tentang Kewajiban Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan Yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, Atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.010/2017 Tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan Yang Didasarkan Pada Ketentuan Dalam Perjanjian Internasional
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.010/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.010/2017 Tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan Yang Didasarkan Pada Ketentuan Dalam Perjanjian Internasional
  8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi Dan Premi Reasuransi Yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi Di Luar Negeri
  9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Atas Penghasilan Berupa Keuntungan Dari Penjualan Saham   
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 16/PJ/2011 Tentang Tata Cara Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap Atas Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 25/PJ/2018 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
  12. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 22/PJ.22/1988 Tentang PPh Pasal 26 Atas Bunga Kredit Luar Negeri
  13. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 23/PJ.43/1995 Tentang Penjelasan Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 Dan Pasal 26 (Seri PPh Pasal 21 Nomor 4)
  14. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 25/PJ.4/1995 Tentang Pemotongan PPh Pasal 26 Atas Pembayaran Premi Asuransi Ke Luar Negeri (Seri PPh Pasal 23/26 Nomor 5)
  15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.34/2005 Tentang Petunjuk Penetapan Kriteria "Beneficial Owner" Sebagaimana Tercantum Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia Dengan Negara Lainnya
  16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 57/PJ/2015 Tentang Penegasan Perlakuan Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013 Tentang Kewajiban Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan Yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, Atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan
  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 19/PJ/2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Perpajakan Internasional
  18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ/2017 Tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap Bagi Subjek Pajak Luar Negeri Yang Menyediakan Layanan Aplikasi Dan/Atau Layanan Konten Melalui Internet
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.011/2010 Tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan Dan Kepabeanan Untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.010/2019 Tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto Atas Penyelenggaraan Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan, Dan/Atau Pembelajaran Dalam Rangka Pembinaan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2020 Tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto Atas Penanaman Modal Baru Atau Perluasan Usaha Pada Bidang Usaha Tertentu Yang Merupakan Industri Padat Karya
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.010/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 Tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
  15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.010/2020 Tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto Atas Kegiatan Penelitian Dan Pengembangan Tertentu di Indonesia
  16. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2011 Tentang Tata Cara Pelaporan Penggunaan Dana Dan Realisasi Penanaman Modal Bagi Wajib Pajak Badan Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
  17. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2011 Tentang Tata Cara Penetapan Saat Dimulainya Berproduksi Secara Komersial Bagi Wajib Pajak Badan Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
  18. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2018 Tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Dalam Rangka Simplifikasi Regulasi
  19. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2015 Tentang Penegasan Atas Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan, Penetapan Realisasi Penanaman Modal, Penyampaian Kewajiban Pelaporan, Dan Pencabutan Keputusan Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Wajib Pajak Yang Melakukan Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
  20. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
  21. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Rincian Bidang Usaha Dan Jenis Produksi Industri Pionir Yang Dapat Diberikan Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Serta Pedoman Dan Tata Cara Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
  22. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Rincian Bidang Usaha Dan Jenis Produksi Industri Pionir Yang Dapat Diberikan Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Serta Pedoman Dan Tata Cara Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
  23. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan Badan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu Secara Luar Jaringan
  24. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Rincian Bidang Usaha Dan Jenis Produksi Industri Pionir Serta Tata Cara Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 Dan Tahun 2016
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 Dan Tahun 2016
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 Dan Tahun 2016
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 12/PJ/2009 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Pengadministrasian Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 37/PJ/2015 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Dan Pengadministrasian Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 Dan Tahun 2016
  8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 56/PJ/2009 tentang Penyampaian Dan Penegasan Atas Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2009 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Dan Pengadministrasian Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
Penghitungan PPh Pasal 25 Sehubungan dengan Penurunan Tarif PPh Badan
(PER - 08/PJ/2020)

Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Untuk Tahun Pajak 2020 dihitung menggunakan tarif sebesar 22% untuk Wajib Pajak Badan kecuali Wajib Pajak masuk bursa yang Tahun Pajak 2019 mendapatkan fasilitas penurunan tarif Pajak Penghasilan dan 19% untuk Wajib Pajak masuk bursa yang mendapatkan fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan yang berlaku sejak Masa Pajak batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019.

Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Untuk Tahun Pajak 2022 dihitung menggunakan tarif sebesar 20% untuk Wajib Pajak Badan kecuali Wajib Pajak masuk bursa yang Tahun Pajak 2021 mendapatkan fasilitas penurunan tarif Pajak Penghasilan dan 17% untuk Wajib Pajak masuk bursa yang mendapatkan fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan yang berlaku sejak Masa Pajak pada bulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2021 disampaikan.
- Dalam hal SPT Tahunan Tahun Pajak 2021 setelah lewat batas waktu, penghitungan besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Umum berlaku sejak Masa Pajak batas waktu penyampaian SPT Tahunan Tahun Pajak 2021.
- Penghitungan besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang Memiliki Kewajiban Laporan Keuangan Berkala, berlaku sejak Masa Pajak batas waktu penyampaian laporan keuangan periode pertama Tahun Pajak 2022 yang meliputi:
  1. Wajib Pajak masuk bursa; dan
  2. Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala.
- Penghitungan besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang Memiliki Kewajiban Laporan Keuangan Berkala selain:
  1. Wajib Pajak masuk bursa; dan
  2. Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala.;
berlaku sejak awal Tahun Pajak 2022.

Penghitungan besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak masuk bursa yang mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebesar 3%, berlaku sejak Masa Pajak batas waktu penyampaian laporan keuangan periode pertama Tahun Pajak 2022.
PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang berusaha dalam bidang penambangan umum dalam rangka kontrak Karya yang pengenaan pajaknya berdasarkan Ordonansi Pajak Perseroan 1925
(SE-48/PJ.42/1999)

1. Penghasilan Kena Pajak yang diterima/diperoleh Wajib Pajak yang berusaha dalam bidang penambangan yang dilakukan dalam rangka perjanjian Kontrak Karya sepanjang Kontrak Karya tersebut masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 beserta semua aturan pelaksanaannya.
   
2. Berdasarkan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 Jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 Jo butir 1 dan 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor D.15.4.3.-03-11-67/MPS-MPO, dasar penghitungan dan besarnya Pajak Perseroan yang terutang/harus dibayar dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak yang berusaha dalam bidang penambangan dan penggalian ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto setiap bulan/masa pajak.
   
3. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, bagi Wajib Pajak yang berusaha dalam bidang penambangan umum dalam rangka Kontrak Karya yang dikenakan Pajak Perseroan, dasar penghitungan dan besarnya angsuran Pajak Perseroan (MPS) dalam tahun berjalan adalah sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto setiap bulan/masa pajak
Pajak Kurang Dibayar

Perlakuan atas pajak yang kurang dibayar
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 29)

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajaknya, kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Bentuk Fasilitas

Fasilitas yang diberikan pemerintah Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu 
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 31A ayat (1); PP Nomor 78 Tahun 2019)
 
Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal, baik Penanaman Modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud diatas, meliputi: Bidang-bidang Usaha Tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PP Nomor 78 Tahun 2019; dan/atau Bidang-bidang Usaha Tertentu dan Daerah-daerah Tertentu sebagaimana tercantum dalam  Lampiran II PP Nomor 78 Tahun 2019. Kemudian, Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud di atas dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut: 
a. memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk ekspor;
b. memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar; atau
c. memiliki kandungan lokal yang tinggi

Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi yang melakukan penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:

a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun yang dihitung sejak saat mulai berproduksi secara komersial;
     
b. penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal baru dan/atau perluasan usaha;
  1) untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud :
Kelompok Aktiva
Berwujud
Masa Manfaat
Menjadi
Tarif Penyusutan Berdasarkan Metode
Garis Lurus Saldo Menurun
I.   Bukan Bangunan  
     Kelompok I
     Kelompok II
     Kelompok III
     Kelompok IV
2 tahun
4 tahun
8 tahun
10 tahun
50%
25%
12,5%
10%
100% (dibebankan sekaligus)
50%
25%
20%
II. Bangunan  
     Permanen
    Tidak Permanen
10 tahun
5 tahun
10%
20%
-
-
  2) untuk amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud:
Kelompok Aktiva
Tak Berwujud
Masa Manfaat
Menjadi
Tarif Penyusutan Berdasarkan Metode
Garis Lurus Saldo Menurun
I.   Bukan Bangunan  
     Kelompok I
     Kelompok II
     Kelompok III
     Kelompok IV
2 tahun
4 tahun
8 tahun
10 tahun
50%
25%
12,5%
10%
100% (dibebankan sekaligus)
50%
25%
20%
     
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
     
d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.
1. tambahan 1 (satu) tahun untuk Penanaman Modal yang dilakukan Wajib Pajak;
2. tambahan 1 (satu) tahun apabila Penanaman Modal dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;
3. tambahan 1 (satu) tahun apabila Penanaman Modal dilakukan pada bidang energi baru dan terbarukan;
4. tambahan 1 (satu) tahun apabila mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
5. tambahan 1 (satu) tahun apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) paling lambat tahun pajak ke-2 (kedua);
6. tambahan 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun:
a) tambahan 1 (satu) tahun apabila menambah paling sedikit 300 (tiga ratus) orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) tahun berturut-turut; atau
b) tambahan 2 (dua) tahun apabila menambah paling sedikit 600 (enam ratus) orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) tahun berturut-turut;
7. tambahan 2 (dua) tahun apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman Modal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau
8. tambahan 2 (dua) tahun apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari nilai total penjualan dalam suatu tahun pajak, untuk Penanaman Modal pada bidang usaha yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang dilakukan di luar kawasan berikat.
 
Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
(PMK No 130/PMK.010/2020)


Wajib Pajak badan yang melakukan penanaman modal baru pada Industri Pionir dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Kegiatan Usaha Utama yang dilakukan. Nilai penanaman modal baru paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan sebesar:
a. 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang untuk penanaman modal baru pada Industri Pionir dengan nilai paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), dengan jangka waktu pengurangan sebagai berikut:
- selama 5 (lima) tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana penanaman modal paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan kurang dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
- selama 7 (tujuh) tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana penanaman modal paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dan kurang dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah);
- selama 10 (sepuluh) tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana penanaman modal paling sedikit Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) dan kurang dari Rp 15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah);
- selama 15 (lima belas) tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana penanaman modal paling sedikit Rp15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) dan kurang dari Rp30.000.000.000.000.00 (tiga puluh triliun rupiah);
- selama 20 (dua puluh) tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana penanaman modal paling sedikit Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun rupiah).
b. 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang untuk penanaman modal baru pada Industri Pionir dengan nilai paling sedikit  Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan paling banyak kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan jangka waktu pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan untuk 5 (lima) tahun pajak.
 
Setelah jangka waktu pemberian pengurangan tersebut berakhir, Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagai berikut:
a. sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan badan terutang selama 2 (dua) tahun pajak berikutnya untuk nilai penanaman modal baru dengan nilai paling sedikit Rp500.000.000.000,00(lima ratus miliar rupiah); atau
b. sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan badan terutang selama 2 (dua) tahun pajak berikutnya untuk nilai penanaman modal baru dengan nilai paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan paling banyak kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
 
Untuk dapat memperoleh pengurangan Wajib Pajak badan harus memenuhi kriteria:
a. merupakan Industri Pionir;
b. berstatus sebagai badan hukum Indonesia;
c. melakukan penanaman modal baru yang belum pernah diterbitkan:
1. keputusan mengenai pemberian atau pemberitahuan mengenai penolakan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
2. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
3. pemberitahuan mengenai pemberian pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya berdasarkan Pasal 29 A Peraturan Pemerintah mengenai penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan; dan
4. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan pada Kawasan Ekonomi Khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus;
d. mempunyai nilai rencana penanaman modal baru paling sedikit sebesar Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
e. memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan; dan
 
Industri Pionir sebagaimana dimaksud mencakup:
a. industri logam dasar hulu (besi baja dan bukan besi baja) dengan atau tanpa turunannya, yang terintegrasi;
b. industri pemurnian dan/atau pengilangan minyak dan gas bumi dengan atau tanpa turunannya, yang terintegrasi;
c. industri petrokimia berbasis minyak bumi, gas alam, atau batubara dengan atau tanpa turunannya, yang terintegrasi;
d. industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan, atau kehutanan dengan atau tanpa turunannya, yang terintegrasi;
e. industri kimia dasar anorganik dengan atau tanpa turunannya, yang terintegrasi;
f. industri bahan baku utama farmasi dengan atau tanpa turunannya, yang terintegrasi;
g. industri pembuatan peralatan iradiasi, elektromedikal, atau elektroterapi;
h. industri pembuatan komponen utama peralatan elektronika atau telematika;
i. industri pembuatan mesin dan komponen utama mesin;
j. industri pembuatan komponen robotik yang mendukung industri pembuatan mesin-mesin manufaktur;
k. industri pembuatan komponen utama mesin pembangkit tenaga listrik;
l. industri pembuatan kendaraan bermotor dan komponen utama kendaraan bermotor;
m. industri pembuatan komponen utama kapal;
n. industri pembuatan komponen utama kereta api;
o. industri pembuatan komponen utama pesawat terbang dan aktivitas penunjang industri dirgantara;
p. industri pengolahan berbasis hasil pertanian, perkebunan, atau kehutanan yang menghasilkan bubur kertas (pulp) tanpa atau beserta turunannya;
q. infrastruktur ekonomi; atau
r. ekonomi digital yang mencakup aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan yang berhubungan dengan itu.

Pemberian Fasilitas Super Deduction Tax
(PP No 45 Tahun 2019, PMK 128/PMK.010/2019, PMK 16/PMK.010/2020, PMK 153/PMK.010/2020)

Pemerintah juga memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan yang disebut sebagai Super Deduction Tax dalam rangka mendorong investasi pada industri padat karya, mendukung penciptaan lapangan kerja, dan mendorong tersedianya SDM yang berkualitas, serta mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan. Terdapat 3 (tiga) fasilitas perpajakan yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai berikut :.
1. Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto 60% (PMK 16/PMK.010/2020)

Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang (a) merupakan industri padat karya dan (b) tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan atau fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dapat diberikan fasilitas berupa pengurangan penghasilan neto 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha utama, yang dibebankan selama 6 tahun, dengan masing-masing pengurangan 10% per tahun.

Industri padat karya yang dimaksud harus memenuhi ketentuan sebagi berikut:
a. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri;
b. melakukan Kegiatan Usaha Utama sesuai bidang usaha dengan klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI) tahun 2017, memiliki cakupan produk tertentu, pada daerah tertentu, dengan persyaratan tertentu, sebagaimana tercantum dalam Lampiran A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
c. mempekerjakan tenaga kerja Indonesia atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan paling sedikit 300 (tiga ratus) orang.
   
2. Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto Paling Tinggi 200% (PMK 128/PMK.010/2019)

Wajib Pajak badan dalam negeri yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi yang bertujuan meningkatkan kualitas tenaga kerja untuk mencapai efektivitas dan efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari investasi sumber daya manusia, dan memenuhi struktur kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan dunia usaha dan/atau dunia industri diberikan fasilitas pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan dan/atau pembelajaran yang meliputi:
a. Pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran; dan
b. Tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan ketentuan memenuhi persyaratan:
- telah melakukan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu;
- memiliki Perjanjian Kerja Sama;
- tidak dalam keadaan rugi fiskal pada Tahun Pajak pemanfaatan tambahan pengurangan penghasilan bruto; dan
- telah menyampaikan Surat Keterangan Fiskal.
   
3. Fasilitas Penguranan Penghasilan Bruto Paling Tinggi 300% (153/PMK.010/2020)
 
Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia, yang bertujuan menghasilkan invensi, inovasi, penguasaan teknologi baru, dan/atau alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional, diberikan fasilitas Pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu meliputi:
a. pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
b. tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari akumulasi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan dalam jangka waktu tertentu yang meliputi:
- 50% (lima puluh persen) jika Penelitian dan Pengembangan menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT yang didaftarkan di kantor Paten atau kantor PVT dalam negeri;
- 25% (dua puluh lima persen) jika Penelitian dan Pengembangan menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT yang selain didaftarkan di kantor Paten atau kantor PVT dalam negeri, juga didaftarkan di kantor Paten atau kantor PVT luar negen;
- 100% (seratus persen) Pengembangan mencapai dan/atau jika Penelitian dan tahap Komersialisasi;
- 25% (dua puluh lima persen) jika Penelitian dan Pengembangan yang menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT dan/atau mencapai tahap Komersialisasi, dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah dan/atau lembaga pendidikan tinggi, di Indonesia.

Penelitian dan Pengembangan tertentu yang dapat diberikan tambahan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi sebesar 300% meliputi Penelitian dan Pengembangan yang:
a. dilakukan oleh Wajib Pajak, selain Wajib Pajak yang menjalankan usaha berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang penghasilan kena pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan tersendiri dalam kontrak yang berbeda dengan ketentuan umum di bidang Pajak Penghasilan;
b. mulai dilaksanakan paling lama sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
c. memenuhi kriteria:
1. bertujuan untuk memperoleh penemuan baru;
2. berdasarkan konsep atau hipotesa orisinal;
3. memiliki ketidakpastian atas hasil akhirnya;
4. terencana dan memiliki anggaran; dan
5. bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang bisa ditransfer secara bebas atau diperdagangkan di pasar; dan
d. merupakan Penelitian dan Pengembangan prioritas dengan fokus dan tema sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam PMK 153/PMK.010/2020
Prosedur Penilaian Kembali Aktiva Tetap
(79/PMK.03/2008)


Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap :
  1. seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna  bangunan; atau       
  2. seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.  
Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan.

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah. 

Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan.           

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.

Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen). 

Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang PPh.

PPh Final
Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen).

Penyusutan
Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut : 
  1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.       
  2. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut.       
  3. Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.        
Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut :           
  1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan.       
  2. Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan.       
  3. Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.  
Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.

Larangan
Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:           
  1. Aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru; atau       
  2. Aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun,
maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10% (sepuluh persen).           

Ketentuan tidak berlaku bagi:           
  1. Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau  kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan;       
  2. Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang mendapat persetujuan; atau       
  3. Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Selisih antara nilai pengalihan aktiva tetap perusahaan dengan nilai sisa buku fiskal pada saat pengalihan merupakan keuntungan atau kerugian berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh Badan Usaha Yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013 tentang Kewajiban Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan Yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, Atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 Tentang Penghitungan Dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pajak Penghasilan Atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer
  9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)    .
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2014 tentang Penggunaan Stempel Tanda Tangan Pada Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Pembayaran Dividen Kepada Para Pemegang Saham.
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 1/PJ/2023 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Menerapkan Penghitungan Pajak Penghasilan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
  12. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2009 tentang Jumlah Bruto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  13. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-58/PJ/2009 tentang Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/Pj/2009 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi.
  14. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2015 tentang Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Transaksi E-Commerce.
  16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2015 tentang Penegasan Perlakuan Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013 Tentang Kewajiban Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan Yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, Atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.
  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-70/PJ/2015 tentang Penegasan Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
Biaya Entertainment
(SE - 27/PJ.22/1986)


Biaya entertainment atau jamuan dan sejenisnya dapat dikurangkan sebagai biaya dengan syarat:
  1. Benar-benar dikeluarkan dan ada hubungannya dengan kegiatan usaha wajib pajak
  2. Dibuatkan daftar nominatif dan dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh, yang memuat nomor urut, tanggal dan jenis entertainment, nama tempat, alamat, jumlah, nama relasi, posisi, nama perusahaan, jenis usaha.

DAFTAR NOMINATIF BIAYA ENTERTAINMENT DAN SEJENISNYA
 
TAHUN PAJAK  :

Nomor Pemberian entertaiment dan sejenisnya Relasi usaha yang diberikan
entertainment dan sejenisnya
Keterangan
Tanggal Tempat Alamat Jenis Jumlah
(Rp)
Nama Posisi Nama
Perusahaan
Jenis
Usaha











                   
                     
Dasar Hukum
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 Tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2015 Tentang Pencabutan Beberapa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Terkait Dengan Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Di Bidang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dan Pajak Bumi Dan Bangunan
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2019 Tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-32/PJ/2010 Tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2020 Tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Untuk Tahun Pajak Berjalan Sehubungan Dengan Penyesuaian Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-hal Tertentu.
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ.31/1989 Tentang PPh Pasal 25 Bagi WP Orang Pribadi Yang Tidak Menerima Penghasilan Dari Usaha Atau Pekerjaan Bebas
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ.31/1991 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 628/KMK.04/1991 Mengenai Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Netto Dan PPh Pasal 25 Foreign Drilling Company
  8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ.42/1999 Tentang Penghitungan Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan Bagi Wajib Pajak Yang Berusaha Dalam Bidang Penambangan Umum Dalam Rangka Kontrak Karya Yang Pengenaan Pajaknya Berdasarkan Ordonasi Pajak Peseroan 1925
  9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ.41/2001 Tentang Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
  10. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-36/PJ/2013 Tentang Penghitungan Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan Bagi Wajib Pajak Yang Menjalankan Usaha Di Bidang Pertambangan Mineral Atau Batubara Dalam Rangka Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, Atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.
  11. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ/2014 Tentang Penegasan Perlakuan Tarif Pajak Penghasilan Badan Bagi Wajib Pajak Yang Menjalankan Usaha Di Bidang Pertambangan Berdasarkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Atau Kontrak Karya
PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(215/PMK.03/2018)

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak.
 
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak.

Pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing tempat tersebut merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
Permohonan Penilaian Kembali

Penilaian kembali aktiva tetap
(Pasal 19 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008)


Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.

Perusahaan adalah Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.

Prosedur pengajuan permohonan penilaian kembali aktiva tetap
(79/PMK.03/2008, PER-12/PJ./2009)

Wajib Pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan wajib mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar (KPP domisili), paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dengan menggunakan formulir sebagaimana yang telah ditentukan, dan dengan melampirkan:
  1. Fotokopi surat ijin usaha jasa penilai yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah yang berwenang menerbitkan surat ijin usaha tersebut;
  2. Laporan penilaian perusahaan jasa penilai atau ahli penilai profesional yang diakui Pemerintah;
  3. Daftar Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan sebagaimana dimaksud pada Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini;
  4. Laporan Keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aktiva tetap yang telah diaudit akuntan publik;
  5. Surat keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Permohonan Wajib Pajak yang terlambat diajukan atau tidak dilengkapi dengan lampiran sampai dengan batas waktu tidak dapat dipertimbangkan.

Apabila permohonan Wajib Pajak menurut hasil penelitian telah memenuhi persyaratan formal dan material, maka Kepala Kantor Wilayah wajib menerbitkan Keputusan Persetujuan Direktur Jenderal Pajak, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak.

Apabila permohonan Wajib Pajak menurut hasil penelitian tidak memenuhi persyaratan formal dan atau material, maka Kepala Kantor Wilayah wajib menerbitkan Keputusan Penolakan Direktur Jenderal Pajak, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak.

Apabila setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Kepala Kantor Wilayah belum menerbitkan Keputusan Persetujuan atau Keputusan Penolakan Direktur Jenderal Pajak, maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah wajib menerbitkan Keputusan Persetujuan Direktur Jenderal paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal berakhirnya batas waktu tersebut.
Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Berhak atas Kompensasi Kerugian
(KEP-537/PJ/2000)

1. Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan, Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 s.t.d.t.d UU No. 6 Tahun 2023.
   
2. Dasar perhitungan PPh adalah jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan PPh tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian.
   
3. Besarnya PPh Pasal 25 adalah sebesar PPh yang dihitung dengan dasar penghitungan dikurangi dengan PPh yang dipotong dan/atau dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
   
4. Apabila SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan PPh lainnya menyatakan rugi (lebih bayar atau nihil), maka besarnya PPh Pasal 25 adalah nihil.

Contoh :

Penghasilan Neto PT X tahun 2022 = Rp 120.000.000,00
Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan = Rp 150.000.000,00
Sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan di tahun 2022 = Rp   30.000.000,00

Perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2023 adalah sbb :
Penghasilan yang dijadikan dasar perhitungan PPh Pasal 25 adalah
= Rp    120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00
= Rp    90.000.000,00

PPh terutang tahun 2023 seolah-olah sebesar :
22% x Rp 90.000.000,00    Rp    19.800.000,00

Dengan asumsi dalam tahun 2022 besarnya PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain sebesar Rp 5.000.000,00, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 PT X tahun 2023 adalah = 1/12 x Rp 14.800.000,00 = Rp 1.233.333,33.
Saat terutang, saat pemotongan atau pemungutan
(PP Nomor 94 Tahun 2010)


Batas waktu pelaksanaan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan dikaitkan dengan saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah pada saat jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti : gaji dan dividen), saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalti, imbalan jasa teknik/jasa manajemen/jasa lainnya), atau saat tertentu lainnya. Saat terutangnya penghasilan tersebut juga ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut Pajak Penghasilan. Pada prinsipnya, saat yang menentukan kapan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan harus dilaksanakan adalah mana yang lebih dulu terjadi, saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. (PP Nomor 94 Tahun 2010 Pasal 8)

Untuk kemudahan, pelaksanaan pemotongan pajak dapat dilakukan pada saat terjadi pembayaran, walaupun sesuai dengan ketentuan saat terutangnya pemotongan pajak tersebut terjadi pada akhir bulan pembayaran. (PP Nomor 94 Tahun 2010 Pasal 8)

PPh Pasal 21
Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang- Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

PPh Pasal 22
Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.

PPh Pasal 23
Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

PPh Pasal 26
Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

PPh Pasal 26 ayat (4)
Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan, kecuali Wajib Pajak tersebut mendapat kemudahan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh izin perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir bersamaan dengan pengajuan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan, angsuran atau penundaan tersebut juga berlaku untuk pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4).

Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan dapat dikreditkan
(Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 20 (3))


Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.

Kredit Pajak
(PMK No. 12/PMK.03/2017)


Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi pihak yang dipotong dan/atau dipungut.

Sedangkan untuk Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final merupakan bukti pelunasan Pajak Penghasilan bagi pihak yang dipotong dan/atau dipungut.
Kredit Pajak Luar Negeri

Ketentuan pengkreditan Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 24, 192/PMK.03/2018)


Menurut ketentuan perpajakan, Wajib Pajak Dalam Negeri terutang pajak atas penghasilan kena pajak yang berasal dari seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri (World Wide Income). Untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dari luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, maka atas pajak yang dibayar atau terhutang dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dapat dikreditkan dengan pajak yang terhutang dalam tahun pajak yang sama.

Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
- Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
- Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut (SE - 22/PJ.4/1995 Jo SE - 35/PJ.4/1995)
- Untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
- Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.

Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terhutang di Indonesia adalah jumlah yang lebih rendah antara pajak yang dibayar atas penghasilan di luar negeri dengan jumlah yang dihitung menurut perbandingan tertentu, yaitu : jumlah penghasilan dari Luar Negeri / Total Penghasilan x jumlah PPh terhutang.

Apabila jumlah penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka perhitungan PPh pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.

Penentuan Sumber Penghasilan di Luar Negeri
(192/PMK.03/2018)


1. WPDN dikenai Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri. Penentuan sumber penghasilan di luar negeri dilakukan sebagai berikut:
  a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dansekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
  b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
  c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
  d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
  e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
  f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta  dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
  g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada; dan
  h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
  Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf h diatas merupakan cabang perusahaan, kantor perwakilan, dan bentuk usaha lainnya yang dipergunakan oleh WPDN untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di luar negeri. Penentuan sumber penghasilan di luar negeri selain penghasilan sebagaimana dimaksud diatas menggunakan prinsip penentuan sumber penghasilan di luar negeri. Selain penentuan sumber penghasilan diatas, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri dapat berasal dari Trust yang penentuan sumber penghasilannya adalah negara tempat Trust tersebut dibentuk atau didirikan yang penentuannya menggunakan prinsip yang sama.

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN wajib melakukan penggabungan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di Indonesia. Besarnya penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri ditentukan sebagai berikut:
a. penghasilan usaha termasuk penghasilan dari cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri adalah sebesar penghasilan neto;
b. penghasilan yang berasal dari Trust di luar negeri adalah sebesar penghasilan neto atau bagian penghasilan neto yang diterima atau diperoleh WPDN; dan
c. penghasilan lainnya adalah sebesar penghasilan neto.

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN tidak dapat memperhitungkan:
a. kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri, termasuk kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri yang diperoleh setelah memperhitungkan kerugian yang diperoleh dari harta atau kegiatan yang memiliki hubungan efektif dengan cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri; dan
b. kerugian lain yang diderita di luar negeri.
     
2. Dalam hal WPDN dikenai PPh Luar Negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri, PPh Luar Negeri tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
     
3. Tidak termasuk PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan berdasarkan Peraturan Menteri ini yaitu PPh Luar Negeri atas penghasilan berupa dividen. Tata cara pengkreditan PPh Luar Negeri atas penghasilan berupa dividen dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya oleh WPDN atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.

Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri
(192/PMK.03/2018)

- Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
     
- Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
     
- Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
  - jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif;
  - jumlah PPh Luar Negeri; dan
  - jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang tersebut.
     
- Dalam hal suami-istri sebagai WPDN menghendaki secara tertulis perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, atau istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri berdasarkan kehendak sendiri, besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan oleh masing-masing suami atau istri ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
  - jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri untuk masing-masing suami atau istri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif;
  - jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri untuk masing-masing suami atau istri; dan
  - jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri oleh masing-masing suami atau istri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yang ditanggung masing-masing suami atau istri.
     
- Dalam hal penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri berasal dari Trust, besarnya PPh Luar Negeri ditentukan sebagai berikut:
  - sebesar pajak penghasilan atau bagian pajak penghasilan atas penghasilan yang diperoleh WPDN, dalam hal Trust di luar negeri dikenai pajak penghasilan di tingkat Trust; dan
  - sebesar pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima WPDN, dalam hal Trust di luar negeri tidak dikenai pajak penghasilan di tingkat Trust.
     
- Dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dibanding jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan paling tinggi sebesar jumlah Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak.
     
- Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
     
- Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2)) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4)) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
     
- Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
     
- Untuk melaksanakan pengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri bagi WPDN yang mengkreditkan PPh Luar Negeri berupa;
  - salinan bukti pembayaran atau bukti pemotongan PPh Luar Negeri; atau
  - salinan bukti lainnya yang dapat menunjukkan adanya pembayaran atau pemotongan PPh Luar Negeri.
  - Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri sekurang-kurangnya memuat data atau informasi berupa nama WPDN dan jumlah PPh Luar Negeri.
   - Dalam hal WPDN memperoleh penghasilan usaha dan/atau penghasilan dari Trust di luar negeri yang dikenai pajak penghasilan di tingkat Trust, bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri dapat digantikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan yang disampaikan di luar negeri oleh cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri dan/atau surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau bukti pembayaran PPh Luar Negeri yang dilakukan oleh Trust.
     
- Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
     
- Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
     
- Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Contoh :

Contoh 1 :
WPDN, PT Indologo Tiga dalam Tahun Pajak 2018 menerima dan memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
- Penghasilan neto dari dalam negeri sebesar Rp 4.000.000.000,00.
- Di Negara X memperoleh penghasilan (laba neto) Rp 1.000.000.000,00, dimana PPh yang dibayar sebesar Rp 300.000.000,00, tidak terdapat pengurang penghasilan berupa bunga tersebut
- Di Negara Y memperoleh penghasilan (laba neto) sebesar Rp 3.000.000.000,00, dimana PPh yang dibayar sebesar Rp 450.000.000,00
- Di Negara Z menderita kerugian (rugi neto) dari penjualan harta sebesar Rp 250.000.000,00.

Perhitungan Kredit PPh Luar Negeri-nya adalah sbb :
Penghasilan neto dalam negeri Rp     4.000.000.000,00
Penghasilan neto dari Negara X Rp     1.000.000.000,00
Penghasilan neto dari Negara Y Rp     3.000.000.000,00
Jumlah Penghasilan Neto Rp     8.000.000.000,00 

Rugi neto yang berasal dari Negara Z tidak boleh digabung (tidak diakui).

Perhitungan PPh Terutang :
25% x Rp 8.000.000.000,00 Rp     2.000.000.000,00

Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri :
Negara X = (1 Milyar / 8 Milyar) x Rp 2.000.000.000,00 = Rp 250.000.000,00

PPh yang dapat dikreditkan hanya Rp 250.000.000,00 meskipun secara nyata membayar PPh di Negara X sebesar Rp 300.000.000,00. Sisanya tidak boleh dikompensasi ke tahun berikutnya, direstitusi, maupun dibebankan sebagai biaya.

Negara Y = (3 Milyar / 8 Milyar) x Rp 4.000.000.000,00 =Rp 750.000.000,00.

Dikarenakan jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y sebesar Rp450.000.000,00 lebih kecil dibandingkan dengan jumlah tertentu, maka jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y yang dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang di dalam negeri hanya sebesar PPh Luar Negeri, yaitu sebesar Rp450.000.000,00. Dengan demikian, jumlah PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan oleh PT Indologo Tiga terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di dalam negeri adalah sebesar Rp700.000.000,00 (Rp250.000.000,00 + Rp450.000.000,00). Kerugian dari negara Z tidak dapat digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.

Contoh 2 :

WPDN, PT Indologo Lima menerima dan memperoleh penghasilan neto dalam Tahun Pajak 2018 sebagai berikut:
-    Penghasilan neto (rugi) di dalam negeri Rp       (200.000.000,00)
-    Penghasilan neto dari usaha di Negara X Rp     1.000.000.000,00 
-    Jumlah Rp        800.000.000,00
-    PPh yang terutang di Negara X sebesar Rp        300.000.000,00
  
Perhitungan Kredit Pajak Luar Negeri :
Jumlah Penghasilan Neto (Penghasilan Kena Pajak) Rp 800.000.000,00
PPh Terutang :
25% x Rp 800.000.000,00 = Rp     200.000.000,00

Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri :
Karena jumlah Penghasilan Kena Pajaknya lebih kecil dari pada Penghasilan Neto dari Luar Negeri (di Dalam Negeri mengalami kerugian), maka maksimum Kredit Pajak Luar Negeri adalah sama dengan jumlah PPh yang terutang, yaitu Rp 200.000.000,00. PPh yang telah dibayar di Negara X adalah sebesar Rp 300.000.000,00, sehingga terdapat sisa sebesar Rp 100.000.000,00, yang tidak dapat dikompensasi ke tahun berikutnya, direstitusi, maupun diakui sebagai biaya.
Ketentuan Pembayaran Angsuran Bulanan

Ketentuan pembayaran angsuran bulanan oleh wajib pajak
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 25)


Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut pihak lain (PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23) dan PPh yang terutang di Luar Negeri yang boleh dikreditkan (PPh Pasal 24) dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh :
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2022

    Rp 50.000.000
     
dikurangi:
a.    PPh yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 25.000.000  
b.    PPh yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp   2.500.000  
c.    Kredit Pajak Penghasilan luar negeri  (Pasal 24) Rp   7.500.000 (+)  
Jumlah kredit pajak   Rp 35.000.000 (-)
Selisih   Rp 15.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2023 adalah sebesar Rp 1.250.000 (Rp15.000.000 dibagi 12).

Besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sama dengan besarnya angsuran PPh untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.

Contoh : SPT Tahunan PPh Badan akan disampaikan pada tanggal 30 April 2023, maka angsuran PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Januari s/d Maret 2023, mengikuti besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember 2022.

Angsuran Bulanan PPh Pasal 25 apabila Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak atas Tahun Pajak Yang Lalu
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 25)


Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka angsuran PPh dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dimana perubahan angsuran berlaku mulai bulan berikutnya setelah diterbitkannya surat ketetapan pajak.

Contoh :
Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2022 yang disampaikan pada bulan April 2023, perhitungan angsuran PPh yang harus dibayar adalah Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juli 2023 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menghasilkan besaran angsuran PPh setiap bulan menjadi sebesar Rp 2.000.000,00.

Berdasarkan penghitungan tersebut, besarnya angsuran PPh mulai bulan Agustus 2023 adalah Rp 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran PPh berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya bedasarkan SPT Tahunan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 Tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 Tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 Tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 Tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 Tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak Atas Penghasilan Dari Luar Negeri
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 Tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Memperoleh Penghasilan Tidak Teratur
(KEP-537/PJ/2000)

1. Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan/atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final. Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
   
2. Dasar penghitungan PPh adalah jumlah penghasilan neto menurut SPT PPh tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam SPT Tahunan tersebut.
   
3. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah PPh yang dihitung dengan dasar penghitungan dikurangi dengan PPh yang dipotong dan/atau dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh :
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2022 adalah Rp 48.000.000,00, dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 tahun yang dibayar secara sekaligus di tahun 2022 adalah Rp 72.000.000,00.

Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima di tahun 2022, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2023 adalah hanya berdasarkan penghasilan teratur, yaitu dari usaha dagang dalam tahun 2022.
Pengertian

Pemotongan/Pemungutan Pajak
(PMK No. 12/PMK.03/2017)


Dalam aturan PMK Nomor 12/PMK.03/2017, disebutkan bahwa :
  1. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.
  2. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Bukti Pemotongan PPh adalah dokumen berupa formulir atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh Pemotong Pajak Penghasilan sebagai bukti atas pemotongan Pajak Penghasilan yang dilakukan dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong.
  3. Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Bukti Pemungutan PPh adalah dokumen berupa formulir atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh Pemungut Pajak Penghasilan sebagai bukti atas pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipungut.
Prosedur Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
(Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 20 (1))


Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.

Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui :
  1. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dalam Pasal 21, pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
  2. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat dilakukannya transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.
Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Mengalami Perubahan Keadaan Usaha
(KEP-537/PJ/2000)

1. Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat berupa penurunan atau peningkatan usaha.
Misalnya, PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2023 membayar angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000,00. Dalam bulan Juli 2023 pabrik milik PT B terbakar, sehingga Dirjen Pajak mengeluarkan keputusan bahwa mulai bulan Juli 2023 angsuran PPh-nya disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00. Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, Dirjen Pajak dapat mengeluarkan keputusan tentang penyesuaian besarnya angsuran PPh PT B menjadi lebih besar.
   
2. Apabila setelah 3 bulan atau lebih dalam suatu tahun pajak Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 25, Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 kepada Kepala KPP setempat.
   
3. Syarat-syarat permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 :
  • Diajukan secara tertulis
  • Menyampaikan perhitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang diterima/diperoleh, dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang masih tersisa dari tahun pajak ybs.
4. Kepala KPP ybs akan memberikan keputusan dalam jangka waktu 1 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap. Apabila dalam jangka waktu 1 bulan belum diberikan keputusan, berarti permohonan dikabulkan.
   
5. Apabila dalam suatu tahun pajak Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari PPh yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 25, maka PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang masih tersisa dihitung kembali berdasarkan perkiraan PPh yang terutang di tahun tersebut.
Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Membetulkan SPT Tahunan PPh
(KEP-537/PJ./2000)

- PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan dan berlaku mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut.
   
- Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT harus disetor dan terutang bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 masing-masing bulan s.d. tanggal penyetoran (akan ditagih dengan STP).
   
- Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT tersebut dapat diperhitungkan dengan angsuran bulan berikutnya, dengan cara pemindahbukuan.
PPh Pasal 25 untuk Karyawan yang Bekerja Lebih Dari Satu Pemberi Kerja
(KEP-207/PJ/2001 jo. SE-17/PJ.31/1989 jo. SE-21/PJ.41/2001)
  • Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 25 UU PPh, besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak, adalah sebesar pajak yang terutang pada tahun pajak yang lalu dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak ketiga (PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23) serta pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan (PPh Pasal 24), dibagi dengan banyaknya masa pajak.
  • Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP), ketentuan di atas berlaku baik untuk WP OP yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun untuk WP OP yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan.
  • Sesuai dengan uraian di atas, dalam hal seorang Wajib Pajak bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja, apabila keseluruhan penghasilan netonya digabungkan dalam SPT Tahunan PPh (Formulir 1770) menghasilkan jumlah pajak yang masih harus dibayar sendiri (huruf N angka 14 Formulir 1770), maka yang bersangkutan tetap wajib mengisi huruf Q angka 18 Formulir 1770, yaitu jumlah angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
  • Sesuai dengan butir 4 SE-21/PJ.41/2001, WP OP yang memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja walaupun telah dipotong PPh Pasal 21 oleh masing-masing pemberi kerja, apabila yang bersangkutan mempunyai kewajiban PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan, maka harus membayar dan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 ke KPP dimana WP OP terdaftar.
Prosedur Permohonan Penggunaan Nilai Buku
(52/PMK.010/2017 jo 205/PMK.010/2018)

1. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan atau menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha dengan menggunakan nilai buku wajib memenuhi syarat sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha dilakukan, dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha;
b. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test); dan
c. memperoleh surat keterangan fiskal dari Direktur Jenderal Pajak untuk tiap Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang terkait.
   
2. Permohonan sebagaimana dimaksud diajukan oleh :
a. Wajib Pajak yang menerima harta, untuk penggabungan usaha, peleburan usaha, atau pengambilalihan usaha; atau
b. Wajib Pajak yang mengalihkan harta untuk pemekaran usaha atau pengambilalihan usaha.
   
3. Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan tujuan melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha;
b. surat pernyataan yang menerangkan bahwa penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha yang dilakukan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test); dan
c. surat keterangan fiskal dari Direktur Jenderal Pajak untuk tiap Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang terkait.
   
4. Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran usaha mendapatkan tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), selain dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada poin 3, juga harus dilengkapi dengan:
a. akta pendirian atau perubahan dari Wajib Pajak hasil pemekaran usaha yang mencantumkan jumlah penanaman modal baru dari penanam modal asing; dan
b. bukti realisasi atau setoran penuh tambahan modal dalam akta pendirian atau akta perubahan.
   
5. Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia, sepanjang pemekaran usaha dilakukan terkait pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara, selain dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada poin 3, juga harus dilengkapi dengan surat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara.
   
6. Permohonan yang diajukan oleh:

Wajib Pajak badan yang melakukan pemisahan usaha sehubungan dengan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara dengan syarat:
a. restrukturisasi dilakukan paling lama terhitung sejak awal Tahun Pajak 2021;
b. pengalihan harta tidak dilakukan dengan cara jual beli atau pertukaran harta; dan
c. restrukturisasi serta pengalihan harta telah memperoleh persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara;

atau
Wajib Pajak badan yang melakukan pengambilalihan usaha dengan cara mengalihkan kepemilikan atas saham Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimilikinya tersebut kepada Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya, yang dilakukan sehubungan dengan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara, dengan syarat:
- kepemilikan atas saham Wajib Pajak badan dalam negeri yang dialihkan:
a) lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham dengan hak suara yang telah disetor penuh; atau
b) mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijakan atas Wajib Pajak badan dalam negeri yang dialihkan;
- dalam hal Wajib Pajak badan dalam negeri yang diambil alih berbentuk perseroan terbuka, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
- restrukturisasi dilakukan paling lama terhitung sejak awal Tahun Pajak 2021;
- pengalihan harta tidak dilakukan dengan cara jual beli atau pertukaran harta; dan
- restrukturisasi serta pengalihan harta telah memperoleh persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara,

Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak tersebut di atas, selain dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada poin 3, juga harus dilengkapi dengan:
a. surat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara; dan
b. akta pemisahan usaha atau pengambilalihan usaha.
   
6. Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Keputusan persetujuan atau penolakan permohonan, paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak diterimanya permohonan Wajib Pajak secara lengkap.
   
5. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, terhadap permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
   
6. Terhadap permohonan yang dianggap disetujui, Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan terlampaui, harus menerbitkan keputusan persetujuan penggunaan nilai buku dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
PPh Pasal 25 Bagi BUMN/BUMD
(522/KMK.04/2000 jo. 394/KMK.03/2001 jo. 84/KMK.03/2002 jo. 215/PMK.03/2018)

PPh Pasal 25 = (PPh Terutang berdasarkan RKAP yang telah disahkan - PPh Pasal 22, 23, 24 Tahun Lalu), dibagi 12 (dua belas). Dalam hal terdapat kompensasi kerugian yang masih dapat dikompensasi : kompensasi kerugian tersebut diperhitungkan dalam penghitungan PPh terutang berdasarkan RKAP.
 
RKAP harus disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak lewat dari batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 Masa Pajak pertama Tahun Pajak berjalan 
 
RKAP Belum Disahkan
  • PPh Pasal 25 sebelum RKAP disahkan sama dengan PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun lalu.
  • Apabila RKAP telah disahkan PPh Pasal 25 harus dihitung kembali berdasarkan RKAP tersebut.
  • Apabila PPh Pasal 25 setelah penghitungan kembali lebih besar, atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 wajib disetor pada Masa Pajak saat RKAP disampaikan dan Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam UU KUP.
  • Apabila PPh Pasal 25 setelah penghitungan kembali lebih kecil, maka atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 Masa-Masa Pajak berikutnya.
Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Menyampaikan SPT Lewat Batas Waktu
(KEP-537/PJ./2000)

1. Wajib Pajak Tidak diberi Ijin Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT
  - Besarnya angsuran PPh Pasal 25 mulai batas waktu s.d. bulan disampaikannya SPT sama dengan angsuran bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
  - Setelah SPT Tahunan PPh disampaikan, besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung kembali bedasarkan SPT Tahunan PPh yang disampaikan.
  - Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT harus disetor dan terutang bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 masing-masing bulan s.d. tanggal penyetoran (akan ditagih dengan STP).
  - Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan setor mulai batas waktu penyampaian SPT tersebut dapat diperhitungkan dengan angsuran bulan berikutnya, dengan cara pemindahbukuan.
     
2. Wajib Pajak Diberi Ijin Pepanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT
  - Besarnya angsuran PPh Pasal 25 mulai batas waktu penyampaian SPT s.d. bulan disampaikannya SPT dihitung berdasarkan perhitungan sementara PPh terutang yang disampaikan Wajib Pajak.
  - Setelah SPT Tahunan PPh disampaikan, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan tersebut.
  - Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT harus disetor dan terutang bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 masing-masing bulan s.d. tanggal penyetoran (akan ditagih dengan STP).
  - Apabila terjadi lebih setor, kelebihan setor mulai batas waktu penyampaian SPT tersebut dapat diperhitungkan dengan angsuran bulan berikutnya, dengan cara pemindahbukuan.
PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak BUT Pengeboran Minyak dan Gas Bumi
(SE - 21/PJ.31/1991 jo 628/KMK.04/1991)

- Besarnya angsuran PPh 25 bagi BUT Drilling tiap bulan ditetapkan :
{tarif pasal 17 UU PPh  x (penghasilan neto dari usaha drilling bulan yang bersangkutan yang disetahunkan  + penghasilan neto dari usaha lain bulan yang bersangkutan yang disetahunkan)} / 12
   
- Angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Drilling Minyak dan Gas Bumi selain BUT dihitung berdasar ketentuan umum penghitungan PPh Pasal 25 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
   
- Penghasilan netto dari usaha di bidang pengeboran minyak dan gas bumi bulan yang bersangkutan yang dihitung dengan penerapan Norma Penghitungan Khusus (sebesar 15%)
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.010/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.010/2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya
(522/KMK.04/2000 jo. 394/KMK.03/2001 jo. 84/KMK.03/2002 jo. 215/PMK.03/2018)

- Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Dasar penghitungan PPh Pasal 25 adalah laporan keuangan yang disampaikan setiap 3 bulan kepada bursa dan/atau Otoritas Jasa Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak awal Tahun Pajak s.d. periode yang dilaporkan.
- PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan dikurangi dengan:
  1. PPh yang dipotong dan/atau dipungut (PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23) sejak awal Tahun Pajak s.d. Masa Pajak yang dilaporkan; dan
  2. PPh Pasal 25 yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak s.d. Masa Pajak periode yang dilaporkan.
Angsuran PPh Pasal 25 tersebut merupakan Angsuran PPh Pasal 25 untuk 3 (tiga) Masa Pajak setelah periode yang dilaporkan.
- Penghasilan Neto tidak termasuk penghasilan dari luar negeri dan penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai PPh final dan/atau bukan objek PPh. Jika terdapat kerugian yang dapat dikompensasikan, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto.

Laporan Keuangan Belum Disampaikan

- PPh Pasal 25 dalam hal laporan keuangan belum dilaporkan sama dengan PPh Pasal 25 bulan Masa Pajak sebelumnya
- Apabila laporan keuangan telah disampaikan, maka besarnya Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian laporan s.d. bulan sebelum disampaikan laporan tersebut dihitung kembali terhitung mulai batas waktu penyampaian laporan.
- Apabila PPh Pasal 25 setelah penghitungan kembali lebih besar, atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 wajib disetor pada Masa Pajak saat laporan keuangan disampaikan dan Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam UU KUP.
- Apabila PPh Pasal 25 setelah penghitungan kembali lebih kecil, maka atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 Masa-Masa Pajak berikutnya.
PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Bank
(522/KMK.04/2000 jo. 394/KMK.03/2001 jo. 84/KMK.03/2002 jo. 215/PMK.03/2018)

Dasar penghitungan PPh Pasal 25 adalah laporan keuangan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak awal Tahun Pajak s.d. Masa Pajak yang dilaporkan.
PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan dikurangi dengan:
  1. PPh yang dipotong dan/atau dipungut (PPh Pasal 22) sejak awal Tahun Pajak s.d. Masa Pajak yang dilaporkan; dan
  2. PPh Pasal 25 yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak s.d. Masa Pajak sebelum Masa Pajak yang dilaporkan.
Penghasilan Neto tidak termasuk penghasilan dari luar negeri dan penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai PPh final dan/atau bukan objek PPh. Jika terdapat kerugian yang dapat dikompensasikan, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto

Laporan Keuangan Belum Disampaikan
- PPh Pasal 25 dalam hal laporan keuangan belum dilaporkan sama dengan PPh Pasal 25 bulan Masa Pajak sebelumnya
- Apabila laporan keuangan telah disampaikan, maka besarnya Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian laporan s.d. bulan sebelum disampaikan laporan tersebut dihitung kembali terhitung mulai batas waktu penyampaian laporan.
- Apabila PPh Pasal 25 setelah penghitungan kembali lebih besar, atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 wajib disetor pada Masa Pajak saat laporan keuangan disampaikan dan Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam UU KUP.
- Apabila PPh Pasal 25 setelah penghitungan kembali lebih kecil, maka atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 Masa-Masa Pajak berikutnya.
Pengertian
(52/PMK.010/2017 jo 205/PMK.010/2018 jo 56/PMK.010/2021)

Penggabungan usaha yang dapat menggunakan nilai buku yaitu:
a. penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada salah satu Wajib Pajak badan yang tidak mempunyai sisa kerugian fiskal atau mempunyai sisa kerugian fiskal yang lebih kecil dan membubarkan Wajib Pajak badan yang mengalihkan harta dan kewajiban  tersebut; atau
b. penggabungan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri  dengan Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mengalihkan seluruh harta dan kewajiban badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dan membubarkan badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut.

Peleburan usaha yang dapat menggunakan nilai buku yaitu:
a. peleburan dari dua atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru di Indonesia dan mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada Wajib Pajak badan baru serta membubarkan Wajib Pajak badan yang melebur tersebut; atau
b. peleburan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mendirikan badan usaha baru di Indonesia dan mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada badan usaha baru serta membubarkan badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dan Wajib Pajak badan dalam negeri yang melebur tersebut.

Pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku yaitu:
a. pemisahan usaha satu Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak badan dalam negeri atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut, yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama;
b. pemisahan usaha satu Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada satu atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, yang dilakukan tanpa membentuk badan usaha baru dan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama, dan merupakan pemecahan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai; atau
c. suatu rangkaian tindakan untuk melakukan pemisahan usaha dua atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan sebagian harta dan kewajiban dari usaha yang dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan tersebut kepada satu badan usaha tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

Wajib Pajak yang dapat melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada huruf a yaitu :
1. Wajib Pajak yang belum Go Public yang bermaksud melakukan penawaran umum perdana saham;
2. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran usaha melakukan penawaran umum perdana saham;
3. Wajib Pajak badan yang melakukan pemisahan unit usaha syariah untuk menjalankan kewajiban pemisahan usaha berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. Wajib Pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran usaha mendapatkan tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); atau
5. Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia, sepanjang pemekaran usaha dilakukan terkait pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara.

Wajib Pajak yang dapat melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c yaitu:
1. Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia, sepanjang pemekaran usaha dilakukan terkait pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara; atau
2. Wajib Pajak badan yang melakukan pemisahan usaha sehubungan dengan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara dengan syarat:
  • restrukturisasi dilakukan paling lama terhitung sejak awal Tahun Pajak 2021;
  • pengalihan harta tidak dilakukan dengan cara jual beli atau pertukaran harta; dan
  • restrukturisasi serta pengalihan harta telah memperoleh persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara.
 
Pengambilalihan usaha yang dapat menggunakan nilai buku yaitu :
a. pengambilalihan usaha Bentuk Usaha Tetap yang menjalankan kegiatan di bidang usaha bank yang dilakukan dengan cara mengalihkan seluruh atau sebagian harta dan kewajiban Bentuk Usaha Tetap kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dan membubarkan Bentuk Usaha Tetap tersebut; atau
b. pengambilalihan usaha dari suatu Wajib Pajak badan dalam negeri dengan cara mengalihkan kepemilikan atas saham Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimilikinya tersebut kepada Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya, yang dilakukan sehubungan dengan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara, dengan syarat:
1. kepemilikan atas saham Wajib Pajak badan dalam negeri yang dialihkan:
a) lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham dengan hak suara yang telah disetor penuh; atau
b) mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijakan atas Wajib Pajak badan dalam negeri yang dialihkan;
2. dalam hal Wajib Pajak badan dalam negeri yang diambil alih berbentuk perseroan terbuka, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
3. restrukturisasi dilakukan paling lama terhitung sejak awal Tahun Pajak 2021;
4. pengalihan harta tidak dilakukan dengan cara jual beli atau pertukaran harta; dan
5. restrukturisasi serta pengalihan harta telah memperoleh persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara.
Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru

Pengertian
(215/PMK.03/2018)


Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru terdaftar pada suatu Tahun Pajak, termasuk Wajib Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pengambilalihan usaha dan/atau perubahan bentuk badan usaha.

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru selain Wajib Pajak Baru yang merupakan Wajib Pajak bank, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak BUMN/ BUMD, Wajib Pajak Lainnya, Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, Wajib Pajak baru dalam rangka penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha, Wajib Pajak baru dalam rangka pemekaran usaha, serta Wajib Pajak baru yang merupakan hasil perubahan bentuk badan usaha, pada Tahun Pajak berjalan ditetapkan nihil.
 
PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru yang Merupakan Wajib Pajak Bank, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak BUMN/BUMD, Wajib Pajak Lainnya, dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(215/PMK.03/2018)
 
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru yang merupakan:
a. Wajib Pajak bank;
b. Wajib Pajak masuk bursa;
c. Wajib Pajak badan usaha milik negara;
d. Wajib Pajak badan usaha milik daerah;
e. Wajib Pajak Lainnya; dan/atau
f. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu,
 
mengikuti ketentuan penghitungan khusus untuk masing-masing Wajib Pajak tersebut yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 7 PMK No. 215/PMK.03/2018.
 
PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, dan/atau Pengambilalihan Usaha
(215/PMK.03/2018)
 
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru dalam rangka penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha pada sisa Tahun Pajak berjalan ditetapkan sebesar penjumlahan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha.
 
PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru Dalam Rangka Pemekaran Usaha
(215/PMK.03/2018)
 
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak dalam rangka pemekaran usaha, jumlah Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk seluruh Wajib Pajak hasil pemekaran usaha ditetapkan sebesar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum pemekaran usaha.
 
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk masing-masing Wajib Pajak hasil pemekaran usaha dihitung berdasarkan persentase nilai harta yang dialihkan.
 
PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru yang Merupakan Hasil Perubahan Bentuk Badan Usaha pada Tahun Pajak Berjalan
(215/PMK.03/2018)
 
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru yang merupakan hasil perubahan bentuk badan usaha pada Tahun Pajak berjalan ditetapkan sebesar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir sebelum terjadinya perubahan bentuk badan usaha.
Perlakuan Perpajakan atas Penggabungan, Peleburan, dan Pemekaran Usaha
(52/PMK.010/2017 jo 205/PMK.010/2018 jo 56/PMK.010/2021)

1. Wajib Pajak yang menerima harta dengan menggunakan nilai buku, tidak boleh mengompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak badan, Bentuk Usaha Tetap, atau badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang mengalihkan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha.
     
2. Wajib Pajak dalam negeri yang menerima harta dalam rangka penggabungan usaha atau peleburan usaha, tidak dapat membebankan pajak dan/atau pungutan lain yang terutang di luar negeri dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang mengalihkan harta.
     
3. Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha mencatat nilai perolehan harta tersebut sesuai nilai buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak yang mengalihkan. Nilai buku yang dimaksud adalah:
  a) nilai perolehan dikurangi akumulasi penyusutan atau akumulasi amortisasi, untuk harta yang dilakukan penyusutan atau amortisasi; atau
  b) nilai perolehan untuk harta yang tidak dilakukan penyusutan atau amortisasi.
  Penyusutan atau amortisasi atas harta yang diterima sebagaimana di atas dilakukan berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak yang mengalihkan harta.
     
4. Kemudian, dalam hal terdapat utang piutang antara Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dan Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha, pencatatannya dilakukan dengan cara saling hapus (offset) serta tidak diakui adanya pendapatan atas penghapusan utang dan biaya atas penghapusan piutang.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.011/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 20/PJ.4/1995 Tentang Besarnya Cadangan Yang Boleh Dibebankan Sebagai Biaya (Seri PPh Umum Nomor 8)
Cadangan Reklamasi Pertambangan

Cadangan biaya reklamasi pada Perusahaan Pertambangan
(SE - 20/PJ.4/1995 Jo. 219/PMK.011/2012)


Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
  • Perusahaan pertambangan dapat membentuk cadangan biaya reklamasi.
  • Cadangan biaya reklamasi tersebut dihitung dengan menggunakan metode satuan produksi atas dasar taksiran biaya reklamasi.
  • Misalnya ; Perusahaan Pertambangan Z diwajibkan untuk melakukan reklamasi atas tanah yang sudah selesai dilakukan penambangannya. Besarnya biaya reklamasi ditaksir sebesar Rp 5 Milyar. Sementara itu, jumlah kandungan tambang yang terdapat dilokasi tersebut ditaksir sebesar 20 Juta ton. Apabila perusahaan tersebut dalam tahun 1998 menghasilkan 1 Juta ton hasil tambang, maka besarnya cadangan biaya reklamasi yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah = (1/20) x Rp 5 Milyar = Rp 250 Juta.
  • Cadangan biaya reklamasi yang dibentuk dan dipupuk oleh perusahaan penambangan wajib disimpan dalam bentuk deposito di Bank Pemerintah.
  • Besarnya biaya reklamasi yang sesungguhnya dikeluarkan dibebankan pada perkiraan cadangan reklamasi.
  • Apabila setelah berakhirnya masa kontrak atau selesainya penambangan terdapat selisih antara besarnya cadangan dengan jumlah biaya yang sebenarnya dikeluarkan maka selisih tersebut diakui dalam perhitungan rugi laba pada akhir tahun tersebut (merupakan penghasilan atau biaya).
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  4. Peraturan Pemerintan Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura Dari Transaksi Penjualan Saham Atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usahanya
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian Sebagai Objek Pajak Atas Keuntungan Karena Pembebasan Utang Debitur Kecil
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
  14. Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian
  15. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
  16. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
  17. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
  18. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi
  19. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi
  20. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
  21. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
  22. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan Dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
  23. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  24. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka Yang Diperdagangkan Di Bursa
  25. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya
  26. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan
  27. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  28. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap
  29. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Di Bidang Pajak Penghasilan
  30. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2010 tentang Penentuan Kembali Besarnya Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan Lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia
  31. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia
  32. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.010/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Surplus Bank Indonesia
  33. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
  34. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Untuk Kegiatan Usaha Pembiayaan Syariah
  35. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  36. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 205/PMK.010/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  37. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 56/PMK.010/2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  38. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
  39. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.03/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
  40. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.02/2022 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Kekayaan Negara Dipisahkan Oleh Bendahara Umum Negara
  41. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura Pada Perusahaan Mikro, Kecil, Dan Menengah
  42. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
  43. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 03/PJ/2021 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  44. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 21/PJ/2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2021 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha
  45. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 33/PJ/2009 tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa royalti dari hasil Karya Sinematografi
  46. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 11/PJ/2015 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan
  47. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 30/PJ/2018 tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Dalam Rangka Simplifikasi Regulasi
  48. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 184/PJ./2002 tentang Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non Performing
  49. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 390/PJ/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa      
  50. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 06/PJ.313/1994 tentang Perlakuan PPh Atas WP Pengusaha Lapangan Golf
  51. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 34/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Yayasan Atau Organisasi Yang Sejenis (Seri PPh Umum Nomor 15)
  52. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 34/PJ.42/1996 tentang Perlakuan PPh Atas Uang Jaminan Keanggotaan Club Membership (Seri PPh Umum Nomor 39)
  53. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 03/PJ.43/1998 tentang Perlakuan Perpajakan Penghasilan Bunga (Bunga Deposito) Terhadap Premi Swap Dan Forward
  54. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 03/PJ.42/2000 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Premi Asuransi Yang Berjangka Waktu Lebih Dari 1 (Satu) Tahun
  55. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 01/PJ.33/2005 tentang Pemberian Imbalan Bunga Kepada Wajib Pajak
  56. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 29/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha
Pengertian Objek Pajak
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 4 (1))

Objek Pajak adalah penghasilan

Penghasilan adalah :
1. setiap tambahan kemampuan ekonomis
2. yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
3. baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
4. yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan
5. dengan nama dan dalam bentuk apapun

Jenis-jenis Penghasilan
(Penjelasan - UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 4 (1))

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak ataupun harta tak bergerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Jenis-jenis Objek Pajak Penghasilan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 4 (1) & Penjelasan, PP Nomor 94 Tahun 2010)

1. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang PPh :
- Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti; upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya merupakan objek pajak.
- Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
- Yang dimaksud imbalan dalam bentuk natura adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang, sedangkan imbalan dalam bentuk kenikmatan adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan.
- Selain itu termasuk dalam pengertian penghasilan meliputi gratifikasi yang merupakan pemberian yang wajar karena layanan dan manfaat yang diterima oleh pemberi gratifikasi sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan atau pemberian jasa.
   
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan :
- Meliputi hadiah dari undian, pekerjaan, serta kegiatan seperti : hadiah undian tabungan dan hadiah dari pertandingan olahraga.
- Yang dimaksud penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
   
3. Laba usaha
   
4. Keuntungan penjualan atau pengalihan harta (capital gain), termasuk :
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.
b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.

Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.
   
Keuntungan atas pengalihan harta bukan merupakan objek PPh dalam hal :
- Pengalihan harta sebagai bantuan atau sumbangan atau hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk Koperasi yang ditetapkan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan (SE - 05/PJ.4/1995).
- Pengalihan harta sebagai bantuan atau sumbangan atau hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk Koperasi yang ditetapkan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan (SE - 05/PJ.4/1995).
- Pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha wajib pajak yang diperkenankan melakukan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dengan nilai buku (perusahaan yang akan menjual sahamnya di bursa efek). (PMK 52/PMK.010/2017).

Artinya, baik bagi pihak yang mengalihkan maupun pihak yang menerima pengalihan tidak terdapat keuntungan yang merupakan objek PPh. Pihak yang mengalihkan pun tidak dapat membebankan nilai sisa buku fiskal aktiva tersebut sebagai biaya (non deductible).

   
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.

Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
   
6. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang :
- Premium terjadi apabila obligasi dijual di atas nilai nominalnya. Sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya.
- Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi, sedangkan diskonto merupakan penghasilan bagi pihak yang membeli obligasi.
   
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, yaitu terdiri dari :
- Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun 
- Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor
- Pemberian saham bonus tanpa penyetoran, termasuk saham bonus dari kapitalisasi agio saham, kecuali : apabila jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tersebut tidak melebihi jumlah setoran modalnya (PP Nomor 94 Tahun 2010)
- Pembagian laba dalam bentuk saham (dividen saham)
- Pencatatan tambahan modal tanpa penyetoran, kecuali yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap (PP Nomor 94 Tahun 2010)
- Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan
- Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetor, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali tersebut akibat dari pengecilan modal (statuter) yang dilakukan secara sah
- Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut
- Bagian laba sehubungan dengan kepemilikan obligasi
- Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis
- Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
   
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas :
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa :
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
   
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta bergerak atau harta tak bergerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
   
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran secara berkala, misalnya alimentasi atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
   
11. Keuntungan karena pembebasan utang :
- Pembebasan utang merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berutang dan biaya bagi pihak yang semula berpiutang.
- Pembebasan utang debitur kecil, seperti Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai jumlah tertentu dikecualikan dari objek PPh.
- Utang debitur kecil adalah utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 350 Juta (PP Nomor 130 Tahun 2000)
   
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing :

Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
   
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 
   
14. Premi asuransi yang diterima atau diperoleh perusahaan asuransi dari para peserta asuransi (pemegang polis).
   
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
   
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak:
- Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya merupakan akumulasi penghasilan baik penghasilan yang telah dikenakan pajak, yang belum dikenakan pajak, maupun penghasilan yang bukan objek pajak.
- Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan merupakan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan (objek pajak).
   
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak.
   
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
   
19.  Surplus Bank Indonesia. (PMK 86/PMK.010/2015)

Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.

Laporan keuangan audit merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia, dilakukan atas:
a. pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing;
b. pengakuan biaya penyisihan aktiva; dan
c. pengakuan biaya penurunan nilai aktiva secara langsung; dan
d. penyusutan aktiva tetap.
Fasilitas PPh Ditanggung Pemerintah
(9/PMK.03/2021 jo 3/PMK.03/2022) 


PPh Pasal 21 DTP

Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh Pemberi Kerja ditanggung Pemerintah atas penghasilan yang diterima Pegawai dengan kriteria tertentu.

Penghasilan yang diterima Pegawai dengan kriteria tertentu meliputi:
a. menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja yang:
  1. memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak Yang Mendapatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP);
  2. telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
  3. telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PD KB;
b. memiliki NPWP; dan   
c. pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

PPh Pasal 21 DTP harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai, termasuk dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai.

Insentif PPh Final Berdasarkan Peraturan Pemerintah

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, dikenai PPh final sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah peredaran bruto ditanggung oleh Pemerintah.

Insentif PPh Final Jasa Konstruksi  (3/PMK.03/2022) 

Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai PPh yang bersifat final, dilunasi dengan cara:
  1. dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan Pemotong Pajak; atau
  2. disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan Pemotong Pajak.
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI tersebut ditanggung Pemerintah.

Insentif PPh Pasal 22 Impor (3/PMK.03/2022) 

PPh Pasal 22 Impor dibebaskan dari pemungutan kepada Wajib Pajak yang memiliki kode klasifikasi lapangan usaha yang mendapatkan insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor.

Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan
PPh Pasal 22 Impor.

Insentif Angsuran PPh Pasal 25 (3/PMK.03/2022) 

Atas angsuran PPh Pasal 25, diberikan pengurangan sebesar 50% (lima puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang bagi Wajib Pajak yang memiliki kode klasifikasi lapangan usaha yang mendapatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.

Insentif sebagaimana yang dijelaskan diatas diberikan dalam jangka waktu tertentu.
Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer

Perlakuan atas Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
(KEP-316/PJ./2002)


1. Perangkat lunak (software) komputer adalah semua program yang dapat digunakan pada sistem operasi komputer, dapat berupa :
- Program aplikasi umum yaitu program yang dapat dipergunakan oleh pengguna (users) umum untuk memproses berbagai pekerjaan dengan komputer.
- Program aplikasi khusus yaitu program yang dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi sistem administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti dibidang perbankan, pasar modal, perhotelan, rumah sakit atau penerbangan.
   
2. Pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade software berupa program aplikasi umum yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan pembebanannya dilakukan sekaligus dalam bulan pengeluaran.
   
3. Pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade software berupa program aplikasi khusus yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan pembebanannya dilakukan melalui amortisasi harta tak berwujud kelompok 1.
Dasar Hukum
  1. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) masing-masing negara.
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap
  5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-62/PJ./1995 tentang Jenis dan Besarnya Biaya Administrasi Kantor Pusat yang Diperbolehkan untuk Dibebankan Sebagai Biaya Suatu Bentuk Usaha Tetap.
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ/2017 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap Bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang Menyediakan Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten Melalui Internet.
Pembentukan Cadangan
(PMK 81/PMK.03/2009 jo 219/PMK.011/2012)


Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu:

a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang, yang meliputi:
  1. cadangan piutang tak tertagih untuk:
a) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
b) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
c) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; dan
d) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
  2. cadangan piutang tak tertagih untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit, yaitu badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang meliputi:
a) koperasi simpan pinjam;
b) PT Permodalan Nasional Madani (Persero);
c) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
d) perusahaan pembiayaan infrastruktur yang melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur; dan
e) PT Perusahaan Pengelola Aset.
  3. cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang modal untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance Lease);
  4. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran;
  5. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut;
     
b. cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi:
  1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian;
  2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;
     
c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan penjaminan untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya;
     
d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya;
     
e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu; dan
     
f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri.

Bank Umum
Bank Umum baik konvensional dan syariah dapat membentuk dana cadangan piutang tak tertagih
1 Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih sbb :
  a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara/Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan Pemerintah berdasarkan prinsip syariah;
  b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;
  c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
  d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
  e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.  
     
2. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :   
  a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.  
     
3. Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maupun syariah.
     
4. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
     
5. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
6. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Bank Perkreditan Rakyat/BPR :
1. Bank Perkreditan Rakyat baik konvensional maupun syariah dapat membentuk dana cadangan piutang tak tertagih.
     
2. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih tersebut diatur sebagai berikut :
  a. 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia/Sertifikat Wadiah Bank Indonesia;
  b. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
  c. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
  d. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.
     
3. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :
  a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
     
4. Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maupun syariah.
     
5. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. 
     
6. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
7. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Koperasi Simpan Pinjam
1. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih tersebut diatur sebagai berikut :
  a. 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar
  b. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
  c. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
  d. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.
     
2. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :
  a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.  
     
3. Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maupun syariah.
     
4. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
     
5. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
6. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Penyisihan pembiayaan PT Permodalan Nasional Madani (Persero)
1. Besarnya cadangan khusus penyisihan pembiayaan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) ditetapkan sebagai berikut :
  a. 2,5% (dua setengah persen) dari baki debet yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;
  b. 5% (lima persen) dari baki debet yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
  c. 50% (lima puluh persen) dari baki debet yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
  d. 100% (seratus persen) dari baki debet yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.
     
2. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana paling tinggi adalah :
  a.  100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  b.  75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.  
     
3. Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh PT Permodalan Nasional Madani (Persero).
     
4. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
     
5. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
6. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.    

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia:
1. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih tersebut diatur sebagai berikut :
  a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas lancar;
  b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;
  c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan;
  d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
  e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai agunan.
     
2. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :
  a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
     
3. Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
     
4. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
     
5. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
6. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Perusahaan pembiayaan infrastruktur:
1. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih tersebut diatur sebagai berikut :
  a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas lancar;
  b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;
  c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan;
  d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
  e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai agunan.
     
2. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah : 
  a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai. 
     
3. Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan pembiayaan infrastruktur.
     
4. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
     
5. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
6. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

PT Perusahaan Pengelola Aset:
1. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih tersebut diatur sebagai berikut :
  a. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan;
  b. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
  c. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai agunan.
     
2. Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :
  a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
     
3. Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset.
     
4. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
     
5. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
6. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

SGU dengan Hak Opsi
1. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih yang dapat dibebankan sebagai biaya maksimum sebesar 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang (Maksimum = 2,5% x (Saldo Awal Piutang SGU + Saldo Akhir Piutang SGU)/2 ).
     
2. Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. 
     
3. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.  
     
4. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian, namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Perusahaan Pembiayaan Konsumen
1. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih yang dapat dibebankan sebagai biaya maksimum sebesar 5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang.
     
2. Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. 
     
3. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
4. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian, namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Perusahaan Anjak Piutang
1. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih yang dapat dibebankan sebagai biaya maksimum sebesar 5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang.
     
2. Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
     
3. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
4. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian, namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian

Asuransi Kerugian
1. Cadangan Premi yang diperbolehkan maksimum sebesar 40% dari premi tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan
Misalnya, perusahaan asuransi X menerima dan memperoleh premi atas tanggungannya sendiri dalam tahun 2010 sebesar Rp 60 Juta. Besarnya cadangan premi yang dapat dibebankan sebagai biaya dalam tahun 2010 adalah 40% x Rp 60 Juta = Rp 24 Juta. Sedangkan jumlah premi yang diterima atau diperoleh tersebut merupakan penghasilan.
     
2. Cadangan premi tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan premi yang sudah diterima atau diperoleh akan tetapi belum merupakan penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan.
     
3. Cadangan premi tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan pada tahun pajak berikutnya.
     
4. Besarnya cadangan klaim tanggungan sendiri untuk adalah sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum dibayar dan klaim yang sudah dilaporkan dan sedang dalam proses, tetapi tidak termasuk klaim yang belum dilaporkan.
     
5. Cadangan klaim tanggungan sendiri dibentuk pada akhir tahun pajak.
     
6. Jumlah klaim yang sebenarnya dibayar oleh perusahaan asuransi kerugian dibebankan kepada perkiraan cadangan klaim tanggungan sendiri.
     
7. Dalam hal jumlah cadangan klaim tanggungan sendiri seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
     
8. Dalam hal jumlah klaim tanggungan sendiri dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut boleh dibebankan sebagai biaya.

Asuransi Jiwa
1. Besarnya cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
     
2. Kenaikan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun dari cadangan premi merupakan biaya dalam tahun yang bersangkutan.
     
3. Apabila terjadi pembayaran klaim kepada tertanggung jumlah tersebut dibebankan kepada perkiraan cadangan premi.

Lembaga Penjamin Simpanan
Besarnya cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan adalah 80% (delapan puluh persen) dari surplus yang diperoleh Lembaga Penjamin Simpanan dari kegiatan operasional selama 1 (satu) tahun yang diakumulasikan sesuai peraturan perundang-undangan mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.

Cadangan Reklamasi Pertambangan
1. Besarnya cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan adalah yang sebenamya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya reklamasi.
     
2. Cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan energi dan sumber daya mineral.
     
3. Apabila setelah berakhirnya masa kontrak atau selesainya penambangan terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya reklamasi dengan jumlah biaya reklamasi yang sebenarnya dikeluarkan, selisih tersebut merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan.

Cadangan biaya penanaman kembali perusahaan usaha kehutanan
1. Besarnya cadangan biaya penanaman kembali untuk perusahaan yang melakukan usaha kehutanan adalah yang sebenarnya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya penanaman kembali.
     
2. Cadangan biaya penanaman kembali untuk perusahaan yang melakukan usaha kehutanan dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. 
     
3. Apabila setelah berakhirnya masa kontrak terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya penanaman kembali dengan jumlah biaya penanaman kembali yang sebenamya dikeluarkan, selisih tersebut merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan.

Usaha pengolahan limbah industri
1. Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri adalah yang sebenamya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah.
     
2. Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
     
3. Apabila setelah berakhirnya masa kontrak terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah dengan jumlah biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah yang sebenarnya dikeluarkan, selisih tersebut merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan.
Selisih Kurs Mata Uang Asing
(UU Pajak Penghasilan Pasal 4 dan Pasal 6)

  • Kerugian selisih kurs merupakan biaya (deductable expense).
  • Selisih kurs karena fluktuasi :
    • Apabila wajib pajak membukukan transaksi yang bersangkutan dengan kurs tetap, maka selisih kurs diakui pada saat terjadi realisasi pembayaran.
    • Apabila wajib pajak membukukan transaksi yang bersangkutan dengan kurs tengah BI (kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun), maka selisih kurs diakui pada akhir tahun.
    • Wajib Pajak harus menggunakan metode di atas secara taat azas.
  • Selisih kurs karena kebijakan Pemerintah di bidang moneter :
  • Selisih kurs dibukukan dalam akun sementara di neraca, dan pembebanannya dilakukan secara bertahap berdasarkan realisasi pembayaran valas tersebut.
  • Selisih kurs krisis moneter tahun 1997 baik yang sudah direalisir maupun belum, dapat dibebankan sekaligus atau diamortisasi selama 5 tahun.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014 Tentang  Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2017 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2010 Tentang Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Bagi Wanita Kawin Yang Melakukan Perjanjian Pemisahan Harta Dan Penghasilan Atau Yang Memilih Untuk Menjalankan Hak Dan Kewajiban Perpajakannya Sendiri
Jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 7)

Dasar Hukum Untuk diri
Wajib Pajak (WP)
Tambahan
untuk WP kawin
Tambahan
untuk seorang isteri *)
Tambahan untuk
keluarga sedarah
dan semenda **)
Mulai Berlaku
UU No.8 Tahun 1983 Rp      960.000 Rp     480.000 Rp      960.000 Rp     480.000 1 Januari 1984
UU No.10 Tahun 1994 Rp   1.728.000 Rp     864.000 Rp   1.728.000 Rp     864.000 1 Januari 1995
UU No.17 Tahun 2000 Rp   2.880.000 Rp  1.440.000 Rp   2.880.000 Rp  1.440.000 1 Januari 2001
564/KMK.03/2004 Rp 12.000.000 Rp  1.200.000 Rp 12.000.000 Rp  1.200.000 1 Januari 2005
137/PMK.05/2005 Rp 13.200.000 Rp   1.200.000 Rp 13.200.000 Rp  1.200.000 1 Januari 2006
UU No.36 Tahun 2008 Rp 15.840.000 Rp   1.320.000 Rp 15.840.000 Rp  1.320.000 1 Januari 2009
162/PMK.011/2012 Rp 24.300.000 Rp 2.025.000 Rp 24.300.000 Rp 2.025.000 1 Januari 2013
122/PMK.010/2015 Rp 36.000.000 Rp 3.000.000 Rp 36.000.000 Rp 3.000.000 1 Januari 2015
101/PMK.010/2016 Rp 54.000.000 Rp 4.500.000 Rp 54.000.000 Rp 4.500.000 1 Januari 2016

Ket :
*)  Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
**)  Tambahan untuk keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang

Besarnya PTKP disesuaikan dari waktu ke waktu dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Status Wajib Pajak terdiri dari :
TK/... Tidak Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga;
K/... Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga;
K/I/...  Kawin, tambahan untuk isteri (hanya seorang) yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga;
PH Wajib pajak kawin yang secara tertulis melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
HB/... Wajib pajak kawin yang telah hidup berpisah ditambah banyaknya tanggungan anggota keluarga.

Batasan Peredaran Bruto atas Penghasilan Tertentu yang tidak dikenai Pajak Penghasilan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 7, PP Nomor 55 Tahun 2022)

Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak. Bagian peredaran bruto dari usaha tidak dikenai Pajak merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
Dasar Hukum
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan  Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.03/2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2022 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114/PMK.03/2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2022 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2020 Tentang Pemberian Fasilitas Pajak Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 Dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/Pmk.03/2020 Tentang Pemberian Fasilitas Pajak Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 Dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus  Disease 2019 (COVID-19)
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 Tentang Pemberian Insentif Pajak Terhadap Barang Yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 Dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan Bagi Sumber Daya Manusia Di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.03/2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 Tentang Pemberian Insentif Pajak Terhadap Barang Yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 Dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan Bagi Sumber Daya Manusia Di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
  15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 19/PJ/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona
  16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 47/PJ/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020
  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 44/PJ/2021 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2021
Amortisasi

Amortisasi harta tak berwujud
(UU Pajak Penghasilan Pasal 11A)


- Amortisasi merupakan pengalokasian biaya perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan muhibah (goodwill) yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
   
- Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya (termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dengan metode garis lurus (straight line methode) atau metode saldo menurun (decline balance methode) secara taat azas.
   
- Tabel Masa Manfaat dan tarif amortisasi harta tak berwujud :
Kelompok Harta Tak Berwujud Masa Manfaat Tarif Penyusutan
Metode Garis Lurus
Tarif Penyusutan Metode
Saldo Menurun Ganda
I. Kelompok I 4 Tahun 25% 50%
  Kelompok II 8 Tahun 12,5% 25%
  Kelompok III 16 Tahun 6,25% 12,5%
  Kelompok IV 20 Tahun 5% 10%

Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan tabel masa manfaat dan tarif amortisasi.
   
- Pengeluaran yang dilakukan sebelum perusahaan beroperasi komersial yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun, dikapitalisasi (sebagai biaya pra operasi) kemudian dimortisasi dengan metode di atas.
   
- Yang termasuk pengeluaran pra operasi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum perusahaan beroperasi komersial, misalnya biaya study kelayakan dan biaya produksi percobaan, tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Pengeluaran yang rutin tersebut harus dibebankan sekaligus pada tahun terjadinya.
   
- Amortisasi atas Pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dengan menggunakan metode satuan produksi, yaitu :
= {Produksi tahun ini / Taksiran deposit minyak mentah (gas bumi) yang bisa ditambang} x 100 %
   
- Amortisasi atas Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain migas, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam/hasil alam lainnya yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun, dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi 20% setahun. Yaitu :

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) :
= {Produksi tahun ini / Taksiran produksi dalam konsesi HPH} x 100%, maksimum 20%.

Hak Penambangan selain minyak dan gas bumi :
= {Produksi tahun ini / Taksiran deposit mineral yang bisa ditambang} x 100%, maksimum 20%.

Catatan :
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari jumlah taksiran produksi, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain (yang belum diamortisasi), maka sisa pengeluaran yang belum diamortisasi tersebut dapat dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan.

Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
   
- Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak tersebut di atas, maka nilai sisa buku fiskalnya dibebankan sebagai biaya, sedangkan jumlah yang diterima atau diperoleh sebagai penggantiannya merupakan penghasilan.

Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut :

Harga perolehan  Rp500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan  
100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp250.000.000,00
Nilai buku harta Rp250.000.000,00
Harga jual harta Rp300.000.000,00
   
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
   
- Apabila pengalihan tersebut dalam rangka sumbangan, hibah, bantuan, dan warisan yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b UU Nomor 36 Tahun 2008, maka nilai sisa buku fiskalnya tidak dapat diakui sebagai biaya.

Amortisasi Lebih dari 20 Tahun
(PMK 72 Tahun 2023)


Wajib pajak yang memiliki harta tak berwujud dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun, bisa memilih untuk melakukan amortisasi lebih dari 20 tahun sesuai dengan masa manfaat aset tak berwujud. Berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2022, wajib pajak yang ingin melakukan penyusutan/amortisasi lebih dari 20 tahun harus melakukan pemberitahuan kepada DJP. Pemberitahuan dilakukan untuk harta yang dimiliki dan digunakan sebelum tahun pajak 2022. Pemberitahuan dapat dilakukan sampai akhir tahun pajak 2022, yakni 31 Desember 2022. Namun, PMK 72/2023 memberikan perpanjangan waktu pemberitahuan sampai dengan 30 April 2024.

Tata Cara Pemberitahuan :
Berdasarkan Pasal 30 PMK 72/2023, pemberitahuan dilakukan oleh wajib pajak berstatus pusat. Pemberitahuan dapat dilakukan secara elektronik, langsung, maupun melalui pos/jasa ekspedisi. Pemberitahuan dilakukan dengan memuat: identitas wajib pajak; nama harta berwujud/harta tak berwujud; tanggal perolehan atau selesainya pengerjaan; nilai perolehan; masa manfaat menurut wajib pajak; dan lokasi bangunan/asal perolehan harta tak berwujud. Contoh surat pemberitahuan dapat dilihat pada Lampiran PMK 72/2023. Wajib pajak juga dapat melakukan pemberitahuan secara online lewat akun DJP Online

Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer
(PMK 72 Tahun 2023)

Perangkat lunak (software) komputer adalah semua program yang dapat digunakan pada sistem operasi komputer. Pasal 10 dan 11 PMK 72/2023 mengatur mengenai amortisasi untuk pengeluaran perangkat lunak atau software. Aturan ini mengelompokkan perangkat lunak menjadi dua, yakni program aplikasi khusus dan program aplikasi umum.

Program aplikasi umum adalah program yang dapat dipergunakan oleh pengguna (users) umum untuk memproses berbagai pekerjaan dengan komputer.

Program aplikasi khusus adalah program yang dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi sistem administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti dibidang perbankan, pasar modal, perhotelan, rumah sakit atau penerbangan.

Perangkat lunak komputer kecuali Perangkat lunak komputer berupa program aplikasi umum, merupakan harta tak berwujud  (intangible asset) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan termasuk dalam kelompok-1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.

Perangkat lunak komputer berupa program aplikasi umum diperlakukan sebagai pengeluaran atau biaya operasional rutin yang dibebankan sekaligus pada tahun bersangkutan.

Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi umum yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan, pembebanannya dilakukan sekaligus dalam bulan pengeluaran.

Dalam hal program aplikasi umum diperoleh sebagai bagian dari harga pembelian perangkat keras komputer, maka pembebanannya sudah termasuk dalam penyusutan perangkat keras komputer tersebut (Kelompok-1);

Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi khusus yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan, pembebanannya dilakukan melalui amortisasi harta tak berwujud (Kelompok-1).

Dalam hal pengeluaran/biaya upgrade program aplikasi khusus, pengeluaran/biaya tersebut terlebih dahulu ditambahkan pada nilai sisa buku fiskal yang masih ada dan amortisasinya dilakukan dengan masa manfaat baru/penuh terhitung mulai bulan dilakukan upgrade.

Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi khusus yang diperoleh sebelum berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, sepanjang belum dibebankan atau baru dibebankan sebagian melalui amortisasi, dapat diamortisasi mulai tahun pajak 2002 berdasarkan sisa masa manfaat untuk Kelompok-1.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 628/KMK.04/1991 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Netto Bagi Wajib Pajak Badan yang Melakukan Kegiatan Usaha di Bidang Pengeboran Minyak dan Gas Bumi serta Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Oleh Wajib Pajak Sendiri
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di Luar Negeri
  4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
  5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak-pihak yang melakukan Kerja sama dalam bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (“Built Operate And Transfer”)
  6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau penerbangan Luar Negeri
  7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia
  8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tentang Pemotongan PPh Pasal 26 atas Pembayaran Premi Asuransi ke Luar Negeri (seri PPh Pasal 23/26 Nomor 5)
  9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Sehubungan dengan Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17)
  10. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Bergerak Di Bidang Usaha Pelayaran Dan/Atau Penerbangan Luar Negeri (Seri PPh Umum No. 37)
  11. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.43/1999 tentang Bukti Pemotongan PPh Final atas Jasa Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri dengan menggunakan Sistem Q.Q
  12. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-2/PJ.03/2008 tentang Penegasan atas Penerapan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (Representative Office/Liaison Office) di Indonesia
PTKP Atas Warisan
(UU Pajak Penghasilan Pasal 7 (1) jo SE - 10/PJ.41/1996)

- Penghasilan dari Warisan yang belum terbagi pada prinsipnya merupakan hak dan dapat dibagikan kepada para ahli Waris yang berhak, dan penghasilan tersebut harus digunggungkan dengan penghasilan lainnya yang diterima atau diperoleh masing-masing ahli Waris.
- Oleh karena dalam menghitung penghasilan Kena Pajak masing-masing ahli Waris telah memperoleh pengurangan berupa PTKP, maka dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak atas penghasilan yang berasal dari Warisan yang belum terbagi tidak diberikan pengurangan berupa PTKP.